Tradisi dan Inovasi dalam Bisnis Keluarga: Manakah yang lebih Unggul?

Tradisi dan Inovasi dalam Bisnis Keluarga: Manakah yang lebih Unggul?

Bicara tentang tradisi, bisnis keluarga sangatlah kuat. Kultur keluarga merupakan suatu kebanggaan tersendiri yang melambangkan stabilitas, identitas, motivasi, komitmen, dan kontinuitas. Tradisi lainnya yang berkontribusi besar bagi perkembangan bisnis keluarga adalah dilibatkannya anak-anak sejak awal dalam pengelolaan bisnis, meski dalam skala kecil. Hal ini mengasah naluri serta kepekaan bisnis sang anak. Tradisi yang juga tak kalah penting adalah selalu berpikir jangka panjang, Tabu bagi mereka menjual produk cacat. Jika demikian, bukan hanya produk yang tak laku. Kehormatan keluarga bakal tercoreng.

Contoh nyatanya banyak terdapat di Jepang. Tahukah anda bahwa di negeri sakura terdapat lebih dari 30 ribu bisnis yang usianya telah berabad-abad? Sebagian besar dimiliki keluarga, tanpa berpindah tangan. Bahkan ada yang usianya hampir satu milenium. Contohnya adalah Tsuen Tea. Tsuen Tea adalah kedai teh tertua di Jepang, bahkan mungkin di dunia, yang sudah berdiri sejak 1160 masehi. Kedai teh ini masih kukuh berdiri hingga kini dan dipegang oleh 24 generasi  keluarga Tsuen secara turun-temurun. Contoh berikutnya adalah Ichimonjiya Wasuke, yang telah telah menjual makanan manis di Kyoto sejak 1000 masehi. Lalu, ada Takenaka, raksasa konstruksi asal Osaka yang didirikan pada 1610 dan saat ini dipimpin oleh generasi ke-17.  Meski jauh lebih muda dari Tsuen Tea, bisa bertahan selama 17 generas tetaplah prestasi yang luar biasa.

Apa rahasianya sehingga banyak bisnis keluarga asal Jepang berumur amat panjang? Menurut Hara, ini karena bisnis keluarga di Jepang sangat menekankan keberlanjutan dibandingkan sekadar memaksimalkan keuntungan secara cepat. Dalam pikiran generasi senior, yang terpenting adalah bagaimana menyerahkan pengelolaan bisnis keluarga kepada anak cucunya tanpa kurang suatu apa pun. Yusuke Tsuen, yang saat ini memimpin Tsuen Tea, pernah mengatakan bahwa jika anak-anak ditanya tentang cita-cita, tanpa ragu mereka menjawab ingin mengurus bisnis orangtuanya.

Alasan lainnya, seperti dikemukakan Sasaki, adalah karena bisnis keluarga di Jepang memiliki budaya menghormati tradisi dan leluhur. Tak kalah penting adalah core competency. Bisnis keluarga di Jepang sangat kuat dalam hal ini. Sederhananya, core competency adalah kompetensi yang membuat sebuah perusahaan mampu bertahan, bahkan di tengah perubahan teknologi. Contohnya adalah Nintendo, sebuah nama yang tak asing lagi. Perusahaan ini dikenal di seluruh dunia karena merevolusi hiburan di rumah dengan sistem permainan elektroniknya pada 1985. Namun, banyak yang tidak tahu bahwa Nintendo asalnya adalah pembuat kartu remi untuk permainan Jepang, hanafuda. Lantas, bagaimanakah Nintendo bisa sukses sebagai produsen game? Menurut Hara, ini karena Nintendo tahu caranya menciptakan kesenangan, bukan sekadar permainan.

Resep panjang umur lainnga adalah kepedulian terhadap pelanggan. Contohnya adalah ryokan: penginapan tradisional Jepang yang memperlakukan tamu seperti keluarga. Jepang menghargai layanan pelanggan tingkat tinggi yang dikenal sebagai omotenashi, dan mencoba mengantisipasi apa yang dibutuhkan pelanggan karena layanan tersebut mendorong keberlanjutan yang dihargai oleh perusahaan Jepang.

Tradisi Meminggirkan Inovasi, atau Sebaliknya?

Namun, kuatnya bisnis keluarga memegang tradisi menimbulkan kekhawatiran akan mandeknya inovasi. Selama ini, sebagian orang menganggap bisnis keluarga sebagai entitas konservatif, tidak mau berubah, hanya percaya pada anggota keluarga, dan sederet pandangan lain yang imengesankan bahwa bisnis keluarga itu ketinggalan zaman. Bagimanakah sebenarnya duduk persoalannya?

Faktanya, banyak bisnis keluarga yang menghasilkan produk-produk yang melegenda. Siapa tak kenal BMW, Louis Vuitton, Nutella, Samsung, Mars, dan sebagainya? Semuanya tentunya tidak lahir begitu saja, tetapi berasal dari hasil pemikiran yang inovatif.

Kuncinya adalah menyeimbangkan inovasi dengan tradisi, memanfaatkan kekuatan keduanya untuk mendorong pertumbuhan dan keberlanjutan. Caranya? Modernisasi aspek-aspek tertentu dari manajemen bisnis seraya melestarikan tradisi-tradisi utama yang merupakan bagian integral dari identitas dan budaya bisnis keluarga. Inovasi harus dibangun di atas perpaduan modernisasi dan tradisi.

Termasuk yang harus diperbarui adalah pengelolaan SDM dan organisasi. Jelas bahwa semakin modern  bisnis, semakin sulit jika hanya bergantung pada anggota keluarga, termasuk untuk posisi eksekutif.  Demikian pula dengan masalah perekrutan. Tak bisa lagi bisnis keluarga merekrut anggota keluarga sesukanya tanpa pertimbangan kompetensi, demi alasan hubungan keluarga. Struktur, sistem, dan aturan main keluarga juga perlu disusun dengan baik. Pengelolaan SDM dan organisasi yang baik ini akan menambah kekuatan bisnis keluarga, yang dikenal jago dalam hal adaptasi teknologi, memahami preferensi pelanggan dan tren pasar, serta efisiensi produksi.

Bisnis keluarga yang sudah berdiri selama ratusan, bahkan ribuan tahun tanpa berganti pemilik pastilah memilik perencanaan suksesi yang matang. Transisi kepemimpinan dari satu generasi ke generasi berikutnya merupakan titik kritis. Ketegangan  antara tradisi dan inovasi seringkali mengemuka. Perencanaan suksesi harus melibatkan diskusi tentang bagaimana mempertahankan nilai-nilai unggulan dan tradisi sekaligus memungkinkan munculnya ide-ide dan pendekatan baru dari generasi penerus.

Jadi, tradisi dan inovasi bisa berjalan bersama-sama. Tidak harus menegasikan satu dengan lainnya. Tradisi yang berkontrobusi terhadap kemajuan bisnis tentunya harus dipertahankan. Agar terus berkembang dan mampu menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman, inovasi tiada henti menjadi kuncinya. Jadi keduanya ibarat dua sisi mata uang.

#tradisi keluarga

#inovasi perusahaan keluarga

#bisnis keluarga     

#jepang

#tsuentea ##nintendo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Article