Pengertian Productivity Paranoia

Pengertian Productivity Paranoia : Bila Tidak Saling Percaya

Hanya 24% karyawan percaya bahwa rekan kerja mereka mau dan mampu menyelesaikan pekerjaan dari jarak jauh. Demikian menurut sebuah survei yang dilakukan Envoy, seperti dikutip MIT Sloan Management Review. Dengan kata lain, satu dari empat karyawan tidak yakin bahwa rekan kerja mereka akan menuntaskan pekerjaan jika dilakukan dari jauh.

Hal senada juga terungkap dari survei yang dilakukan Microsoft. Survei dilakukan terhadap 20 ribu karyawan di seluruh dunia. Sekitar 85% pemimpin mengatakan sistem kerja hybrid membuat mereka sulit memercayai produktivitas karyawan.

Apa yang sebenarnya terjadi? Rupanya, banyak pimpinan organisasi yang  mengalami apa yang disebut paranoia produktivitas (productivity paranoia). Sederhananya, productivity paranoia terjadi ketika pemimpin atau manajer organisasi tidak percaya dengan etos kerja karyawannya meski ada bukti yang menunjukkan beban kerja mereka makin berat. Karyawan telah bekerja keras, menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik. Meski demikian, paranoia produktivitas menyebabkan manajer tetap memandang rendah produktivitas karyawan. Mereka menganggap karyawan tak bisa diandalkan.

Dalam perkembangannya, kekhawatiran ini bukan hanya dirasakan pemimpin atau manajer terhadap karyawannya, melainkan juga di antara sesama karyawan. Para manajer mengeluh mereka tidak dapat mengawasi karyawannya secara langsung bila bekerja jarak jauh.  Sementara itu, karyawan yang bekerja jarak jauh khawatir rekan mereka yang bekerja di kantor lebih leluasa membangun kedekatan dengan atasan sehingga lebih mudah mendapatkan promosi.

Mengapa productivity paranoia ini sampai terjadi? Salah satu penyembabnya, menurut Preston, terkait dengan ekspektasi. Acap ditemui, pemimpin organisasi tidak mampu menjelaskan dengan baik ekspektasi mereka terhadap karyawan, misalnya tentang kualitas kerja, jadwal, dan hasil kerja yang diinginkan. Akibatnya, mereka mengaggap karyawan tak mampu bekerja dengan baik meski kenyataannya adalah sebaliknya. Masalah lainnya terkait ekspektasi yang tidak realistis. Dalam hal ini pemimpin akan menganggap karyawan tidak produktif lantaran mereka tak mampu memenuhi harapan. Padahal di sisi lain, karyawan kewalahan lantaran harapan yang tak masuk akal.

Penyebab lainnya berkaitan dengan motivasi. Memotivasi karyawan bisa dilakukan melalui berbagai cara. Cara memotivasi yang tidak tepat dapat menghambat produktivitas karyawan. Ingatlah bahwa tiap-tiap karyawan memiliki keunikannya masing-masing. Jadi agar tak terjebak productivity paranoia, gunakan cara memotivasi yang tepat.

Rendahnya kepercayaan (trust) juga bisa menimbulkan productivity paranoia. Sejumlah organisasi besar sampai berinvestasi pada teknologi mahal, mulai dari perangkat lunak (software) pelacak  hingga kamera pengawas, guna melacak keberadaan dan waktu aktif online karyawan. Organisasi tersebut yakin cara ini membuat karyawan lebih produktif. Namun,  hasilnya justru bertolak belakang. Karyawan menjadi tidak loyal, tidak hormat, dan tidak lagi percaya pada organisasi. Mereka merasa dimata-matai, bahkan diintervensi privasinya.

Faktor flow juga berkaitan dengan productivity paranoia. Apa itu flow? Istilah didasarkan pada karya rintisan psikolog Mihaly Csikszentmihalyi. Intinya, flow adalah kondisi yang memungkinkan seseorang untuk merasakan dan melakukan yang terbaik. Jika berada dalam kondisi ini, orang bisa lima kali lebih produktif. Yang menarik, flow paling mungkin terjadi di tempat kerja apabila pertama, seseorang merasa memegang kendali atau self-efficacy. Kedua, saat merasa sangat dihargai. Productivity paranoia tenu saja terjadi jika kedua hal ini tiada (atau ditiadakan).

Tekanan terhadap eksekutif organisasi juga bisa menimbulkan productivity paranoia. Misalnya dalam kasus merosotnya permintaan produk akibat faktor-faktor seperti melambatnya ekonomi, berubahnya selera pelanggan, dan berubahnya teknologi. Hal ini menimbulkan tekanan bagi eksekutif untuk memacu produktivitas guna mengompensasi penurunan permintaan. Dampaknya, mereka terdorong untuk benar-benar mengawasi tindak tanduk karyawan. Tujuannya meyakinkan agar para karyawan ini benar-benar produktif di mata eksekutif. Dengan situasi ini, pimpinan seperti tidak memercayai karyawan. Maka, terjadilah productivity paranoia.

Productivity paranoia, jika dibiarkan, berdampak buruk baik bagi karyawan maupun organisasi. Sederet dampak buruk tersebut adalah burnout, berkurangnya kepuasan kerja karyawan, merosotnya keamanan psikologis, memburuknya hubungan antara karyawan dan pemimpin organisasi, serta anjloknya produktivitass.

Bagaimanakah cara nengatasi productivity paranoia ini? Kuncinya, seperti dikemukakan Rahman, adalah membangun budaya di mana karyawan merasa dipercaya dan cukup aman untuk tidak terus-menerus terjebak dalam pekerjaan. Pun, adanya fleksibilitas terukur (bukan tanpa batas) dalam hal kapan dan bagaimana pekerjaan diselesaikan.

Berikutnya, memberikan kebebasan dan otonomi bagi karyawan untuk menentukan bagaimana mengatur serta menyelesaikan pekerjaan mereka sendiri. Tentunya tanpa mengorbankan kualitas dan waktu. Hal ini dapat meningkatkan loyalitas, engagement, dan hasil dalam jangka panjang.

Di samping itu, fokuslah pada hasil serta dampaknya terhadap organisasi, bukannya teknologi mahal untuk memata-matai karyawan. Dengan berfokus pada hasil, menjadi lebih mudah untuk menilai apakah karyawan menghabiskan waktu dan bekerja dengan cara yang tepat.

Seperti disebutkan di atas, productivity paranoia kerap terjadi akibat kurang jelasnya ekspektasi. Oleh karenanya, tiap-tiap pihak, baik pemimpin maupun karyawan, harus saling memahami ekspektasi masing-masing, bila perlu dengan lebih spesifik.

#productivityparanoia

#microsoft

#trust

#ekspektasi #flow

#paranoia produktivitas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Article