Runtuhnya Transformasi Organisasi

Runtuhnya Transformasi Organisasi

Tahukah anda bahwa hanya 22% perusahaan yang sukses melakukan transformasi organisasi. Sisanya, 78%, gagal.  Demikianlah hasil penelitian yang disampaikan Argenti dkk, seperti dimuat di Harvard Business Review (HBR).

Transformasi sendiri bermakna perubahan mendasar dan komprehensif dalam struktur, proses, budaya, dan arah strategis perusahaan. Ini adalah inisiatif strategis yang dilakukan oleh perusahaan untuk beradaptasi dan berkembang dalam menghadapi tantangan-tantangan yang signifikan, seperti pergeseran pasar, kemajuan teknologi, atau kekuatan disruptif lainnya. Transformasi perusahaan lebih dari sekedar perubahan bertahap. Transformasi bertujuan untuk membentuk kembali seluruh organisasi guna meningkatkan daya saing, ketangkasan, dan kinerja secara keseluruhan.

Adapun aspek-aspek dalam transformasi di antaranya meliputi pergeserran strategi bisnis, restrukturisasi organisasi, perubahan budaya, optimalisasi proses, adaptasi teknologi, pengembangan talenta, fokus pada pelanggan, dan restrukturisasi keuangan.

Transformasi adalah pekerjaan besar, yang tentunya penuh tantangan. Agaknya, inilah alasan mengapa tingkat kegagalannya tinggi. Di samping itu, butuh waktu untuk memetik hasilnya.

Transformasi memang berisiko tinggi. Meski demikian, transformasi bisnis tak bisa dielakkan jika perusahaan ingin tetap adaptif dan kompetitif. Yang harus diantisipasi adalah biang keladi yang menggagalkan upaya transformasi.

Biang Keladi Kandasnya Transformasi

Yang paling utama tentu saja absennya komitmen eksekutif perusahaan. Jika eksekutif tidak sepenuhnya mendukung atau terlibat dalam proses transformasi, sumber daya, arahan, dan motivasi karyawan akan sia-sia.

Baca :   Glass Cliff: Tantangan Kepemimpinan bagi Wanita dan Minoritas di Tengah Krisis

Selanjutnya, buruknya perencanaan. Transformasi merupakan sebuah agenda besar, sehingga dibutuhkan perencanaan yang matang. Perencanaan yang tidak lengkap atau tidak memadai dapat merusak transformasi sejak awal. Hal ini mencakup kurangnya tujuan yang jelas, strategi yang tak terdefinisi dengan baik, dan jangka waktu yang tidak realistis. Tanpa perencanaan yang tepat, organisasi mungkin menghadapi hambatan dan penundaan yang tidak terduga. Contohnya adalah pengalaman Revlon, raksasa kosmetik AS. Pada 2018, Revlon memulai peluncuran sistem Enterprise Resources Planning (ERP) baru. Namun, proyek ini berantakan akibat perencanaan yang tidak memadai, sehingga sangat mengganggu lini produksi dan kemampuan perusahaan untuk memenuhi pesanan pelanggan dengan cepat. Peluncuran ERP yang tidak dipersiapkan dengan baik ini bukanlah satu-satunya masalah; teknologi ini telah diperkenalkan sebelum waktunya di seluruh operasi di 22 negara. Dampaknya sungguh dahsyat. Revlon harus bergulat dengan kerugian sebesar 64 juta Dollar akibat pesanan yang tidak terkirim. Seiring dengan gangguan operasional, kepercayaan investor goyah, menyebabkan harga saham Revlon anjlok 6,9%. Kegagalan operasional ini berujung pada tuntutan hukum. Investor menuntut ganti rugi.

Transformasi kerap berbuah pahit lantaran manajemen gagal menjelaskan penjelasan yang menyentuh hati karyawan. Kerap kali, manfaat transformasi hanya disampaikan dalam bentuk hitungan finansial. Ini tidak salah, tetapi tidak cukup. Pemangku kepentingan ingin tahu manfaat transformasi, bukan hanya bagi perusahaan melainkan juga bagi individu. Bukan saja dari sisi keuangan, melainkan juga dari sisi lainnya seperti sisi psikologis, sosial, bahkan spiritual.

Baca :   Pendekatan Human-Centric dalam Merekrut Karyawan

Agar sukses menjalani transformasi, diperlukan manajemen perubahan yang unggul. Namun, karyawan dan pemangku kepentingan banyak yang menolak perubahan karena takut akan ketidakpastian. Mereka khawatir akan kehilangan pekerjaan, tugas dan peran baru yang masih asing, takut gagal, dan enggan meninggalkan kebiasaan lama yang sudah mapan.  Mengatasi dan mengelola hambatan ini sangat penting untuk keberhasilan transformasi.

Terlalu terlena dengan kejayaan masa lalu dan masa kini membuat organisasi lupa menyongsong masa hadapan sehingga enggan melakukan transformasi. Pengalaman pahit Nokia jangan sampai terulang. Pada dekade 2000-an, Nokia begitu merajai pasar telepon selular, sebelum Samsung, LG, dan merek-merek asal China berjaya. Sayang, perusahaan asal Finlandia ini kemudian terlalu memfokuskan diri pada model produk tradisional mereka sehingga enggan beralih segera ke telepon pintar. Nokia lambat merespons meningkatnya permintaan ponsel pintar dan gagal mengadaptasi sistem operasi Symbiannya agar sesuai dengan pengalaman pengguna yang ditawarkan pesaing. Kondisi ini diperparah dengan kurangnya visi masa depan dari pimpinannya.

Transformasi seringkali membutuhkan keterampilan dan kemampuan baru. Jika organisasi tidak memiliki talenta yang diperlukan atau tidak berinvestasi dalam pengembangan keterampilan para karyawannya, transformasi akan terhambat.

Baca :   Kepemimpinan Tanpa Jabatan: Dampak Nyata dari Shadow Leadership

Faktor eksternal juga turut berpengaruh. Perubahan lingkungan bisnis eksternal, seperti penurunan perekonomian, perubahan peraturan, atau pergeseran selera pasar dapat berdampak pada keberhasilan transformasi bisnis. Contohnya adalah Blockbuster, sebuah perusahaan rental video yang dulunya dominan. Pada awal tahun 2000-an, Blockbuster menghadapi perubahan lanskap pasar ketika layanan streaming online mulai mendapatkan popularitas. Perusahaan gagal beradaptasi dengan perubahan preferensi konsumen dan tren teknologi. Meskipun ada peluang untuk mengakuisisi Netflix di awal tahun 2000-an, Blockbuster menolak tawaran tersebut, karena meremehkan potensi streaming online. Sebaliknya, Blockbuster terus fokus pada model persewaan tradisional. Akibatnya, ketika Netflix memasuki era digital dan mulai menawarkan layanan streaming online, Blockbuster kesulitan untuk mengimbanginya. Blockbuster akhirnya mencoba layanan persewaan daringnya sendiri, tetapi sudah terlambat untuk bersaing secara efektif dengan Netflix. Pada tahun 2010, Blockbuster mengajukan kebangkrutan, menandai berakhirnya dominasinya di industri persewaan video. Kegagalan Blockbuster dalam menjalani transformasi perusahaan dan beradaptasi dengan perubahan lanskap menjadi sebuah peringatan bagi perusahaan yang tidak menerima inovasi dan gagal mengantisipasi perubahan perilaku konsumen.

Kategori: Business & Organization Transformation

#transformasi

#revlon

#manajemenerubahan

#nokia

#talenta

#faktoreksternal #blockbuster

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait