Pandemi COVID-9 beberapa tahun lalu menyisakan hingga kini suatu metode bekerja secara hybrid. Apakah bekerja secara hybrid masih relevan saat ini, terutama di tahun 2024 mendatang?
Pandemi yang berlangsung selama tiga tahun nyatanya memberikan dampak pada dunia kerja yang mengalami suatu transformasi besar-besaran, yaitu munculnya pekerjaan hybrid. Dalam dua tahun terakhir, kerja hybrid telah menjadi hal yang biasa di banyak perusahaan, bahkan sudah menjadi ketentuan normatif bagi 28,2 persen dari seluruh karyawan tetap.
Ada beberapa variasi arti kerja hybrid untuk bisnis yang berbeda, tetapi pada dasarnya adalah ketika karyawan, tim, dan organisasi dapat bekerja baik di kantor maupun dari jarak jauh, dengan memanfaatkan teknologi informasi. Beberapa pendekatan lebih fleksibel daripada yang lain, dengan karyawan diberi pilihan untuk memilih hari apa saja mereka bekerja dari jarak jauh, dan terkadang bahkan jam kerja yang paling sesuai dengan gaya hidup mereka. Sementara yang lain memakai model hybrid yang lebih terstruktur yang mengharuskan karyawan datang ke kantor pada hari-hari tertentu dalam seminggu.
Lebih hemat, lebih bahagia
Suatu riset yang diadakan CISCO dengan metode survey terhadap sekitar 28.000 pekerja di 27 negara termasuk di Indonesia dalam kurun waktu tiga bulan di tahun 2022 lalu, membuktikan bahwa metode kerja hybrid telah mampu meningkatkan kualitas kerja karyawan sampai 56,4 persen. Bahkan metode kerja ini dianggap mampu memberikan banyak dampak posiif.
Laporan survei tersebut memperlihatkan indeks positif produktivitas karyawan, yaitu sebesar 53,4 persen. Kinerja lainnya juga dibuktikan pada sikap dan relasi di kantor (46,8 persen). Selain itu, pengetahuan dan keterampilan sebesar 56,7 persen. Terdapat 62,5 persen responden yang mengakui bahwa kesejahteraan mereka membaik dengan diterapkannya metode kerja ini. Sekitar 92 persen responden lain juga mengakui hubungan mereka dengan keluarga juga meningkat. Di samping itu, sekitar 87 persen responden mengakui bahwa mereka mampu berhemat dan 85 persen responden merasa lebih bahagia dan termotivasi. Dampak positif lainnya adalah 64 persen pekerja hybrid memperhatikan kesehatan dan kebugaran. Tingkat stres pun berkurang menurut 61 persen responden. Karyawan juga dapat menikmati keseimbangan antara kerja di kantor dengan kerja di rumah.
Kini, sebanyak 58 persen pekerja memiliki kesempatan untuk bekerja dari rumah setidaknya satu hari dalam seminggu. Akan tetapi, apakah metode kerja hybrid ini berkelanjutan? Nyatanya, banyak perusahaan tidak berpikir demikian. Perusahaan-perusahaan besar seperti Goldman Sachs dan Google baru-baru ini mulai mengajak karyawannya kembali ke kantor secara bergerombol, lalu sebanyak 90 persen perusahaan berencana untuk menerapkan kebijakan kembali ke kantor pada akhir tahun 2024.
Dari segi pebisnis
Banyak dari kebijakan kembali ke kantor ini mengizinkan pekerja untuk terus bekerja dari rumah dua atau tiga hari per minggu. Namun, perusahaan seperti Disney dan Blackrock menginginkan setidaknya empat hari bekerja di kantor, sementara Google mengharapkan para pekerjanya datang ke kantor selama lima hari dalam seminggu.
Dari segi pebisnis, metode kerja hybrid memiliki dampak positif seperti penghematan di setiap divisi karena lebih sedikitnya kebutuhan kantor dan berkurangnya waktu perjalanan, meningkatnya moral tim dan produktivitas, serta fleksibilitas bagi semua orang yang lebih menyukai gaya kerja yang berbeda. Namun di balik itu semua, ada kelemahan dari metode kerja hybrid ini, antara lain adalah tidak ada satu pun pihak merasa puas, terhambatnya alur kerja akibat karyawan hybrid untuk menghadiri rapat. Lalu, manajer juga harus menyesuaikan strategi untuk mengelola karyawan di kantor dan jarak jauh. Perusahaan juga mengalami kesulitan dalam mempertahankan konsistensi budaya perusahaan.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah metode kerja hybrid ini masih relevan untuk tahun 2024? Menurut survei Korn Ferry pada 15.000 eksekutif global, sebagian besar meyakini bahwa budaya yang kuat hanya dapat dibangun dan dipertahankan apabila setiap orang menempati tempat kerja yang sama. Melansir Fortune, sebagian besar CEO mengharapkan pada 2026, karyawan akan kembali bekerja penuh lima hari dalam seminggu. Mereka membenarkan pendirian mereka dan yakin bahwa para karyawan akan lebih produktif bekerja di kantor.
Dua tiga hari per minggu
Meskipun demikian, ketika perusahaan-perusahaan besar di Wall Street dan Silicon Valley mempertimbangkan untuk kembali bekerja di kantor, sebagian besar perusahaan akan tetap menggunakan aturan pasca pandemi untuk menghabiskan dua hingga tiga hari per minggu di kantor, kecuali bagi divisi administrasi, keuangan dan divisi lain yang pekerjaannya menuntut mereka untuk hadir selama lima hari.
Sementara itu, perusahaan yang sedang mempertimbangkan kerja lima hari di kantor, menurut Susan Vroman, dosen manajemen di Bentley University, transparansi adalah kuncinya. Khususnya bagi perusahaan yang mengatakan di masa pandemi bahwa karyawannya bisa bekerja di mana pun mereka mau, tetapi tiba-tiba sekarang harus meyakinkan karyawan untuk kembali ke kantor. Dia berpendapat bahwa di sini organisasi mempertaruhkan hilangnya kepercayaan dengan karyawan mereka.
Begitu sampai pada pilihan antara bekerja hybrid atau tetap di kantor, tidak ada satu pun solusi yang terbaik. Setiap pilihan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing, sehingga jalan menuju proses pengambilan keputusan bagi pemberi kerja dan karyawan terbuka. Perusahaan perlu mempertimbangkan dengan cermat budaya, tujuan, dan kebutuhan spesifik karyawan mereka saat menentukan pendekatan mana yang akan digunakan. Mempertimbangkan faktor-faktor seperti kolaborasi, produktivitas, keseimbangan kehidupan kerja, dan kepuasan karyawan dapat membantu memandu bisnis menuju pilihan yang paling sesuai dengan keadaan serta tujuan perusahaan. #produktivitas #hybridwork #kerjahybrid #pascapandemi #manajemen #bisnis
Related Posts:
TikTok for Recruitment: Can it Attract the Right Talent?
Turnover Contagion: Responding to the Wave of Resignations that Threatens Team Stability
Pros and Cons of Experiential Hiring
Leadership Without Position: The Real Impact of Shadow Leadership
Glass Cliff: Tantangan Kepemimpinan bagi Wanita dan Minoritas di Tengah Krisis