Empat  Keterampilan CEO: Menumbuhkan Budaya Perusahaan yang Berpikir Maju

Empat  Keterampilan CEO: Menumbuhkan Budaya Perusahaan yang Berpikir Maju

Banyak perusahaan menggunakan hirarki perusahaan yang terstandarisasi. Pada titik tertinggi dalam piramida hirarki biasanya adalah CEO, yang memikul tanggung jawab yang sangat besar bagi perusahaan. CEO mendapatkan keuntungan dari penggunaan keterampilan dan perilaku tertentu untuk menginformasikan pekerjaan dan kepemimpinan mereka.

Para CEO sebelumnya mungkin hanya membebankan tanggung jawab budaya perusahaan yang sehat kepada departemen sumber daya manusia mereka, namun sekarang, mereka memahami bahwa ini adalah upaya kolaboratif di mana mereka memainkan peran utama.

Dikutip dari forbes.com, menurut sebuah stud, sekitar 80% CEO global menyadari bahwa mereka harus mengubah diri mereka sendiri untuk mengubah dunia. Mereka menjadi lebih sadar diri tentang bagaimana peran mereka berdampak pada lingkungan, baik di dalam maupun di luar perusahaan, dan bagaimana mereka harus meningkatkan dinamika mereka dengan para karyawan.

Jadi, apa yang harus diubah oleh para CEO mengenai pendekatan dan keahlian mereka untuk membangun budaya perusahaan yang berpikiran maju?

Apa yang dimaksud dengan budaya perusahaan yang berpikiran maju?

Baca :   Talent Drain: When Stars Leave

Budaya perusahaan yang berpikiran maju merupakan nilai-nilai yang memungkinkan terciptanya lingkungan di mana orang-orang bebas menciptakan pendekatan baru, untuk kemudian menguji dan membagikan hasilnya. Dalam budaya seperti itu, inspirasi dihargai dan setiap tindakan menghasilkan dampak yang signifikan.

Berikut adalah keterampilan yang harus dimiliki CEO untuk menciptakan dan memelihara dinamika yang tangguh dan berorientasi pada inovasi.

1. Transparansi

Transparansi adalah praktik berbagi informasi secara terbuka dengan pemangku kepentingan (stakeholders), baik internal maupun eksternal, tentang aktivitas, keputusan, dan kinerja organisasi. Transparansi mencakup penyediaan informasi yang jelas dan mudah diakses tentang tujuan, strategi, kesehatan keuangan, proses pengambilan keputusan, dan aspek-aspek lainnya dalam organisasi. Transparansi bertujuan untuk membangun kepercayaan, menumbuhkan akuntabilitas, dan mendorong budaya keterbukaan. Kurangnya transparansi menimbulkan berbagai dampak negatif. Mulai dari ketidakpercayaan karyawan terhadap organisasi; berkembang aneka rumor, spekulasi, dan kesalahpahaman; renggangnya hubungan antarkaryawan serta antara karyawan dan pimpinan; menurunnya kualitas pengambilan keputusan; dan memudarnya etika.

2. Berlatih Mendengarkan

Sekitar 57% pekerja yang disurvei oleh Pew Research Center pada tahun 2021 mengaku meninggalkan tempat kerja mereka karena kurangnya rasa hormat. Meragukan filosofi “tekanan menghasilkan berlian”, karyawan sekarang menempatkan manajemen yang lebih tinggi di bawah pengawasan: Dapatkah mereka memahami kebutuhan mereka dan memenuhi harapan mereka?

Baca :   PHK Massal 2024: Bagaimanakah dengan 2025?

Inilah sebabnya mengapa para CEO perlu belajar, berlatih dan mengasah semua keterampilan yang berkaitan dengan empati. Mendengarkan apa yang dikatakan karyawan dapat membantu mencegah 80% masalah pemutusan hubungan kerja di seluruh perusahaan.

3. Kuasai fleksibilitas.

Fleksibilitas bukan hanya sebuah keterampilan. Ini adalah filosofi yang harus merasuk ke semua departemen di dalam perusahaan. Namun, hal ini harus dimulai dari atas, yang berarti bahwa para CEO harus merangkul fleksibilitas, memasukkannya ke dalam pola pikir mereka dan membuatnya menular.

Apa yang dimaksud dengan fleksibilitas? Sederhananya, pemimpin yang fleksibel menganut prinsip-prinssip berikut:

  • Bersiaplah untuk apa pun. Tidak ada yang permanen. Rencana berubah, keadaan kahar (force majeure) dapat terjaddi sewaktu-waktu. Hal terbaik yang bisa dilakukan seorang pemimpin adalah menghadapi perubahan dan membantu karyawan melakukan hal yang sama. Ketahanan dan kemampuan beradaptasi lahir dari upaya kolaboratif.
  • Berpikirlah terbuka. Pendekatan dan taktik manajemen yang konservatif tidak hanya berdampak buruk pada produktivitas, tetapi juga pada reputasi perusahaan. Seorang pemimpin harus tetap sadar akan praktik dan model kerja terbaru serta mengeksplorasi bagaimana hal tersebut dapat diterapkan.
Baca :   What is Brown Nosing?

4. Mendorong otonomi.

Para pemimpin percaya bahwa mereka sering kali harus melakukan semuanya sendiri. Merekalah yang membuat keputusan, membentuk visi, dan memecahkan masalah. Meskipun benar bahwa menjadi CEO adalah tanggung jawab yang besar dan merekalah yang bertanggung jawab atas risikonya, namun tetap penting untuk mengetahui kapan harus melepaskan kendali dan mendorong otonomi.

Kategori : corporate culture

#ketrampilanceo #budayaperusahaan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Article