Mengarungi Ethical Leadership yang Sarat Dilema

Mengarungi Ethical Leadership yang Sarat Dilema

Mengarungi Ethical Leadership yang Sarat Dilema. Pada zaman orang semakin tidak peduli dengan baik-buruk, benar-salah seperti sekarang, ethical leadership semakin menemukan relevansinya. Ia merupakan perpaduan integritas, keadilan, dan kasih sayang, yang mendorong para pemimpin untuk mengambil keputusan yang tidak hanya menguntungkan organisasi tetapi juga bermanfaat bagi masyarakat untuk waktu yang lama. Ethical leadership hadir bagaikan oasis di padang pasir, menjadi panah yang menuntun organisasi ke jalan yang benar menuju keselamatan dan kejayaan.

Prinsip Ethical Leadership

Prinsip-prinsip yang terkandung dalam ethical leadership meliputi integritas, fairness, transparansi, responsibility, dan respect. Integritas berarti secara konsisten mematuhi prinsip-prinsip moral dan etika serta selaras antara kata dan perbuatan. Pemimpin yang beretika berupaya memperlakukan semua individu dengan adil (fairness) dan tidak memihak. Transparansi berarti komunikasi yang jujur dan terbuka dengan stakeholders. Pemimpin yang beretika menjamin bahwa informasi dibagikan secara tepat, keputusan dibuat dengan cara yang jelas dan dapat dipahami. Hal ini menumbuhkan budaya kepercayaan dan akuntabilitas. Dalam responsibility, seorang pemimpin harus mau mengakui kesalahan, belajar dari kesalahan tersebut, dan mengambil tindakan perbaikan. Hal ini tidak hanya menunjukkan kerendahan hati tetapi juga memperkuat budaya perbaikan berkelanjutan. . Respect atau rasa hormat artinya menghargai kompetensi dan kontribusi orang lain. Di samping itu, menjaga harga diri dan hak-hak orang lain. Meskipun secara historis rasa hormat di tempat kerja mungkin bersifat satu arah (pemimpin menuntut rasa hormat dari karyawan), dalam lingkungan kerja yang beretika, rasa hormat bersifat timbal balik. Hubungan kerja lebih harmonis dan positif.

Baca :   Non-linear Career Development: An Alternative

Realitas yang tak Sesimpel Asas

Prinsip-prinsip atau asas ethical leadership di atas jelas ideal. Meski demikian, dalam realitasnya kadang-kadang ethical leadership bisa dilihat sebagai area abu-abu (grey area). Ada sejumlah alasan terkait hal ini. Pertama, etika itu adakalanya bersifat subjektif. Penyebabnya bisa karena perbedaan budaya. Apa yang dianggap etis dalam satu budaya mungkin tidak demikian dalam budaya lainnya. Penyebab lainnya terkait dengan nilai pribadi sang pemimpin. Pemimpin acap kali membawa nilai-nilai pribadi dalam menjalankan perannya. Nilai-nilai ini dapat berbeda secara signifikan bahkan dalam konteks budaya atau organisasi yang sama, sehingga menyebabkan interpretasi yang berbeda mengenai apa yang dipandang etis atau tidak.

Alasan berikutnya terkait kompleksitas situasi. Pemimpin kerap harus berurusan dengan para stakeholders yang kepentingannya berbenturan. Sebuah keputusan yang menguntungkan satu pihak bisa saja merugikan kepentingan pihak lain. Faktor jangka waktu juga turut menjadi isu. Keputusan yang dalam jangka pendek dianggap etis bisa saja memiliki konsekuensi yang tidak etis dalam jangka panjang. Begitu pula sebaliknya. Menjaga keseimbangan jangka pendek dan jangka panjang dalam koridor etika ini bukanlah perkara mudah.

Tekanan organisasi turut berpengaruh. Pada banyak organisasi, pemimpin dituntut untuk mencapai sasaran-sasaran finansial sehingga adakalanya kurang memedulikan etika. Isu lainnya terkait dinamika kekuasaan. Sifat hierarki organisasi dapat mempersulit pengambilan keputusan etis. Pemimpin mungkin menghadapi tekanan dari atasan atau memengaruhi bawahan dengan cara yang dapat mengaburkan garis etika.

Baca :   What is Brown Nosing?

Hukum atau aturan kerap dibenturkan dengan etika. Sesuatu yang legal belum tentu etis. Misalnya, mengeksploitasi celah hukum untuk mendapatkan keuntungan finansial mungkin sah tetapi dianggap tidak etis menurut standar masyarakat. Isu lainnya adalah perbedaan hukum dan aturan di berbagai daerah atau negara. Ini tentunya menjadi masalah bagi organisasi yang beroperasi di lebih satu yurisdiksi.

Transparansi jelas merupakan prinsip dasar ethical leadership. Sayangnya, kerap terjadi peniup peluit  (whistleblower), orang yang mengungkapkan suatu kasus pelanggaran atau penyimpangan, sering kali menghadapi tindakan pembalasan. Jika demikian, ke manakah prinsip transparansi yang digembar-gemborkan itu?

Agar Hitam dan Putih Menjadi Terang

Wilayah abu-abu di atas sama sekali tidak bisa dijadikan alasan untuk mengabaikan ethical leadership. Sekali lagi, tidak demikian. Yang harus dilakukan adalah memperjelas wilayah abu-abu tersebut agar jelas hitam dan putihnya. Hal ini melibatkan pendekatan dari berbagai aspek yang mengintegrasikan integritas pribadi, budaya organisasi, dan proses sistemik

Apa yang harus dilakukan? Pemimpin harus membuat stnadar etika. Buatlah kode etik yang komprehensif menguraikan nilai-nilai dan ekspektasi perilaku organisasi. Kode etik ini menjadi panduan untuk pengambilan keputusan dan membantu menyelaraskan tindakan dengan standar etika organisasi.

Pemimpin harus menjadi teladan mengingat merekalah pemeran utama pembentuk budaya organisasi. Jika sang pemimpin konsisten menunjukkan perilaku etis, hal ini menjadi standar bagi organisasi.

Baca :   Career Pathing : Menyediakan Jalur Karier yang Jelas untuk Kandidat

Berperilaku etis membutuhkan perjuangan. Hargailah perjuangan tersebut. Hal ini memperkuat kesadaran akan pentingnya etika dalam organisasi. Pun,  memotivasi orang lain untuk menirunya.

Pertimbangkan dampak keputusan terhadap semua stakeholders, bukan sebagian. Apalagi hanya satu. Menilai bagaimana pilihan yang berbeda memengaruhi karyawan, pelanggan, pemegang saham, dan komunitas untuk menemukan solusi yang seimbang dan etis.

Harus ada kebijakan yang melindungi whistleblower. Pelaporan terhadap perilaku yang melanggar etika harus digalakkan. Di samping itu, perlu dilakukan audit secara berkala dan review etika untuk mengidentifikasi dan mengatasi potensi masalah etika secara proaktif.

Dalam mengatasi wilayah abu-abu ini, tidak ada salahnya organisasi memanfaatkan sumber daya eksternal. Mintalah nasihat dari para ahli apabila menghadapi dilema etika. Perspektif eksternal dapat memberikan wawasan berharga serta menguraikan masalah-masalah yang rumit. Lakukanlah benchmarking dengan organisasi lain yang sukses dalam menegakkan ethical leadership.

Fokuslah pada pada keberlanjutan jangka panjang dibandingkan keuntungan jangka pendek. Ethical leadership sering kali melibatkan pengambilan keputusan yang memprioritaskan kesejahteraan jangka panjang organisasi berikut pemangku kepentingannya.

Kategori: Leadership

#ethical leadership

#greyarea

#integritas

#transparency #respect

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Article