Ketertarikan orang terhadap kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) semakin dalam tatkala ChatGPT go public November 2022 lalu. Tak pelak, ChatGPT menjadi aplikasi paling popuker untuk AI, paling tidak untuk saat ini.
Namun, tahukah Anda bahwa hal tersebut tak akan terwujud tanpa perangkat keras komputer yang tangguh, khususnya cip komputer produksi Nvidia asal Kalifornia? Awalnya, Nvidia dikenal sebagai produsen jenis cip komputer yang memproses grafik, terutama untuk gim. Saat ini, Nvidia menjadi penopang sebagian besar aplikasi AI. Hutcheson menganalogikan Nvida dengan AI seperti halnya Intel dengan PC. ChatGPT dilatih menggunakan 10.000 unit pemrosesan grafis (GPU) Nvidia yang dikelompokkan bersama dalam superkomputer milik Microsoft. Menurut laporan CB Insight, Nvidia menguasai sekitar 95 persen pasar GPU untuk mesin pembelajaran.
Jensen Huang adalah salah satu pendiri Nvidia pada 1993, yang saat ini menjabat sebagai CEO. Kemudian, Nvidia fokus untuk membuat grafik yang lebih baik untuk bermain game dan aplikasi lainnya. Tahun 1999, Nvidia mengembangkan GPU untuk meningkatkan tampilan gambar komputer.
Pada 2006, peneliti di Stanford University menemukan GPU memiliki kegunaan lain: mereka dapat mempercepat operasi matematika, dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh cip pemrosesan biasa. Inilah saat di mana Huang mengambil keputusan krusial untuk pengembangan AI seperti yang kita kenal. Ia menginvestasikan sumber daya Nvidia dalam membuat alat untuk membuat GPU dapat diprogram, sehingga membuka kemampuan pemrosesan paralelnya untuk penggunaan yang lebih luas ketimbang sekadar grafik. Kemampuan inilah yang membantu terobosan awal AI modern. Kemudian, Nvidia terus melaju dengan mengembangkan jenis GPU baru yang lebih cocok untuk AI, serta lebih banyak perangkat lunak untuk memudahkan penggunaan teknologi tersebut.
Meski saat ini Nvidia mendominasi pasar cip komputer untuk AI, ke depannya belum bisa dipastikan. Raksasa seperti Nvidia menghadapi aneka ancaman dari para pesaingnya. Persaingan terkait AI tentunya semakin intens ke depannya. Setiap orang semakin butuh AI. Pesaing, termasuk yang lebih kecil dan lebih lincah, dapat menggerus dominasi sang raksasa dengan produk-produk yang lebih inovatif dengan harga lebih kompetitif. Dalam kasus Nvidia, perusahaan-perusahaan semikonduktor lainnya siap bersaing. Misalnya AMD, Intel, Google, Amazon, dan Microsoft. Belum lagi perusahaan-perusahaan rintisan Cerebras, SambaNova Systems, dan Habana. Meski nama-nama mereka masih terdengar asing, bukan tak mungkin mereka menjadi kuda hitam.
Persaingan dapat mengakibatkan perang harga demi meraih pangsa pasar. Hal ini tentunya mengurangi pendapatan perusahaan raksasa lantaran mereka dipakska menurunkan harga. Akibatnya keuntungan pun berkurang.
Teknologi berkembang sangat pesat. Pesaing dapat memanfaatkan teknologi yang lebih baru untuk mendapatkan keunggulan kompetitif, membuat perusahaan raksasa kewalahan untuk mengikutinya. Saat ini, pesaing-pesaing Nvidia sedang mengembangkan aneka teknologi untuk mendukung AI.
Akuisis dan retensi talenta juga menjadi isu. Seiring makin menjamurnya pesaing, perusahaan raksasa rentan kehilangan talenta-talenta terbaiknya. Kualitas manusianya pun menurun. Apatah lagi bila talenta-talenta ini menemukan kondisi kerja yang lebih baik di perusahaan pesaing.
Masih ada lagi sejumlah ancaman terhadap perusahaan raksasa yang mendominasi pasar, mulai dari berubahnya selera pelanggan, perubahan peraturan pemerintah, hingga gangguan pasokan akibat faktor nonekonomi seperri perang dan pandemi. Untuk mengatasi ancaman-ancaman tersebut, perusahaan raksasa harus tetap lincah, pandai menyesuaikan diri dengan kondisi pasar, terus berinovasi, mengembangkan budaya perusahaan yang kuat.©The Jakarta Consulting Group
Related article can be read on https://www.linkedin.com/pulse/tantangan-fintech-the-jakarta-consulting-group/?published=t
#Artificial Intelligence #ChatGPT #Nvidia #Inovasi #perangharga #Akuisisidanretensitalenta #perusahaanraksasa
Related Posts:
Peran Digital Badge dalam Meningkatkan Kredibilitas Keterampilan Kandidat
Blending Skill-Based Hiring and Microcredentials: Faster Recruitment for Better Results
Kecerdasan Kolektif demi Organisasi yang Transformatif
Memimpin Perubahan dengan Filosofi Daerah: Belajar dari Bugis-Makassar
Blind Hiring: Reducing Bias in a Recruitment Process