Bangkrutnya Silicon Valley Bank (SVB) ternyata memicu efek domino. Banyak bank di belahan lain bumi terancam krisis. Sebuah studi baru bahkan memprediksi sebanyak 186 bank berisiko gagal dan bernasib seperti SVB, meski hanya setengah dari deposan mereka yang memutuskan untuk menarik dana dari bank tersebut.
Empat bank besar lainya dalam barisan yang sedang diterpa krisis, Signature Bank, Silvergate Bank, Credit Suisse, dan First Republic Bank. SVB kolaps karena gagal mendapatkan suntikan modal dan penarikan dana dari nasabah dan investor. Pasar khawatir melihat kondisi keuangan bank. Signature Bank jatuh setelah terjadinya ketidakstabilan di pasar industri kripto. Demikian pula dengan Silvergate Bank. Sedangkan Credit Suisse dan First Republic Bank goyang setelah ambruknya SVB.
Apa yang dialami Banco Espírito Santo (BES), bank asal Portugal, layak menjadi pelajaran. Dahulu, BES adalah bank nomor dua terbesar yang terdaftar di bursa saham Portugal. BES memilik pangsa pasar sebesar 20,3 persen, dengan jumlah nasabah sekitar 2,1 juta orang. Sebagai informasi tambahan, penduduk Portugal berjumlah sekitar 10 juta orang.
Namun, pada Agustus 2014, Banco de Portugal, bank sentral Portugal, mengumumkan pengucuran dana talangan sebesar 6,6 miliar Dollar AS untuk BES. Bank ini kemudian dibagi menjadi “bank baik” dan “bank buruk”. Untuk “bank baik” diberi nama Novo Banco. Untuk aset-aset buruk ditampung oleh BES versi lama. BES akhirnya dilikuidasi pada 2016. Belakangan, terungkap bahwa BES banyak terpapar pinjaman-pinjaman berisiko, kurang melakukan uji tuntas (due diligence) terhadap peminjam dan investasi, kurang peduli terhadap pemantauan risiko, dan kurang transparan dalam laporan keuangan sehingga regulator dan investor tidak memahami tingkat risiko yang dialami BES.
Kolapsnya bank-bank ini kembali mencuatkan isu seputar manajemen risiko. Teorinya, penerapan manajemen risiko yang terintegrasi, akan dapat menangkal terjadinya krisis semacam ini. Berbagai risiko diidentifikasi, diukur, dan dikendalikan di seluruh bagian oganisasi.
Pertanyaannya, untuk perusahaan sekelas mereka yang menjadi biang krisis, tentunya sudah memiliki manajemen risiko yang cukup canggih, seberapa besar kemungkinannya mengalami kesalahan antisipasi? Apakah kesalahan “teknis” atau justru kekhilafan manusiawi yang bersumber dari keserakahan dan berujung kepada pelanggaran etika bisnis?
Kembali ke kasus BES, beberapa lama sebelum kolaps, CEO Ricardo Espirito Santo Salgado menandatangani dua surat yang dikirimkan kepada perusahaan minyak nasional milik Venezuela, sebuah negara di Amerika Latin. Perusahaan minyak tersebut telah membeli obligasi senilai 365 juta Dollar AS dari BES. BES saat itu sedang mengalami kesulitan keuangan. Namun dalam surat tersebut dinyatakan bahwa investasi mereka aman. BES juga menyediakan dana yang dibutuhkan untuk membayar kembali utang saat jatuh tempo.
Yang jadi masalah, jaminan seperti ini mengabaikan arahan Bank Sentral Portugal yang meminta agar Salgado tidak mencampuradukkan urusan pinjam-meminjam dengan kepentingan keluarga (kebetulan BES dimiliki oleh keluarga). Jaminan tersebut juga tidak dicatat di akun bank pada saat itu, yang merupakan kewajiban seperti yang disyaratkan oleh Bank Sentral Portugal. Pekan berikutnya, setelah ditekan bertubi-tubi oleh regulator, Salgado mengundurkan diri. Belakangan, diketahui bahwa Salgado tidak mematuhi arahan Banco de Portugal sebanyak 21 kali antara Desember 2013 dan Juli 2014, memperagakan ”tindakan disengaja dari manajemen yang merusak”.
Akibat skandal BES ini, pemegang saham dan investor rugi 10 miliar Euro. Kolapasnya BES menjadi salah satu kolaps korporat terbesar dalam sejarah Eropa. Tak ayal, skandal ini berawal dari kekurangpedulian petinggi BES terhadap etika.
Tatkala menjelmamenjadi krisis, apapun penyebabnya, etika maupun buruknya manajemen risiko, perlu manajemen krisis. Lantaran krisis yang dialami sebuah bank akan berdampak luas sehingga diperlukan langkah-langkah terukur. Langkah pertama adalah membentuk sebuah tim yang terdiri dari eksekutif puncak, penasihat atau pakar hukum, pakar manajemen risiko, dan spesialis komunikasi.
Berikutnya, memahami kararakteristik krisis. Termasuk di dalamnya akar masalahnya (bukan hanya gejalanya), dampaknya terhadap kondisi finansial bank, dan risiko lainnya. Dibutuhkan komunkasi yang cepat, efektif, jujur, dan transparan kepada nasabah, karyawan, regulator, dan khalayak tentang situasi yang sebenarnya terjadi. Tidak boleh ada yang ditutup-tutupi. Informasi yang lambat dan tidak jujur hanya akan meruntuhkan kepercayaan nasabah dalam waktu singkat.
Pemimpin harus memberikan respons secara tulus serta menunjukkan empati. Ditunjang rencana pemulihan yang menguraikan bagaimana bank akan mengatasi krisis agar situasi kembali stabil dan normal. Misalnya restrukturisasi, pengurangan biaya, atau penyusunan ulang strategi bisnis.
Tentunya harus dipastikan bahwa dana nasabah dan investor terlindungi, tanpa melupakan peran karyawan.Memantau situasi seraya menyesuaikan strategi penanganan krisis bila diperlukan. Jika krisis mulai teratasi, perlu disusun rencana untuk memulihkan kembali kepercayaan. Setelah badai krisis berlalu, dilakukan tinjauan menyeluruh untuk belajar dari pengalaman dan meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi krisis.
Dikutip dari: Himawan Wijanarko. Krisis Bank: antara Risiko dan Etika. PARAS: Majalah Internal BTN Edisi III Tahun 2023