Sudah satu dekade sejak Starbucks membuka gerai-gerainya di Vietnam. Hasilnya kurang menggembirakan. Seperti perang Vietnam, mereka gagal menaklukkan pasar Vietnam. Orang Vietnam memang senang minum kopi. Meski demikian, mereka kelihatannya tak menggemari kopi bikinan Starbucks.
Menurut Euromonitor International, pada 2022 Starbucks hanya menyumbang sekitar 2 persen dari pasar kopi Vietnam, yang bernilai 1,2 miliar Dollar AS. Di Vietnam, Starbucks memiliki 92 gerai, yang berarti kurang dari satu untuk setiap satu juta orang. Sebagai perbandingan, Thailand dan Indonesia masing-masing memiliki sekitar tujuh dan dua. Masih menurut Euromonitor International, Starbucks tak leluasa bekembang lantaran preferensi konsumen kopi Vietnam terhadap kopi lokal. Sebagai tambahan, menurut Katadata, hingga kuartal III 2021, Starbucks punya 478 gerai di Indonesia, 423 di Thailand, dan 399 di Filipina.
Dalam wawancaranya dengan BBC, Starbucks mengatakan bahwa pihaknya berkomitmen untuk berinvestasi jangka panjang di Vietnam. Meski demikian, Starbucks tak menyinggung tentang keuntungan. Sebenarnya, nasib Starbucks masih lebih baik dibanding beberapa pesaingnya sesama brand internasional. The Coffee Bean & Tea Leaf hanya punya 15 gerai setelah 15 tahun hadir di Vietnam. Mellower Coffee, kedai asal China, bahkan menutup gerai-gerainya, padahal baru empat tahun beroperasi. Gloria Jean, asal Australia, hengkang sejak 2017. Mereka semua agaknya menghadapi tantangan yang sama seperti Starbucks. Vietnam adalah pengekspor minuman kopi terbesar kedua di dunia.
Harga yang ditawarkan oleh kedai-kedai kopi internasional tersebut terlalu mahal bagi pasar yang sangat kompetitif seperti Vietnam. Di samping itu, menu-menu kopi yang disajikan kurang cocok dengan selera warga Vietnam. Menurut Tram Nguyen, seorang warga Vietnam yang berprofesi sebagai desainer grafis, kopi merupakan kebanggaan nasional di Vietnam. Rakyat Vietnam bangga dengan kopi mereka.
Belajar dari kasus Starbucks di Vietnam, faktor budaya, ekonomi, dan sosial memengaruhi preferensi konsumen di sebuah wilayah atau negara. Adakalanya, nama besar bukan jaminan sukses. Faktor budaya di sini termasuk nilai-nilai yang dianut, tradisi, dan gaya hidup. Juga bisa mencakup rasa, desain, kemasan, dan pesan yang tidak sesuai. Selain itu, faktor politk bisa ikut menjadi penentu. Ketegangan geopilitik dan persepsi negatif tentang sebuah negara atau wilayah adakalanya memengaruhi keputusan pembeli untuk membeli produk dari negara atau wilayah tersebut.
Lantas bagaimana? Penting bagi perusahaan untuk membangun kepercayaan. Ini memerlukan waktu, tapi hasilnya bisa dirasakan untuk waktu yang panjang. Pengalaman buruk di masa lalu tentunya bisa menghilangkan kepercayaan, apalagi bila hal itu terkait nilai dan tradisi yang dianut suatu masyaraat.
Ada pelanggan yang mungkin lebih suka mendukung industri dan produk lokal lantaran faktor kebanggaan. Agaknya, inilah yang terjadi dalam kasus kopi di Vietnam. Di samping itu, ada faktor harga. Jumlah penjual kopi di Vietnam begitu banyak. Sebagai ilustrasi, satu ruas jalan yang ramai menampung setidaknya 10 kedai kopi, dari warung pinggir jalan hingga kafe bergaya modern.
Penting pula memperhatikan standar dan regulasi. Bukan hanya antarnegara, satu wilayah dalam negara pun bisa berbeda. Pelanggan boleh jadi khawatir akan standar yang ditawarkan, terutama dalam kualitas, keamanan, dan keselamatan. Saat ini, pembeli semakin peduli dengan kelestarian lingkungan. Artinya, semakin banyak pembeli yang mempertimbangkan dampak dari produk yang mereka beli. Oleh karenanya, wajib hukumnya bagi perusahaan menghasilkan produk dan jasa ramah lingkungan. ©The Jakarta Consulting Group
#Starbucks #Vietnam #Kopi #produklokal #regulasi #kelestarianlingkungan