Kepemimpinan dan Inovasi

Kepemimpinan dan Inovasi

Untuk sukses dalam hidup, ada banyak faktor penentu. Dahulu kala, orang menganggap bahwa faktor otak (IQ) paling menentukan. Kemudian, ditambahkan bahwa faktor emosional juga tak kalah penting. Lalu disempurnakan lagi oleh temuan Stoltz yang menyatakan bahwa kecerdasan untuk mengatasi hambatan dan mengubahnya menjadi peluang (Adversity Quotient — AQ) adalah faktor yang tidak dapat dinafikan begitu saja agar seseorang dapat meraih sukses.

Toh demikian, hanya berbekalkan ketekunan.  Pengalaman menunjukkan, jikalau kita hanya modalnya nekad, tanpa kreativitas, akhirnya gagal terus. Walaupun tidak pernah lelah, lama kelamaan akan terbentur juga. Sebab usaha yang sia-sia akan menyita tenaga. Oleh karena itu, seseorang  mau tidak mau harus pandai membuat inovasi.

Untuk itulah, seseorang harus pandai-pandai membuat terobosan. Ia diandaikan bisa melakukan hal –hal yang tidak biasa, sesuatu yang tidak dilakukan orang biasa. Barangkali terkesan aneh dan dianggap miring, namun ditemukan pemecahan masalah. Bahkan, kadang merupakan jawaban tepat atas situasi yang dihadapi. Sering, untuk meraih sukses, seseorang terpaksa mencari jalan agar bisa keluar dari lingkaran setan. Untuk itu, biasanya mengambil pendekatan out of the box.

Akan tetapi, inovasi tidak selalu bisa menempuh jalan di luar pagar, secara spontan dan mengikuti naluri begitu saja. Yang namanya pembaruan harus dilakukan secara sistematik. Inovasi bisa diciptakan dengan pendekatan yang lebih kreatif, misalnya mulai bermain-main dengan constraint. Kita punya tujuan, tapi ada constraint. Misalnya, kita punya tujuan membangun gedung empat lantai. Biaya yang ditetapkan: tidak lebih dari satu miliar rupiah.  Jika tidak dibatasi dana senilai itu, bisa saja. Itulah yang namanya constraint, yakni constraint dari segi pembiayaan. Sebab jika tidak dibatasi, biaya akan membengkak dan terus membengkak karena tidak terbatas atau dibatasi. Tidak akan muncul kreativitas dan inovasi di dalam sesuatu yang tidak terbatas Orang akan bermain-main dalam sebuah ruang yang lentur. Dan akan selalu ada pembenaran jika gagal.

Berbeda jika ada constraint. Tapi tiap kali mulai constraint, kita mulai dengan harga konvensional, harga bangunan, sekian rupiah per meter. Jika luasnya sekian ribu meter, lalu total harganya tidak masuk, lebih dari constraint satu miliar tadi.

Dengan demikian, sesorang haruslah melakukan inovasi. Ia akan membuat kalkulasi. Ia akan bertanya-tanya: Apa bahan bangunan yang paling mahal? Apakah perlu menggunanannya, atau malah bisa beralih ke yang lain? Ia bisa saja mulai dengan bertanya: komponen apa yang paling malah? Apakah dindingnya harus dari bahan batu bata? Tidak harus! Bagaimana supaya aman, zaman sekarang jika ada gempa, jika lantai atas sarat dengan beban berat, jika terjadi gempa maka penghuninya nanti langsung luka parah. Jika tetap menggunakan batu bata, mungkin mencari yang ringan. Mulai bertanya: boleh tidak menggunakan batu bata berongga yang lebih murah? Yang penting tujuannya tercapai. Namun, dengan biaya yang jauh lebih murah. Inilah kreativitas.

Lalu, bersamaan dengan itu, ada additional plus point. Agar ada nilai plusnya, bangunan yang berbiaya murah tadi, kita masukkan bahan kedap suara. Jadilah tembok yang sesuai tujuan: murah, ringan, dan ada niai tambahnya, yakni kedap suara. Inilah yang disebut kreatif dan inovatif.

Seorang eksekutif, atau pemimpin, tidak hanya harus mendapatkan hanya pembelajaran konsep inovatif secara cukup berkala, tetapi dia juga diekspos kepada beberapa kejadian yang sifatnya simulatif ataupun yang realistis.

Kreativitas bisa keluar dari krisis di saat genting ini hal yang perlu untuk dites pada pada para calon pemimpin. Jika dia bisa keluar dari zona kritis, berarti yang bersangkutan kreatif dan inovatif. Sebuah ujian yang kelak di kemudian hari juga akan dialaminya langsung dalam pekerjaan.

Satu lagi inovasi yang penting ialah jenis informasi apa yang penting? Bisa dalam keadaan terdesak, bisa inovasi mencari biaya yang lebih murah, bisa untuk meningkatkan kualitas, nilai tambah, bisa juga untuk digunakan berulang kali.

Seorang pemimpin diajarkan keterampilan untuk melakukan inovasi, yakni inovasi yang terkait dengan kreativitas.

Tak Mau didikte oleh Keadaan

Salah satu spirit pemimpin stratejik adalah tidak mau didikte oleh keadaan. Orang yang didikte keadaan, mudah untuk dikenali. Ia sibuk mencari excuse. Kata-tanya demikian, “Ini tidak bisa karena…..”, dan seterusnya. Serba sibuk mencari pembenaran. Sudah tahu begitu, tidak berusaha dicari bagaimana caranya?

Seorang leader yang stratejik, tidak akan mencari pembenaran. Sebaliknya,  dalam keadaan apa pun, ia dapat keluar dari zona krisis, lepas dari constraint! Biasanya, jika sudah berhasil lepas dari zona krisis, segalanya serba mengalir. Apa pun hal baru yang dilakukan, seperti disuratkan untuk berhasil. Kita menamakannya “inovasi mengalir”.

Seperti air, mengalir begitu saja. Demikian kita saksikan para eksekutif dan pemilik bisnis. Mereka bisa melakukan apa saja. Kita kerap melihat hasilnya, namun sebenarnya mereka butuh proses untuk sukses.

Sebagai contohnya, Samsung. Samsung, sejak berdirinya pada tahun 1938 oleh Lee Byung-chull, telah mengalami beberapa kali perubahan arah bisnis sebelum akhirnya menjadi raksasa dalam industri elektronik dan komunikasi. Pada awalnya, Samsung didirikan sebagai toko makanan, namun Lee kemudian mengubahnya menjadi produsen Mi pada awal 1940-an karena persaingan ketat di bisnis makanan. Akibat Perang Korea pada tahun 1950, bisnis Lee berubah lagi menjadi perusahaan gula.

Setelah Perang Korea, pada tahun 1954, Samsung beralih lagi menjadi produsen Wol dan kemudian memasuki bisnis asuransi dan surat-surat berharga di tengah pertumbuhan ekonomi Korea Selatan. Pada tahun 1960, Lee fokus pada produk-produk elektronik, dengan televisi hitam putih sebagai produk pertamanya.

Pada tahun 1980, Samsung memasuki bisnis telekomunikasi dengan memproduksi pesawat telepon dan mesin faks. Setelah kematian Lee pada tahun 1987, Samsung dibagi menjadi empat perusahaan yang bergerak di berbagai bidang. Tahun 1990, Samsung mulai berbisnis properti dan konstruksi.

Selama krisis ekonomi akhir 1990-an, Samsung melakukan restrukturisasi, menjual dan menggabungkan anak perusahaannya. Dengan bergabungnya unit bisnis elektronik, kimia, dan rekayasa, Samsung menjadi produsen cip memori terbesar di dunia. Pada tahun 2000, Samsung beralih ke produksi layar kristal cair dan selama sepuluh tahun berikutnya mendominasi pasar televisi layar datar.

Pada tahun 2010, di tengah persaingan ketat di industri televisi, Samsung meluncurkan strategi pertumbuhan dengan fokus pada telepon pintar. Saat ini, Samsung menjadi penguasa pasar telepon pintar, bersaing dengan Apple dan produk serupa dari Tiongkok. Perjalanan bisnis Samsung menunjukkan adaptabilitasnya di berbagai sektor industri.

Faktor apa yang menjadikan bisnis Samsung bukan saja sanggup bertahan, tetapi juga berkembang pesat? Tidak lain dan tidak bukan. Para leader di perusahaan itu telah melalukan inovasi tiada henti. Sebelum jadi pemimpin, mereka sudah dilatih untuk kreatif dan dapat keluar dari zona krisis.

Dari Buku: Strategic Leadership: A. B. Susanto >> Beli Buku

#inovasi

#kreativitas

#Samsung

#pemimpinstratejik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Article