Belajar Waspada dari Perusahaan PT Sepatu Bata Tbk

Belajar Waspada dari Perusahaan PT Sepatu Bata Tbk

Belajar Waspada dari Perusahaan PT Sepatu Bata Tbk. Bata mengumumkan penutupan pabriknya di Purwakarta pada Jumat (3/5/2024) melalui keterbukaan informasi yang ditampilkan di situs Bursa Efek Indonesia (BEI). Dalam informasi tersebut Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Sepatu Bata Tbk Hatta Tutuko mengatakan pabrik itu ditutup Selasa (30/4/2024).

Dalam keterangan resmi itu, Hatta mengatakan, PT Sepatu Bata Tbk telah melakukan berbagai upaya selama empat tahun terakhir di tengah kerugian dan tantangan industri akibat pandemi dan perubahan perilaku konsumen yang begitu cepat.

Perseroan sudah tidak dapat melanjutkan produksi di pabrik Purwakarta karena permintaan pelanggan terhadap jenis produk yang dibuat di pabrik Purwakarta terus menurun dan kapasitas produksi pabrik jauh melebihi kebutuhan yang bisa diperoleh secara berkelanjutan dari pemasok lokal di Indonesia.

Untuk rencana strategis ke depan, Bata, seperti dikutip dari kompas.id,  fokus pada pengelolaan toko yang sudah ada, meningkatkan kualitas produk, serta menerapkan right pricing strategy terhadap setiap produk. Selain itu, Bata terus berupaya memaksimalkan penjualan lewat e-commerce dan omni-channel, termasuk memaksimalkan kampanye pemasaran pada perayaan hari besar agama dan back to school.

Bata di Indonesia merupakan bagian dari The Bata Corporation, perusahaan multinasional yang didirikan ci Ceko pada 1894. Bata didirikan oleh Thomas, Antonin, dan Anna Bata. Perusahaan yang saat ini berkantor pusat di Lausanne, Swiss ini merupakan salah satu pembuat sepatu terkemuka di dunia berdasarkan volume dengan 150 juta pasang sepatu terjual setiap tahunnya. Memiliki lebih dari 5000 toko di  70 negara dan 21 fasilitas produksi di 18 negara. Bata mempekerjakan lebih dari 32 ribu orang di seluruh dunia.  Saat ini, Bata memproduksi tidak hanya alas kaki (tentu sudah terkenal sejak dulu), tetapi juga pakaian dan aksesori fesyen.

Belajar Waspada dari Perusahaan PT Sepatu Bata Tbk
Belajar Waspada dari Perusahaan PT Sepatu Bata Tbk

Keputusan perusahaan multinasional, seperti Bata,  untuk menutup pabriknya di sebuah dan pada saat yang sama tetap mempertahankan kehadiran unit ritel atau penjualannya pastinya didasarkan pada berbagai faktor. Apa sajakah faktor-faktor tersebut?

Baca :   Tantangan dan Peluang ESG di Industri Kelapa Sawit di Negara Berkembang

Yang utama agaknya faktor kondisi pasar. Mungkin saja permintaan terhadap produk perusahaan di sebuah negara menurun sehingga tidak mungkin mempertahankan level produksi yang sama di negara tersebut. Namun, bisa pula terjadi perusahaan justru kurang lincah sehingga tidak mampu menyesuaikan diri dengan preferensi konsumen yang dinamis dan juga perkembangan teknologi.  Misalnya terlambat melakukan digitalisasi sehingga hanya mengandalkan interaksi fisik. Padahal, belanja online sudah menjadi tren, terlebih sejak zaman pandemi. Belum lagi munculnya merek-merek baru yang tak kalah kualitasnya, terutama merek-merek lokal.  Rejuvenasi merek tak kalah penting. Banyak generasi muda yang memandang merek tertentu sebagai kuno atau ketinggalan zaman. Sementara ada perusahaan yang terlambat menyadari fenomena ini.

Faktor berikutnya berkaitan dengan penghematan biaya. Operasi fasilitas manufaktur tentunya memerlukan biaya yang signifikan. Biaya tersebut untuk kepentingan karyawan, utilitas, pemeliharaan, dan sebagainya. Jika biaya produksi lebih besar dibandingkan manfaatnya, perusahaan tentu akan menutup pabriknya di sebuah negara. Alternatifnya, perusahaan mungkin memilih untuk melakukan outsourcing produksi ke negara-negara dengan biaya tenaga kerja lebih rendah atau mengkonsolidasikan produksi di fasilitas yang lebih efisien di negara lain. Contohnya adalah Gap Inc. Gap Inc. adalah peritel terkenal asal AS pakaian, aksesori, dan produk perawatan pribadi. Pada awal tahun 2000-an, Gap Inc. menghadapi tantangan terkait daya saing biaya dan perubahan preferensi konsumen, sehingga mendorong perusahaan untuk menilai kembali jejak manufaktur dan operasi rantai pasokannya. Sebagai bagian dari upaya restrukturisasi strategisnya, Gap Inc. mengambil keputusan untuk menutup beberapa pabrik yang dimiliki dan dioperasikannya, khususnya di Amerika Utara, dan melakukan transisi ke model manufaktur yang lebih dialihdayakan. Misalnya, Gap Inc. menutup banyak pabrik di Amerika Serikat dan Kanada, yang biaya produksinya relatif lebih tinggi dibandingkan pasar luar negeri seperti Asia dan Amerika Latin. Dengan mengonsolidasikan produksi di wilayah berbiaya rendah dan memanfaatkan produsen kontrak, Gap Inc. ingin meningkatkan efisiensi biaya, fleksibilitas rantai pasokan, dan kecepatan pemasaran. Meski demikian, Gap Inc. terus mempertahankan jaringan toko ritelnya yang luas. Kehadiran ritel ini memungkinkan perusahaan untuk mempertahankan interaksi langsung dengan pelanggan, memamerkan penawaran produknya, dan mendorong penjualan baik di dalam toko maupun online.

Baca :   Merajut Masa Depan: Strategi Ampuh Memupuk Semangat Inovasi dalam Organisasi

Rantai pasokan (supply chain) juga menjadi penentu.  Rantai pasokan global sangatlah kompleks, dan perusahaan terus berupaya mengoptimalkannya demi efisiensi. Menutup pabrik di satu negara dapat menjadi bagian dari strategi yang lebih luas untuk menyederhanakan rantai pasokan, memusatkan produksi di lokasi-lokasi utama, atau mendiversifikasi basis manufaktur untuk memitigasi risiko seperti ketidakstabilan geopolitik atau bencana alam.

Perubahan peraturan atau ketidakpastian di sebuah negara kerap turut menjadi faktor keputusan untuk menutup pabrik atau fasilitas produksi. Peraturan ketenagakerjaan yang ketat, standar lingkungan hidup, atau kebijakan perdagangan dapat meningkatkan biaya operasional dan beban kepatuhan terhadap peraturan, sehingga mendorong perusahaan untuk mengevaluasi kembali kebijakan produksinya.  

Sebuah perusahaan boleh jadi merealokasi sumber dayanya agar dapat berkonsetrasi pada kompetensi intinya. Perusahaan dapat mengalihdayakan aktivitas perakitannya juka memang tidak menjadi kompetensi intinya tanpa mengorbankan mutu atau kendali atas rantai pasokan. Pada saat  bersamaan, perusahaan dapat mempertahankan kehadiran unit ritel atau penjualannya guna mempertahankan ekuitas merek dan hubungan pelanggan. Inilah yang agaknya dilakukan oleh Bata di Indonesia, dengan tidak berkonsentrasi pada pabrik atau fasilitas perakitan. Menurut Hatta, Bata akan terus beroperasi dan melayani kebutuhan masyarakat Indonesia dengan kualitas produk terbaiknya. Pihaknya akan terus berinovasi dan meningkatkan pengalaman pelanggan melalui berbagai saluran, baik daring di situs www.bata.co.id maupun mengintegrasikan pengalaman langsung dari toko fisik. Jika pabrik tetap dipertahankan, perusahaan menjadi tidak efisien.

Dari perspektif manajemen risiko, dipertahankannya  unit ritel dan penjualan akan membantu menyebarkan risiko ke berbagai wilayah dan memitigasi paparan risiko geopolitik, ekonomi, atau operasional yang terkait dengan satu lokasi. Dengan mempertahankan kehadiran ritel, perusahaan mempertahankan pijakannya di pasar sekaligus berpotensi mengurangi paparan terhadap risiko spesifik yang terkait dengan operasi manufaktur. Contohnya adalah Nike. Perusahaan ini pernah dihantam kritik terkait praktik ketenagakerjaan dan kondisi kerja. Merespons kondisi ini, Nike mengambil inisiatif untuk memperbaiki kondisi ketenagakerjaan dan kelestarian lingkungan. Sebagai bagian dari upaya ini, Nike mengurangi ketergantungannya pada pabrik kontrak di negara-negara tertentu dan mengalihkan produksi ke fasilitas yang lebih terpusat dan terkendali. Misalnya, Nike menutup pabrik sepatu terakhirnya di Amerika Serikat, yang berlokasi di Maine, pada tahun 2001, sebagai bagian dari strategi yang lebih luas untuk menyederhanakan operasi manufakturnya. Namun, Nike tetap mempertahankan kehadiran ritelnya di AS melalui toko bermerek, platform penjualan online, dan kemitraan dengan pengecer pihak ketiga. Demikian pula, Nike menutup beberapa pabrik di Eropa sebagai bagian dari upayanya mengoptimalkan rantai pasokan global dan meningkatkan efisiensi operasional. Namun, perusahaan ini terus melayani pasar Eropa melalui gerai ritelnya, termasuk toko Nike dan dealer resminya, serta melalui saluran e-commerce. Dengan mengkonsolidasikan operasi manufaktur di wilayah-wilayah utama sambil mempertahankan kehadiran ritel di seluruh dunia, Nike bertujuan untuk meningkatkan ketangkasan, daya tanggap terhadap permintaan pasar, dan daya saing secara keseluruhan dalam industri alas kaki dan pakaian atletik. Pendekatan strategis ini memungkinkan perusahaan untuk mempertahankan visibilitas merek, keterlibatan pelanggan, dan pangsa pasar yang kuat, meskipun terjadi pergeseran dinamika manufaktur dan distribusi global.

Baca :   Hambatan Budaya dalam Kerja Hibrida

Kategori: Business Transformation

#bata

#sepatubata

#nike

#gapinc

#supplychain #ritel

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Article