Dulu, struktur organisasi hierarkis dibangga-banggakan menjadi penggerak perusahaan menuju kemajuan. Hal ini wajar mengingat saat itu perubahan tidaklah selaju sekarang. Namun saat ini, organisasi yang masih menggunakan struktur yang hierarkis dan kaku sulit menyesuaikan diri. Hal ini karena struktur yang demikian itu menghalangi inovasi, tidak responsif, dan tidak lincah.
Struktur organisasi yang kaku biasanya bersifat hierarkis, dengan rantai komando dan lapisan manajemen yang ketat. Pengambilan keputusan sering kali terpusat. Komunikasi mengalir dari atas ke bawah. Struktur macam ini memang memperjelas wewenang dan memudahkan kendali. Meski demikian, proses pengambilan keputusan memakan waktu lebih lama sehingga tidak efisien. Apalagi jika ukuran organisasi makin besar. Kreasi, inovasi, dan keterlibatan karyawan sulit berkembang. Di samping itu, interaksi antarbagian juga terbatas. Setiap bagian seolah-olah sibuk dengan urusannya masing-masing. Hal ini berpotensi menciptakan ego sektoral, kesenjangan komunikasi, dan persaingan tidak sehat. Organisasi dengan struktur yang kaku biasaya tidak suka dengan perubahan.
Kekurangan struktur hierarikis ini semakin kentara di tengah perubahan yang supercepat berkat kemajuan teknologi. Agar tidak terlempar dari kancah persaingan karena kalah gesit menjaring pelanggan, mau tidak mau perusahaan harus beradaptasi. Dalam rangka hal ini, organisasi wajib bertransfromasi menuju struktur organisasi yang lebih fleksibel dan kolaboratif.
Apa manfaatnya? Pertama, lahirnya ide-ide segar dan solusi inovatif dalam mengatasi masalah. Kedua, lebih cepat dalam merespons kondisi pasar. Ketiga, karyawan akan lebih terlibat dan termotivasi. Hal ini berkat otonomi yang lebih besar dan peluang untuk berkolaborasi dan berkembang. Keempat, organisasi lebih siap dengan segala macam disrupsi, yang memang bisa datang kapan saja. Siapa yang menyangka pada 2020 lalu dunia dilanda pandemi yang memorak-porandakan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat? Siapa menyangka AI dan digitalisasi mengubah banyak hal?
Namun, membangun struktur organisasi yang fleksibel dan kolaboratif tersebut tidak bisa diwujudkan begitu saja tanpa perencanaan, kepemimpinan, dan komitmen kuat terhadap perubahan budaya.
Sebagai langkah awal, perusahaan dapat mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan. Dengan memberikan lebih banyak otonomi kepada karyawan, organisasi lebih mudah merespons kebutuhan pelanggan dan perubahan lingkungan. Pengambilan keputusan menjadi lebih tangkas dan adaptif.
Boleh jadi, ada karyawan yang tidak terbiasa mengambil keputusan, terutama untuk hal-hal penting lantaran terbiasa diatur dari atas. Untuk mengatasi kendala ini, perusahaan dapat memberikan pelatihan, khususnya kepada manajemen menengah dan rendah, untuk mendelegasilan tanggung jawab. Di samping itu, organisasi dapat menyusun panduan yang jelas tentang pengambilan keputusan di berbagai level.
Berikutnya, mengembangkan kolaborasi antarfungsi atau bagian. Karyawan “dipaksa” bekerja sama guna mewujudkan tujuan bersama tanpa memedulikan latar belakang dan asal-usul departemen atau fungsi. Kolaborasi ini kan memperkaya perspektif, pengetahuan, dan keterampilan. Di samping itu, melalui kolaborasi antarfungsi ini organisasi dapat mengatasi tantangan kompleks dan beraneka ragam secara lebih efektif dengan memanfaatkan keahlian kolektif karyawan. Agar hubungan karyawan lintas fungsi ini makin erat, perusahaan dapat mendorong pertemuan secara berkala sebagai wadah bergai pengetahuan dan pengalaman. Terkait pengembangan kolaborasi antarfungsi ini, ING, salah satu bank terbesar di Eropa, mengurangi lapisan manajemen dan membentuk tim lintas fungsi (squads) yang mandiri dan fleksibel. Ini memungkinkan perusahaan untuk lebih cepat merespon perubahan pasar dan kebutuhan pelanggan.
Penghargaan terhadap pembelajaran serta kemampuan beradaptasi menjadi karakteristik organisasi dengan struktur fleksibel. Hal ini tidak terjadi dalam struktur organisasi hierarkis dan kaku. Alasannya? Sempitnya ruang gerak menelusuri keterampilan baru. Agar karyawan bersemangat untuk belajar hal baru, mereka harus merasa nyaman untuk mengambil risiko terkalkulasi serta belajar dari kegagalan.
Organisasi dengan struktur yang fleksibel lebih lincah bermanuver. Mereka lebih cekatan merespons perubahan lingkungan, baik internal maupun eksternal. Misalnya dengan memecah proyek besar menjadi tugas yang lebih kecil dan mudah dikelola. Inilai yang dilaklukan oleh Haier Group Corporation (Haier). Haier adalah sebuah perusahaan perabot rumah dan elektronik konsumen multinasional yang berkantor pusat di Qingdao, Shandong, China. Perusahaan ini merancang, mengembangkan, memproduksi, dan menjual sejumlah produk, seperti kulkas, pendingin ruangan, mesin cuci, pengering, oven gelombang mikro, telepon seluler, komputer, dan televisi. Haier melakukan perubahan radikal dalam struktur organisasinya dengan mengadopsi model rendanheyi. Dalam model ini, perusahaan mengubah struktur hierarkis tradisional menjadi jaringan unit-unit kecil yang otonom, disebut microenterprises. Setiap unit bertanggung jawab penuh atas operasi dan profitabilitasnya. Ini memungkinkan Haier menjadi lebih lincah dan responsif terhadap perubahan di pasar global.
Gaya kepemimpinan juga harus diubah. Gaya otoriter tak bisa lagi dipertahankan. Dalam struktur organisasi yang kolaboratif dan fleksibel, pemimpin lebih berperan layaknya coach atau fasilitator. Mereka memberdayakan anggota tim untuk mengambil keputusan. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemimpin harus bersikap transparan, mudah didekati, dan terbuka terhadap masukan.
Kepemimpinan harus ditumbuhkan di tiap level. Hal ini untuk menanamkan gagasan bahwa ide dan inisiatiif dapat datang dari mana saja, bahkan dari pihak yang selama ini dianggap remeh sekalipun.
Dari Hierarki ke Kolaborasi: Merombak Struktur Organisasi untuk Mendukung Transformasi
Kategori: Organization & Business Transformation
#struktur organisasi #hierarki #fleksibel #kolaboratif #pembelajaran #wewenang #keputusan #ING #haier #gayakepemimpinan
Related Posts:
Dari Hierarki ke Kolaborasi: Merombak Struktur Organisasi untuk Mendukung Transformasi
Memompa Entrepreneurship Di Tengah GIG
Mengikis Stigma Negatif Mudah Gagal, Belajar Lebih Cepat
Pros & Cons : Sabbatical Leave di Perusahaan Swasta
Gamifikasi sebagai Alat untuk Membangun Budaya Perusahaan yang Dinamis