Batu Sandungan Sustainability

Batu Sandungan Sustainability

Lego membatalkan rencana membuat mainan batu batanya dari botol daur ulang (recycle bottle).  Alasannya, penggunaan botol daur ulang tidak mengurangi emisi karbon.  Meski demikian, seperti dikutip BBC, raksasa mainan asal Denmark itu tetap berkomitmen membuat batu bata mainannya dari bahan ramah lingkungan (sustainable materials). Lego mengatakan pihaknya bertekad mengurangi emisi karbon sebesar 37 persen pada 2032.

Lego menghasilkan lebih dari empat ribu macam batu bata mainan. Saat ini, banyak di antaranya yang dibuat menggunakan acrylonitrile butadiene styrene (ABS), yaitu plastik murni yang terbuat dari minyak mentah.

Pembatalan ini dianggap sebagai langkah mundur. Sebagai salah satu perusahaan terkenal di dunia, Lego mendapatkan perhatian intens seputar upayanya menjadi “perusahaan hijau”. Salah satu kendala yang dihadapi Lego adalah mencari bahan yang dapat bertahan selama beberapa generasi.

Niels Christiansen, CEO Lego, mengatakan tidak ada “bahan ajaib” untuk mengatasi kendala keberlanjutan perusahaan. Christansen mengaku pihaknya telah menguji ratusan bahan guna mencari formula yang pas agar ramah lingkungan.

Apa yang dialami Lego, yaitu kesulitan menemukan serta meramu bahan baku ramah lingkungan secara tepat, juga banyak dialami perusahaan yang berupaya menerapkan praktik sustainability, menjalankan operasi bisnis seraya berupaya meminimalkan dampak negatifnya terhadap lingkungan.

Baca :   Blending Skill-Based Hiring and Microcredentials: Faster Recruitment for Better Results

Namun, menemukan bahan baku yang andal bukanlah satu-satunya kendala. Kendala yang utama agaknya adalah soal harga. Harga produk hijau ternyata lebih mahal.  Mengapa demikian? Pertama, meski orang makin sadar terhadap dampak positif produk ramah lingkungan, permintaan dan ketersediaanya masih relatif terbatas bila dibandingkan produk konvensional akibat kurangnya informasi serta tidak mudahnya mengubah kebiasaan lama, khususnya dari sisi konsumen. Akibatnya, skala ekonomi, yaitu turunnya biaya per unit akibat meningkatnya produksi tidak tercapai lantaran produsen tidak memproduksi produk hijau dalam jumlah besar.

Berikutnya, biaya bahan mentah (raw material) yang juga mahal karena produk ramah lingkungan mensyaratkan bahan berkualitas tinggi. Produk bahan mentah seperti ini pun lebih sedikit.  Belum lagi jika perusahaan harus melakukan ekspreimen, seperti yang dilakukan Lego.

Sertifikasi juga kerap menjadi isu. Banyak produk dan proses yang mensyaratkan sertifikasi agar dianggap ramah lingkungan. Masalahnya, untuk mendapatkan sertifikasi ini, perusahaan harus mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dan menjalani pengujian dan inspeksi ketat. Tentunya, ini menambah biaya produksi mengingat perusahaan harus mengeluarkan lebih banyak uang, waktu, dan sumber daya. Di Amerika Serikat dan Kanada, misalnya, ada Leap Bunny Certification. Ini merupakan salah satu sertifikasi yang paling ketat dan mahal.  Untuk mendapatkan sertifikasi ini, perusahaan harus melalui proses aplikasi terperinci yang mencakup pengujian pada hewan, pengungkapan bahan, klaim pemasaran, dan proses produksi. Sertifikasi juga memerlukan audit tahunan untuk memastikan bahwa perusahaan mematuhi kebijakan sertifikasi.

Baca :   Thriving Without Layoffs: Lessons from Silver Queen

Menciptakan produk ramah lingkungan memerlukan proses yang lebih kompleks dan mahal. Sebagai contoh, alat makan plastik sekali pakai mungkin mudah dipotong, dibentuk, dan dicetak. Sementara alat makan bambu membutuhkan lebih banyak waktu dan sumber daya berkualitas tinggi untuk diproduksi. Contoh lainnya, serat alami dan teknologi berkelanjutan yang inovatif memerlukan biaya lebih besar dibandingkan serat tradisional.

Untuk benar-benar mewujudkan sustainability, ada paktik bisnis yang harus ditata ulang, misalnya pemasangan panel surya, mengganti peralatan lama dengan peralatan baru yang hemat energi, dan mengalokasikan waktu karyawan  untuk berkontribusi bagi pelestarian lingkungan. Kembali, praktik-praktik ini mmerlukan baiay yang tidak sedikit.

Mengingat upaya mewujudkan sustainability tidak murah, apakah perusahaan harus menyerah? Tentu tidak demikian. Dalam jangka panjang, praktik-praktik sustainability menghasilkan banyak manfaat. Salah satunya adalah penghematan biaya (cost saving). Meski awalnya perusahaan harus berinvestasi dalam jumlah besar untuk mewujudkan sustainability, dalam perjalanannya banyak inisiatif-inisiatif ramah lingkungan dapat menghasilkan penghematan biaya dalam jangka panjang. Contohnya teknologi hemat energi, pengurangan limbah, dan tindakan konservasi air, yang dapat menurunkan biaya operasional.

Baca :   The Threat of Gatekeeping

Satu lagi Kabar baiknya, mewujudkan sustainability tidak harus dilakukan sekaligus, tetapi dapat diwujudkan secara bertahap. Perusahaan dapat memulainya dari hal kecil, untuk bergerak  menuju sustainability sesuai kemampuan seiring berjalannya waktu. Ini agaknya yang diterapkan Lego. Pengurangan emisi karbon tidak dilakukan sekaligus. Meski demikian, ada target yang ditetapkan untuk dicapai.  Dengan cara ini, biaya dapat dikelola dengan lebih efisien.

Kategori: Innovation & Sustainability #lego   #sustainability             # nielschristiansen      #rawmaterial  #sertifikasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Article