Dinamika Budaya Organisasi dalam BIsnis Keluarga

Dinamika Budaya Organisasi dalam Bisnis Keluarga

Sejatinya, setiap organisasi memiliki budayanya masing-masing, termasuk bisnis keluarga. Budaya organisasi dalam bisnis keluarga mencakup seperangkat nilai, norma, dan standar yang memengaruhi cara anggota keluarga dan profesional bekerja untuk mencapai visi, misi dan tujuan organisasi.

Corak Budaya Bisnis Keluarga

Dalam bsnis keluarga, nilai-nilai yang dianut oleh pendiri menjadi pegangan bagi karyawan dalam berperilaku. Pada masa-masa awal berdirinya, nilai-nilai ini belum dirumuskan secara formal. Karyawan memahami nilai-nilai pendiri berdasarkan pengamatan terhadap tingkah laku, perkataan, dan keputusan pendiri, mulai dari hal-hal remeh temeh hingga hal-hal yang sifatnya strategis. Termasuk di dalamnya diantaranya perhatian, komentar, pujian, penghargaan, kritik, dan gaya berkomunikasi pendiri. Sikap pendiri trerhadap terjadinya krisis juga kerap dapat menjadi sumber norma, nilai, asumsi, dan prosedur kerja yang menjadi panduan karyawan.Perbedaan pandangan, apalagi konflik, hanya dipandang dari sisi negatif sehingga harus ditekan sedini mungkin.

Pada masa ini, peran pimpinan bisnis keluarga sangat dominan. Hal ini dapat dimengerti mengingat dalam bisnis yang masih belia dan berskala kecil, pemimpin memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sumber daya yang tak tertandingi. Berbekal ketiga hal inilah banyak pemimpin bisnis keluarga yang mampu membuat bisnis menjadi besar.Dyer Jr. menyebut budaya semacam ini sebagai budaya paternalistik (paternalistic culture).

Lebih lanjut, ada pula budaya Laissez-Faire. Pada bisnis keluarga yang menerapkan budaya ini, karyawan dianggap dapat dipercaya dan diberi tanggung jawab untuk mengambil keputusan. Namun, seperti dalam budaya paternalistik, hubungan bersifat hierarkis, anggota keluarga diberikan perlakuan istimewa, dan karyawan diharapkan mencapai tujuan keluarga.

Berikutnya adalah budaya partisipatif (participative culture).  Dalam budaya ini, hubungan cenderung lebih egaliter dan berorientasi pada kelompok. Status dan kekuasaan keluarga cenderung tidak ditekankan. Karyawan dipandang sebagai orang yang dapat dipercaya dan budaya partisipatif tidak hanya berfokus pada masa kini namun juga berorientasi pada masa depan.

Baca :   Managing Gig Workers

Jenis terakhir budaya bisnis keluarga adalah budaya profesional. Dalam budaya profesional, keluarga mempertahankan kepemilikan, namun menyerahkan pengelolaan bisnis kepada manajer nonkeluarga dan profesional. Secara efektif, bisnis keluarga menjadi sebuah perusahaan penuh dengan keuntungan sebagai inti strategisnya.

Berdasarkan Penelitian Capone, di antara bisnis keluarga generasi pertama, bisnis dengan budaya paternalistik paling banyak dijumpai, yaitu sebesar 80 persen. sedangkan bisnis dengan budaya partisipatif dan laissez-faire masing-masing menyumbang 10 persen. Hanya satu bisnis yang dianggap memiliki budaya profesional. Pada generasi berikutnya, lebih dari dua pertiga bisnis yang bersifat paternalistik mengalami perubahan budaya, sebagian besar menjadi budaya profesional.

Namun perlu diingat, bukan berarti jenis budaya yang satu selalu lebih jelek atau lebih bagus dibanding yang lainnya. Misalnya, budaya paternalistik dibutuhkan demi kestabilan, yang menjadi salah satu syarat berkembangnya bisnis dengan lebih mulus dan cepat. Namun tidak lagi cocok saat bisnis bertumbuh makin pesat. Masalah lainnya dengan budaya paternaslistik mulai timbul jika pemimpin bisnis keluarga terlena dengan dominasi ini. Akibatnya, ia merasa bisa melakukan segala sesuatunya sendiri dan meremehkan orang lain, termasuk generasi penerus (baca: anak).Dalam budaya laissez-faire, tersedia pertumbuhan bisnis dan kreativitas individu, namun karyawan mungkin tidak bertindak konsisten dengan nilai-nilai dan asumsi dasar keluarga, dan bisnis bisa menjadi tidak terkendali, seperti dikemukakan oleh Capone. Dalam budaya partisipatif, karyawan menjadi lebih mampu memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai perusahaan dan mereka lebih berkomitmen terhadap keputusan yang diambil, namun proses pengambilan Keputusan dapat menjadi lebih lambat. Dalam budaya profesional, manajer profesional membawa serta ide-ide baru dan teknik manajemen serta membuat bisnis berjalan lebih efisien, namun karyawan yang terbiasa bekerja untuk keluarga dengan budaya berbeda dapat kehilangan motivasi dan komitmen.

Baca :   Dari Hierarki ke Kolaborasi: Merombak Struktur Organisasi untuk Mendukung Transformasi

Nilai-nilai Bisnis Keluarga: Sejauh Mana Relevansinya?

Pendiri bisnis keluarga senantiasa menanamkan dan mewariskan nilai-nilai yang mereka yakini kepada generasi penerus. Keyakinan mereka adalah bahwa dengan konsistensi penerus dalam memegang teguh nilai-nilai tersebut, bisnis keluarga akan bertahan lama. Bagi mereka, nilai-nilai ini terbukti manjur, membanggakan keluarga, dan menjadi bagian integral dari bisnis  yang membimbing perilaku baik keluarga maupun non keluarga.

Meski demikian, apakah nilai-nilai tersebut harus disakralkan? Jawabannya jelas tidak. Zaman terus berubah. Oleh karenanya, nilai-nilai yang selama ini dipegang teguh harus pula dievaluasi secara kritis.

Ini tentu bukan berarti nilai-nilai lama dibuang begitu saja. Namun jika ada nilai-nilai yang mengakibatkan bisnis keluarga menurun kinerjanya serta kalah dari competitor, tentu nilai-nilai tersebut tak layak dipertahankan meski berkontribusi positif di masa lalu.

Integritas, kejujuran, kegigihan, kerja keras, kreativitas, orientasi jangka panjang, dan kedermawanan, sudah tentu menjadi nilai-nilai yang harus dilestarikan bisnis keluarga, sampai kapan pun. Berita baiknya, para pemilik bisnis keluarga telah lama menyadari dan melaksanakannya. Mereka paham betul bahwa jika nilai-nilai di atas absen, bisnis akan ambruk dan mereka tidak bisa hidup. Mari kita lihat Mars sebagai contoh bisnis keluarga dengan orientasi bisnis jangka panjang. Perusahaan penganan multinasional asal Amerika Serikat ini telah mereposisi Snickers sebagai camilan untuk orang dewasa. Perusahaan berinvestasi dalam strategi ini selama bertahun-tahun sebelum menuai hasilnya. Mars bersedia menghabiskan banyak uang untuk promosi dan pemasaran. Ini berbeda dengan kebanyakan bisnis nonkeluarga yang tidak bersedia berinvestasi besar lantaran dianggap tidak menguntungkan dalam jangka pendek. Contoh lainnya adalah F. Hoffmann-La Roche, Perusahaan farmasi asal Swiss  yang berorientasi jangka panjang ini lebih memilih proyek-proyek penelitian dan pengembangan yang canggih, daripada meniru jangka waktu, proyek, dan produk dari sebagian besar pesaingnya.

Baca :   Breaking the Gen Z Stigma

Ada pula nilai yang tidak perlu ditinggalkan, tetapi harus disesuiaikan seiring kemajuan zaman. Apa itu? Hubungan antaranggota keluarga. Selama ini, hubungan anggota keluarga, yang dilandaskan pada kasih sayang dan rasa saling percaya,  menjadi modal bagi berkembangnya bisnis keluarga. Ini tentu bagus. Namun bagaimana jika suatu saat bisnis keluarga harus memilih: mana yang didahulukan, bisnis atau keluarga? Hal ini tidak berarti dua hal tersebut dipertentangkan. Yang terpenting, bagaimana kuatnya hubungan keluarga menjadi aset bagi kemajuan bisnis. Bukan sebaliknya, hubungan keluarga justru menjadi sumber perpecahan.

Sedangkan nepotisma adalah praktik yang tak boleh lagi ada apabila bisnis keluarga ingin maju. Sudah bukan zamannya lagi anggota keluarga yang tak punya kompetensi diterima begitu saja dengan alasan hubungan keluarga. Jika masih berlangsung, akan timbul rasa iri dan ketidakadilan.

Selama ini, bisnis keluarga banyak dikritik lantaran cenderung tertutup dan tidak transparan. Namun seiring tuntutan zaman, transparansi, akuntabilitas, dan keterbukaan menjadi wajib hukumnya. Jika belum ada, nilai-nilai di atas harus ditumbuhkan dalam bisnis keluarga.

Kategori: Corporate Culture

#bisniskeluarga

#budayaorganisasi

#mars

#snickers #roche

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Article