Sejumlah gerai kuliner yang sempat populer milik selebritas Raffi Ahmad, Nagita Slavina dan putra Presiden RI Joko Widodo, Kaesang Pangarep kini berguguran. Mengapa demikian?
Banyak selebritas yang menggunakan popularitas mereka untuk meluncurkan bisnis dengan cara memanfaatkan nama dan citra mereka untuk menghasilkan uang di luar karier hiburan mereka. Nama selebritas terkadang dapat membantu bisnis secara otomatis, tampil sebagai juru bicara yang mudah dikenali serta sejumlah penggemar. Namun, label selebritas yang melekat pada sebuah bisnis rupanya tidak menjamin kesuksesan.
Anda mungkin sempat mengetahui sejumlah jenama kuliner seperti Mango Bomb dan Gigieat Cake, yang merupakan lini bisnis kuliner yang diluncurkan oleh pasangan selebritas Raffi Ahmad dan istrinya, Nagita Slavina. Mango Bomb sempat populer di tahun 2017, tetapi bisnis yang turut dirintis oleh pengusaha Rudy Salim ini tutup di akhir tahun 2019. Sedangkan Gigieat Cake, bolu kue kekinian yang diluncurkan oleh Nagita, ditutup pada akhir tahun yang sama. Kedua bisnis kuliner merupakan beberapa di antara tujuh bisnis pasangan selebritas ini yang gulung tikar.
Tidak hanya Raffi dan Nagita. Seperti yang dirangkum oleh CNBC Indonesia, sekitar lima bisnis kuliner putra Presiden RI Joko Widodo, Kaesang Pangarep juga berguguran, seperti bisnis yang dikembangkan bersama sang kakak Gibran Rakabuming berjenama Ternakopi, bisnis yang menjual produk minuman tradisional khas Indonesia seperti es doger dengan label Goola, label fashion Sang Javas dengan ilustrasi kecebong pada bagian depan desain kaosnya, dan aplikasi Madhang yang dibuat untuk menjembatani kaum ibu yang mahir memasak dengan pembeli. Kemudian, produk makanan dan minuman ringan Siap Mas dengan produk seperti keripik merek Ngedrink dan Kemripik pun bernasib sama.
Geluti passion
Mengapa hal ini terjadi? Setelah ditelisik lebih dalam, baik faktor internal maupun eksternal turut mempengaruhi tutupnya bisnis kuliner selebritas. Secara internal, perlu diketahui, tidak semua selebritas itu businessman atau entrepreneur. Kecenderungannya adalah adanya FOMO (fear of missing out) atau rasa takut tertinggal atau kehilangan momen akan tren yang sedang berlangsung dan kurang tekun atau lack of involvement dalam mengelola bisnis ini. Selain itu, faktor yang tidak kalah penting adalah karena ketidakpuasan konsumen. Bahkan dalam unggahan terakhir di Instagram aplikasi Madhang ini, tampak banyak pengguna yang mempertanyakan keberadaan aplikasi tersebut serta menyampaikan keluhan.
Di samping itu, kebanyakan selebritas menerima status selebritas mereka begitu saja, lalu menerjemahkan basis penggemar mereka sebagai basis pelanggan. Pelanggan kini lebih pintar sekaligus lebih kompleks, terkadang mereka tidak dapat membedakan peran selebritas antara menjadi duta merek dengan pebisnis. Dengan kata lain, komitmen mereka terhadap brand hanya berdasarkan status selebritas mereka, bukan pada produk.
Akan tetapi, kita perlu mengingat bahwa cukup banyak pula selebritas yang kini menjadi pebisnis andal. Sebut saja pebulu tangkis Susi Susanti dan Alan Budikusuma. Keduanya mendirikan perusahaan perlengkapan olahraga dan sebuah merek raket sendiri, yaitu Astec, singkatan dari Alan-Susi Technology. Dari sini terlihat bahwa bisnis yang digeluti sesuai passion dapat berlangsung lama. Sama halnya dengan pebisnis kuliner, yang sebaiknya memiliki passion terhadap dunia kuliner yang digelutinya. Lalu mereka juga harus mencari tahu bagaimana mereka mengenal konsumen dan memiliki komitmen pada bisnis ini. Misalnya, ketika membuka gerai untuk pecinta alpukat, mereka perlu mengetahui bahwa alpukat adalah bahan makanan yang paling mahal dalam perhitungan food and beverages, untuk satu buah alpukat matang mereka harus membuka lima buah, itu berarti biaya mereka meningkat secara substansial.
Menurut sebuah riset, 60 persen restoran tutup dalam tahun pertama perjalanannya, sedangkan 80 persen restoran tutup dalam lima tahun pertama. Menjalankan bisnis kuliner adalah pekerjaan yang tidak mudah. Pebisnis dituntut untuk selalu menyerap informasi yang tepat tentang apa yang dibutuhkan industri kuliner ini. Selain itu, biasanya sebagian besar pemilik bisnis kuliner kurang mengetahui bahwa mereka telah melakukan kesalahan hingga semuanya terlambat. Alasan lain tingkat tutupnya restoran begitu tinggi saat ini adalah karena pemiliknya tidak melihat angka-angka berupa laporan dan analisa seperti mengapa pelanggan tidak datang? Mengapa penjualan menurun?
Popularitas selebritas memang dapat menjadi faktor penentu kesuksesan suatu bisnis, tetapi nyatanya masih ada faktor lain yang juga lebih terutama yang menarik konsumen, antara lain adalah kualitas dan inovasi produk. Produk yang unik dan memiliki perbedaan dengan usaha sejenis juga menentukan ketertarikan konsumen. Selain itu, kebanyakan dari pebisnis kuliner tidak melakukan riset pasar, sehingga kurang memahami kondisi dan target pasar. Manajemen yang buruk dan penambahan pegawai yang tidak terkendali juga bisa berdampak buruk pada perkembangan bisnis.
Tren kuliner yang lebih sehat
Sementara itu, faktor eksternal juga mempengaruhi gugurnya bisnis kuliner. Kuliner yang sedang tren kini belum tentu akan tetap menjadi tren di masa mendatang. Semisal, minuman bobba dan makanan serba geprek, di tahun 2017 cukup populer, tetapi kini tren itu sudah meredup. Dari waktu ke waktu, konsumen lebih sadar akan pilihan makanan dan minuman yang aman, sehat, beragam dan bergizi.
Tren itu juga mudah berubah karena masyarakat pun berubah. Setiap saat, yang baru akan menggantikan yang lama. Masyarakat juga mudah terpengaruh oleh budaya yang populer seperti gaya hidup atlet, musisi, bintang film, dan gaya hidup yang dikampanyekan di media sosial secara berkelanjutan.
Bisnis kuliner selebritas berguguran karena berbagai alasan. Namun, apa pun alasannya, mereka telah belajar dengan cara yang kompleks bahwa nama tenar bukanlah jaminan suatu kesuksesan dan kesuksesan itu tidak selalu datang dengan mudah di dunia bisnis.
————
#food #bisniskuliner #selebritas #manajemen #pebisnis #gayahidup
Related Posts:
TikTok for Recruitment: Can it Attract the Right Talent?
Turnover Contagion: Responding to the Wave of Resignations that Threatens Team Stability
Pros and Cons of Experiential Hiring
Leadership Without Position: The Real Impact of Shadow Leadership
Glass Cliff: Tantangan Kepemimpinan bagi Wanita dan Minoritas di Tengah Krisis