Bisnis Keluarga : Rahasia di Balik Kegagalan Pemimpin Profesional

Bisnis Keluarga : Rahasia di Balik Kegagalan Pemimpin Profesional

Bayangkanlah seorang pemimpin atau manajer profesional yang sukses di perusahaan multinasional atau BUMN. Kesuksesannya ini memikat sebuah bisnis keluarga (family business) yang sedang berkembang pesat.  Kemudian, direkrutlah sang manajer profesional, dengan harapan membawa bisnis keluarga lepas landas menuju kejayaan.  Namun, apa yang kemudian terjadi? Kinerjanya mengecewakan. Padahal ia sudah dibayar mahal. Apa yang salah?

Kesuksesan kepemimpinan sering dilihat sebagai sesuatu yang dapat ditransfer atau dibawa ke organisasi mana pun, tak pedul besar atau kecil, siapa pun pemiliknya.  Premis ini juga banyak dianut oleh bisnis keluarga. Kenyataannya, konteks di mana seorang pemimpin beroperasi berdampak signifikan terhadap efektivitasnya. Meskipun seorang pemimpin mungkin unggul dalam lingkungan perusahaan multinasional atau nonkeluarga, peralihan ke bisnis keluarga dapat menghadirkan tantangan unik yang menghambat kesuksesannya.

Mengapa demikian? Paling sering dijumpai adalah berbedanya budaya organisasi. Banyak lingkungan bisnis nonkeluarga yang memprioritaskan efisiensi, kinerja, dan prosedur standar, yang semuanya bersifat objektif dan terukur.

Bisnis Keluarga : Rahasia di Balik Kegagalan Pemimpin Profesional

Para pemimpin dalam situasi ini terbiasa dengan suasana profesional, di mana keputusan didorong oleh data, tujuan strategis, dan kepentingan pemegang saham. Apatah lagi jika perusahaan sudah go public, yang pemegang sahamnya tersebar dan banyak. Sebaliknya, bisnis keluarga seringkali mempunyai nilai-nilai budaya dan tradisi yang sudah mendarah daging.

Budaya organisasi dalam bisnis keluarga biasanya lebih bersifat pribadi dan kurang formal, dengan keputusan yang dipengaruhi oleh dinamika keluarga dan pertimbangan legasi jangka panjang dibandingkan kinerja keuangan jangka pendek semata. Apa dampaknya? Seorang pemimpin yang tadinya sukses dalam lingkungan korporat besar mungkin merasa sulit beradaptasi dengan budaya bisnis keluarga yang lebih cair dan berorientasi pada hubungan personal. Struktur kekuasaan yang informal dan terkadang ambigu dapat membingungkan, sehingga menyebabkan kesalahan dalam pengambilan keputusan dan komunikasi.

Baca :   Preparing Human Resources for the Crisis

Berikutnya, soal pengambilan keputusan. Di korporasi yang mapan, pengambilan keputusan sudah efisien. Struktur dan sistem organisasi telah jelas. Pemimpin terbiasa mengambil keputusan dengan cepat, berdasarkan data dan strategi bisnis murni (tanpa pertimbangan nonbisnis). Namun tidak demikian dalam banyak bisnis keluarga, Bisnis keluarga sering kali melibatkan banyak anggota keluarga dalam proses pengambilan keputusan, yang bisa jadi lebih kolaboratif dan terkadang lebih lambat.

Pengambilan keputusan mungkin perlu mempertimbangkan pendapat dan perasaan berbagai anggota keluarga, sehingga mengarah pada dinamika yang lebih kompleks. Menghadapi situasi seperti ini, pemimpin dari bisnis nonkeluarga, apalagi dari perusahaan yang telah mapan, dapat merasa frustrasi akibat proses pengambilan keputusan yang lebih lambat dan berdasarkan konsensus dalam bisnis keluarga. Gaya mereka yang biasanya tegas mungkin dianggap arogan atau tidak peka, sehingga menimbulkan perselisihan.

Otoritas  juga kerap menjadi isu. Pemimpin korporat yang sudah mapan tinggal menjalani hierarki yang sudah berlaku selama bertahun-tahun. Otoritas juga telah didefinisikan secara jelas. Karyawan tinggal mengikuti rantai komando yang sudah ada, dan pemimpin dapat mengandalkan struktur formal untuk menegaskan pengaruhnya. Bagaimanakah dengan bisnis keluraga? Masalah otoritas kerap tidak jelas atau tumpang tindih.

Baca :   Bridging the Generation Gap in the Face of the Talent Cliff

Anggota keluarga mungkin memegang kekuasaan informal berdasarkan hubungan mereka dan bukan peran resmi mereka. Tak heran ada anggota keluarga yang dengan leluasa memberikan isntruksi atau penugasan pada karyawan meski namanya tidak tercantum dalam struktur organisasi, bahkan tidak bekerja dalam bisnis.

Apa dampaknya? Seorang pemimpin yang terbiasa dengan otoritas yang jelas bisa kewalahan karena di samping mengurusi masalah bisnis, ia juga harus sibuk memikirkan dinamika keluarga. Padahal, memikirkan bisnis sudah menguras tenaga dan pikiran.  Tak hanya itu. Mereka dapat merasa kurang dihargai terutama jika keputusan mereka dianggap mengancam tatanan yang sudah ada.

Dalam lingkungan bisnis nonkeluarga yang sudah mapan, batasan profesional lebih jelas. Hubungan pribadi harus diletakkan di bawah kepentingan bisnis. Dalam lingkungan yang demikian, pemimpin lebih leluasa  mengambil keputusan sesulit apa pun tanpa beban keterikatan emosional pribadi. Sementara itu dalam bisnis keluarga, hubungan pribadi sangat erat dengan operasi bisnis.

Para pemimpin harus mempertimbangkan dampak emosional dari keputusan mereka terhadap anggota keluarga, yang dapat mempersulit pilihan bisnis yang, dalam kondisi absennya hubungan keluarga, sebenarnya mudah dilakukan.  Akibatnya, pemimpin yang tak terbiasa terbiasa mengelola hubungan pribadi dalam konteks bisnis mungkin akan kesulitan menghadapi kompleksitas emosional dalam bisnis keluarga. Mereka mungkin menjadi terlalu berhati-hati, berusaha menghindari konflik, atau terlalu tidak peduli, tidak menyadari pentingnya ikatan keluarga.

Baca :   What is Brown Nosing?

Pemimpin korporasi mapan biasanya adalah produk meritokrasi, sistem yang memberikan kesempatan kepada seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan, senioritas, dan sebagainya. Dengan demikian, legitimasinya jarang dipertanyakan.

Namun saat bergabung dengan bisnis keluarga, si pemimpin tetaplah ddipandang sebagai orang luar (outsider), apa pun kualifikasinya.  Oleh karenanya, kerap tidak mudah baginya mendapatkan kepercayaan. Bahkan, kewenangannya sering diganggu. Hal ini menyulitkan dirinya untuk menjalankan ide-idenya.

Apa yang Harus dipersiapkan Oleh Pemimpin untuk Bisnis Keluarga?

Bagi pemimpin yang terbiasa di lingkungan korporasi mapan, memang kerap tak mudah bila berada di lingkungan bisnis keluarga. Ia harus punya  pemahaman yang dalam tentang dinamika budaya, emosi, dan struktur keluarga. Jika ingin sukses, pemimpin profesional harus menyesuaikan pendekatan mereka, merangkul nilai-nilai dan harapan bisnis keluarga sambil menyeimbangkan keahlian profesional dengan kepekaan terhadap dinamika keluarga.

Bagi bisnis keluarga, bila memang ingin menggaet pemimpin profesional dari luar keluarga, harus sejak awal menciptakan iklim kondusif bagi mereka.  Bukan hanya kompensasi, melainkan mewujudkan profesionalisme. Struktur dan sistem organisasi harus ditata rapi. Meritokrasi sedapat mungkin harus ditegakkan.

#bisniskeluarga

#familybusiness

#profesional

#pemimpin #meritokrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Article