Rencana IKN Pilpres 2024 : Haruskah Ganti Pemimpin Ganti Kebijakan?

Rencana IKN Pilpres 2024 : Haruskah Ganti Pemimpin Ganti Kebijakan?

Tiga pasang capres-cawapres bakal bertarung pada pilpres 2024. Salah satu isu yang hangat adalah nasib pembangunan Ibu kota negara (IKN) saat kelak pemerintahan baru terbentuk. Pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD, dalam dokumen visi misi dan program kerja mereka, menegaskan komitmen mereka dalam membangun IKN. Demikian pula dengan pasangan Prabowo-Gibran. Hanya pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar yang tidak mencantumkannya. Meski demikian, pasangan ini menyebutkan bahwa program IKN tetap berlanjut jika mereka terpilih.

Untuk soal IKN,   menurut Deputi Bidang Pendanaan dan Investasi IKN Agung Wicaksono, regulasi IKN sangat kuat dan telah dirumuskan dalam sebuah Undang-Undang (UU). Sehingga investor tidak perlu takut maupun khawatir dengan adanya potensi perubahan regulasi terkait IKN di masa yang akan datang. Dengan kata lain, siapa pun presidennya, proyek IKN tetap dilanjutkan.

Masa depan proyek IKN ini menjadi topik hangat lantaran ada kehawatiran bergantinya kebijakan seiring dengan pergantian pemimpin. Maklumlah, fenomena “ganti pemimpin ganti kebijakan” jamak dijumpai di negeri ini.

Fenomena yang sama sebenarnya juga terjadi di dunia korporasi. Kebijakan mengacu pada rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagainya); pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran.

Baca :   Turnover Contagion: Responding to the Wave of Resignations that Threatens Team Stability

 Pertanyaannya, haruskah seorang pemimpin baru mengubah kebijakan pemimpin sebelumnya?  Hal ini sebenarnya ditentukan banyak  faktor.  Di antaranya adalah visi, misi, nilai, dan strategi sang pemimpin baru yang mungkin berbeda dengan pemimpin sebelumnya. Ini tentunya menghasilkan kebijakan yang berbeda pula.

Faktor penentu berikutnya adalah kondisi ekonomi, sosial, dan politik tempat beroperasinya organisasi. Misalnya, kesulitan keuangan yang mengharuskan organisasi menunda, atau bahkan mungkin membatalkan kebijakan pemimpin sebelumnya. Regulasi juga bisa menjadi penentu. Bisa saja waktu mulai menjabatnya pemimpin baru bersamaan dengan mulai berlakunya peraturan baru sehingga harus dilakukan penyesuaian kebijakan.  

Dari sisi korporasi, tren industri dan pasar senantiasa mengalami perubahan.  Agar tetap kompetitif, tentunya pemimpin baru perusahaan harus melakukan perubahan.  Kebijakan pemimpin lama, betapa pun sukses sebelumnya, mau tak mau harus disesuaikan.

Ada pemimpin baru yang mengubah kebijakan pemimpin sebelumnya setelah berkonsultasi dengan para pakar dan pemangku kepentingan lainnya.  Hal ini memang baik karena mengundang partisipasi  lebih banyak pihak. Meski demikian, pemimpin baru harus berhati-hati.  Jangan sampai pemimpin terjebak pada permainan kepentingan sesaat dari pemangku kepentingan tertentu sehingga akhirnya merugikan organisasi. Meminta nasihat tentu tidak dilarang. Namun pada akhirnya, sang  pemimpinlah yang harus memutuskan berdasarkan kebijaksanaan dan kebaikan organisasi, terutama untuk jangka panjang.

Baca :   Overcoming Digital Fatigue

Pemimpin baru bisa saja mengevaluasi efektivitas dari kebijakan yang selama diberlakukan pemimpin sebelumnya.  Jika kebijakan tersebut dipandang tidak efektif, tentunya harus diganti. Namun jika yang  diperlukan hanyalah penyempurnaan, tentunya tak perlu ditinggalkan secara total. Cukup diperbaiki hal-hal yang masih kurang.

Yang harus dihindari adalah pemimpin baru mengubah kebijakan pemimpin sebelumnya hanya berdasarkan kepentingan jangka pendek.  Misalnya mengganti kebijakan lantaran ingin menghapus jejak pemimpin lama akibat sentimen pribadi atau kelompok,  padahal kebijakan tersebut masih relevan dan bermanfaat bagi organisasi dalam jangka panjang. Dengan kata lain, pemimpin baru harus berupaya semaksimal mungkin agar kebijakan barunya objektif, yaitu berdasarkan keadaan yang sebenarnya tanpa dipengaruhi pendapat atau pandangan pribadi atau kelompok namun mengabaikan kepentingan organisasi.

Meski demikian, ada saat kebijakan pemimpin lama mau tak mau harus diganti oleh pemimpin baru agar organisasi tetap eksis dan berjaya. Yaitu saat kebijakan pemimpin lama tersebut menabrak etika dan norma yang berlaku.  Pelanggaran etika bukan saja merusak citra dan reputasi organisasi, melainkan juga menimbulkan kerugian dan penderitaan bagi pemangku kepentingan (stakeholders).

Baca :   PHK Massal 2024: Bagaimanakah dengan 2025?

Sedangkan kebijakan yang harus dipertahankan adalah penegakan hukum dan aturan tanpa pandang bulu; perlindungan data, baik pribadi maupun organisasi; pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan anggota organisasi; penelitian dan pengembangan untuk inovasi produk dan proses baru; perlindungan lingkungan dan tata kelola; serta mewujudkan tata kelola yang baik.

Kembali ke soal IKN, di satu sisi, kita tentunya mendambakan ibu kota negara yang ideal. Di sisi lain, perpindahan ibu kota merupakan program jangka panjang. Idealnya, program ini didasarkan pada visi dan misi yang jelas, memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat, dan tentu saja bermanfaat bagi semua dalam jangka panjang.  Proses pelaksanaan kebijakannya pun harus berlandaskan etika dan norma yang berlaku. Jika syarat ini terpenuhi, tiidak ada alasan untuk ganti kebijakan, siapa pun pemimpinnya.

#ikn #pemimpin #kebijakan #pilpres2024 #evektivitas #sentimen

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Article