Jika Perusahaan Mengalami Kemunduran

Jika Perusahaan Mengalami Kemunduran

Setiap organisasi atau perusahaan pasti akan, dan pernah, mengalami kemunduran atau pasang surut. Termasuk perusahaan kelas dunia sekalipun.  Adakalanya, organisasi atau perusahaan mengalami kemunduran kinerja (organization decline). Bentuknya bisa bermacam-macam, mulai dari menurunnya keuntungan dan arus kas, hilangnya pangsa pasar, merosotnya moral karyawan, usangnya teknologi, dan mandeknya inovasi dan kreativitas. Faktor penyebab kemunduran ini kerap kali tidak tunggal, dan belum tentu disebabkan kesalahan internal organisasi.

Meski demikian, ada satu faktor yang menjadi penentu apakah kemunduran ini akan berlanjut atau tidak, yaitu faktor budaya organisasi. Dengan kata lain, budaya yang hidup dalam organisasi  dapat berkontribusi baik pada kemajuan maupun kemunduran organisasi.

Tentu, yang dikehendaki adalah budaya itu mampu menjadi pendorong kemajuan perusahaan dalam waktu yang lama. Meski demikian, perlu dipahami terlebih dahulu bagaimana budaya organisasi turut andil dalam kemunduran kinerja.

Bagaimanakah bentuknya? Pertama, budaya yang terus mempertahankan status quo. Padahal, dengan mempertahankan status quo, organisasi sulit menyesuaikan diri dengan dinamika pasar, kemajuan teknologi, dan perubahan selera konsumen.

Dampak lain dipertahankannya status quo adalah terhalangnya inovasi.  Akibatnya, Perusahaan menjadi miskin ide produk dan proses baru. Lambatnya inovasi akan menggerus daya saing. Memang tidak ada jaminan bahwa inovasi selalu berhasil. Meski demikian, tanpa inovasi, organisasi dijamin tidak berhasil.

Perseteruan dan konflik antaranggota organisasi jelas merupakan cara cepat menurunkan kinerja. Konflik jelas melenyapkan kolaborasi antarunit dan antarkaryawan. Salah satu penyebab terjadinya perseteruan adalah buruknya komunikasi.

Kepemimpinan memainkan peran penting dalam membentuk dan mempertahankan budaya organisasi. Kepemimpinan yang tidak efektif atau tidak etis dapat berkontribusi terhadap budaya tidak sehat, yang menyebabkan penurunan semangat kerja karyawan, produktivitas, dan kinerja organisasi.

Terkait kepemimpinan ini, apa yang terjadi di Sears bisa menjadi contoh. Sears adalah salah satu Perusahaan ritel terkemuka di Amerika Serikat (AS). Dahulu, Sears merajai pasar ritel. Begitu banyak prestasi yang ditorehkannya. Sears juga rajin menciptakan tren di dunia bisnis ritel, mulai dari katalog belanja, pengantaran belanja langsung ke pembeli, berbagai macam barang mulai dari perkakas dan perlengkapan hingga pakaian dan rumah rakitan, bahkan hingga layanan keuangan.

Namun seiring berjalannya waktu Sears mengalami kemunduran. Apa yang terjadi? Ternyata ada beberapa faktor, mulai dari lebih suka mengurusi hal-hal remeh-temeh daripada hal-hal yang sifatnya strategis, kurangnya pemahaman terhadap arah bisnis, khususnya tren ritel, pemimpin yang tidak menghargai dan menumbuhkembangkan kerja tim, dan kegagalan dalam melakukan restrukturisasi secara cepat. Namun, semuanya berakar pada satu hal:kepemimpinan. Ed Lampert, yang menjabat CEO Sears pada 2013-2019, dikritik lantaran karena “memotong” karyawannya dalam rapat perusahaan dan kehilangan sentuhan dengan realitas serta karena gagal berinvestasi di toko fisik, karena banyak dari toko tersebut yang kondisinya memburuk. Selama Lampert menjabat sebagai CEO, Sears kehilangan sekitar separuh nilainya dalam waktu lima tahun, dan menutup lebih dari separuh toko fisiknya. Puncaknya adalah pada 2018, Sears mengajukan perlindungan dari kebangkrutan.

Banyak organisasi yang melalaikan kesejahteraan karyawan. Akibatnya tentu karyawan menjadi tidak kerasan. Ujug-ujungnya, turnover karyawan menjadi tinggi.

Setiap orang melakukan kesalahan. Tidak ada manusia yang sempurna. Hal terpenting adalah mampu belajar dari kesalahan. Hal yang sama berlaku bagi organisasi secara kolektif. Budaya organisasi yang sehat mendorong pembelajaran dari kesalahan dan mengadaptasi strategi yang sesuai. Budaya yang mudah menghukum kegagalan serta tidak mengindahkan pembelajaran pada gilirannya akan mengalami kemunduran.

Budaya yang hanya mempedulikan fokus jangka pendek rawan terlibat dalam perbuatan yang merusak masa depannya. Hal ini dapat mencakup pengorbanan kualitas, mengabaikan pertimbangan etika, atau mengabaikan investasi dalam inovasi dan pengembangan karyawan.

Mengatasi Kemunduran

Untuk mengatasi kemunduran organisasi, mau tak mau budaya organisasi harus ditata ulang. Hal ini mungkin melibatkan penerapan perubahan dalam kepemimpinan, menumbuhkan budaya perbaikan dan pembelajaran berkelanjutan, mendorong inovasi, dan mendorong komunikasi yang efektif. Mengidentifikasi dan mengatasi akar penyebab kemunduran merupakan langkah penting dalam merevitalisasi organisasi dan memposisikannya untuk kesuksesan jangka panjang.

Untuk mewujudkan hal tersebut, dibutuhkan komitmen dari eksekutif puncak. Pasalnya, perubahan budaya memerlukan pendekatan holistik yang menggabungkan berbagai intervensi dan fokus yang berkelanjutan dari waktu ke waktu. Hanya pimpinan puncak yang memiliki akses terhadap semua faktor perubahan budaya, termasuk keputusan perekrutan dan promosi, anggaran untuk pelatihan dan pengembangan,danpengukuran di seantero organisasi. Semuanya ini dapat dilakukan secara lebih terkoordinasi.

Berikutnya mengkaji cara-cara baru menjalankan bisnis. Termasuk mempertimbangkan dikeluarkannya produk dan/atau layanan baru, evaluasi produk dan proses bisnis yang ada, serta menyemangati karyawan untuk menyumbangkan ide-ide mereka.

Penataan ulang organisasi juga perlu dilakukan. Misalnya dengan mengatur kembali peran, tugas, dan tanggung jawab tiap-tiap manajer dan karyawan, Bila perlu, eksistensi unit-unit tertentu juga perlu dipertimbangkan. Tujuannya adalah demi efisiensi dan efektivitas penggunaan sumber daya

Masa-masa kemunduran identik dengan ketidakpastian. Dalam kondisi tersebut, ketenangan menjadi sesuatu yang amat dibutuhkan karyawan. Oleh karenanya, penting untuk menjaga komunikasi tetap terbuka selama masa ketidakpastian. Di samping itu, Perusahaan harus menjelaskan bagaimana cara manajemen menghadapi tantangan berat ini.

Membangun Rasa Saling Percaya

Apa pun yang dilakukan untuk mengatasi kemundurasn, budaya saling percaya (culture of trust) wajib dibangun. Tanpa adanya rasa saling percaya, kebijakan apa pun sulit berhasil. Bagaimanakah menumbuhkannya?

Dimulai dengan mengakui realitas yang ada serta menjelaskannya kepada stakeholders. Hindari menutup-nutupi, menyangkal, atau menyembunyikan fakta, karena ini hanya akan menimbulkan ketidakpercayaan dan kebencian. Sebaliknya, bersikaplah transparan dan  tulus mengenai tantangan, risiko, dan ketidakpastian yang dihadapi, serta pengaruhnya terhadap tujuan, rencana, dan harapan organisasi.

Berikutnya, menyelaraskan visi untuk masa depan yang menginspirasi dan memotivasi tim dan pemangku kepentingan. Di tengah ketidakpastian, organisasi tetap dapat membuat narasi positif tentang tujuan, nilai, dan kekuatan, serta bagaimana hal tersebut dapat membantu organisasi keluar dari kesulitan.

Kemunduran sering kali mengharuskan Perusahaan mengambil pilihan sulit, seperti memangkas biaya, restrukturisasi, atau perampingan, yang dapat berdampak signifikan pada stakeholders. Untuk membangun kepercayaan, pimpinan Perusahaan perlu menjelaskan alasan dan manfaat pilihan sulit tersebut, serta bagaimana perubahan tersebut selaras dengan visi dan nilai-nilai yang dianut.

​Kemunduran organisasi berdampak buruk pada moral, keterlibatan, dan kinerjakaryawan. Kerap kali, mereka merasa diremehkan. Untuk membangun kepercayaan, tunjukkan rasa terima kasih dan pengakuan atas upaya, pencapaian, dan pengorbanan mereka, serta merayakan keberhasilan dan pembelajaran mereka.

Kemunduran organisasi dapat menguji karakter, kredibilitas, dan reputasi organisasi. Untuk membangun kepercayaan, Wajib hukumnya bagi organisasi untuk menjunjung tinggi standar kejujuran, keadilan, dan akuntabilitas.

Kategori: Corporate Culture

#organizationdecline

#budayaorganisasi

#sears

#edlampert

#cultureoftrust

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Article