Dalam dunia manajemen, kendali sering dianggap sebagai alat utama untuk memastikan pekerjaan sesuai standar, tujuan tercapai, dan risiko dapat dikurangi. Pemimpin yang gemar “mengendalikan” biasanya identik dengan ketelitian, kedisiplinan, dan orientasi pada hasil. Namun, di balik manfaatnya, sistem pengendalian manajemen menyimpan paradoks yang kerap diabaikan: semakin ketat kendali yang diberlakukan, justru semakin menurun performa tim dalam jangka panjang.
Inilah yang disebut paradoks kendali—suatu keadaan di mana pengawasan dan pengendalian yang berlebihan justru mengurangi motivasi, kreativitas, serta kepercayaan diri anggota tim, yang pada akhirnya berujung pada penurunan produktivitas dan inovasi.
Kesan Palsu Keamanan dari Pengawasan Eksesif
Banyak manajer yakin bahwa sistem pengendalian manajemen yang ketat akan menciptakan kepastian dan keamanan. Mereka menerapkan berbagai aturan, prosedur rumit, hingga sistem pelaporan berjenjang untuk mencegah kesalahan. Namun, kenyataannya, pendekatan seperti ini justru menciptakan rasa aman yang semu.
Dalam kenyataannya, kendali yang berlebihan sering membuat anggota tim takut melangkah. Daripada berinisiatif, mereka cenderung hanya mengikuti perintah, menunggu arahan, dan menghindari risiko. Akibatnya, organisasi kehilangan peluang untuk mendapatkan ide-ide kreatif yang sebenarnya bisa datang dari level bawah.
Sebuah studi dari Harvard Business Review (2018) mengungkapkan bahwa tim yang memiliki kebebasan lebih dalam mengambil keputusan menunjukkan tingkat produktivitas 31 persen lebih tinggi dibandingkan tim yang dikelola dengan pengawasan ketat.
Ruang Berkembang yang Sesak

Sistem pengendalian manajemen yang terlalu ketat justru dapat menghambat pertumbuhan anggota tim. Mereka kehilangan kesempatan untuk mencoba, gagal, belajar, dan memperbaiki diri. Akibatnya, proses belajar alami dalam tim pun terhambat.
Di dunia kerja modern, terutama di industri dinamis seperti teknologi, media, dan kreatif, metode trial and error adalah kunci inovasi. Jika setiap keputusan harus menunggu persetujuan atasan, proses kreativitas menjadi tersendat dan terjebak birokrasi.
Jika segala sesuatunya serba dikendalikan, yang ada hanyalah rasa saling curiga. Setiap langkah diawasi, setiap keputusan diragukan. Karyawan tertekan. Motivasi tertahan. Sebaliknya, ketika pemimpin memberikan kepercayaan, tim merasa dihargai dan lebih bertanggung jawab.
Terlalu Banyak Mengurusi Hal Remeh-Temeh
Pemimpin yang terlalu mengendalikan sering kali kesulitan mendelegasikan tugas. Mereka fokus pada hal-hal detail yang seharusnya bisa dikerjakan oleh tim. Alih-alih efisien, pemimpin jadi lelah sendiri, sementara tim kehilangan rasa tanggung jawab atas pekerjaan mereka. Hal ini sering terjadi ketika sistem pengendalian manajemen diterapkan secara terlalu sentralistik dan tidak disesuaikan dengan kebutuhan tim.
Kepemimpinan yang baik justru membutuhkan kemampuan untuk melepas kendali secara bertahap, disesuaikan dengan tingkat kemandirian tim. Seperti yang ditekankan dalam model kepemimpinan situasional Hersey-Blanchard, gaya kepemimpinan harus diselaraskan dengan kompetensi dan motivasi anggota tim. Ketika tim sudah matang, kendali berlebihan harus dikurangi dan digantikan dengan dukungan serta kepercayaan.
Menebar Ketakutan
Organisasi yang menerapkan sistem pengendalian manajemen yang berlebihan cenderung menciptakan lingkungan kerja yang penuh tekanan. Karyawan lebih fokus pada kepatuhan ketimbang inovasi, serta lebih menghindari kesalahan daripada mengejar kesuksesan.
Dalam jangka panjang, budaya seperti ini akan mendorong karyawan berbakat untuk pergi. Mereka mencari organisasi yang menghargai ide dan kontribusi, bukan yang selalu mencurigainya. Akibatnya, perusahaan justru kehilangan talenta terbaiknya.
Menurut penelitian Gallup (2023), karyawan yang merasa tidak dipercaya oleh atasan memiliki kemungkinan 56 persen lebih besar untuk mencari pekerjaan baru dalam waktu satu tahun.
Pemberdayaan sebagai Alternatif
Pemberdayaan (empowerment) bukan berarti membiarkan segala sesuatu berjalan tanpa sistem pengendalian manajemen. Sebaliknya, pemberdayaan adalah tentang membangun sistem yang mendorong otonomi, akuntabilitas, dan kolaborasi. Pendekatan ini berfokus pada hasil, bukan sekadar proses. Di sini, manajer bertugas menetapkan tujuan yang jelas, menyediakan sumber daya yang dibutuhkan, lalu memberikan kepercayaan kepada tim untuk mencapainya dengan cara mereka sendiri.
Praktik semacam ini telah terbukti sukses di berbagai organisasi modern. Contohnya, Zappos menerapkan struktur holacracy, di mana keputusan diambil secara kolektif oleh tim-tim yang bekerja secara mandiri. Namun, bukan berarti kendali disingkirkan. Kendali memang harus teliti, cermat, dan rapi. Meski demikian, ruang kreatvitas harus dibuka secara luas sekaligus proporsional.
Kisah Yahoo! yang Jangan Ditiru

Ketika Marissa Mayer mengambil alih posisi CEO Yahoo! pada 2013, salah satu keputusannya yang paling kontroversial adalah mencabut kebijakan kerja jarak jauh (remote working). Mayer mewajibkan seluruh karyawan kembali bekerja di kantor dengan alasan meningkatkan kolaborasi dan inovasi. Kebijakan ini merupakan bagian dari pendekatan sistem pengendalian manajemen yang lebih ketat dan terpusat.
Namun, kebijakan ini justru menuai protes dari banyak karyawan. Mereka merasa tidak dipercaya dan kehilangan fleksibilitas yang selama ini membantu mereka bekerja lebih produktif. Sementara perusahaan teknologi lain seperti Google dan Facebook justru mengadopsi sistem kerja fleksibel, Yahoo! malah memberlakukan sistem pengendalian manajemen yang tidak selaras dengan kebutuhan kerja modern.
Dampaknya? Semangat karyawan merosot, banyak talenta kunci memilih hengkang, Inovasi dan kinerja perusahaan tidak menunjukkan peningkatan berarti, dan anjloknya reputasi Yahoo! sebagai tempat kerja yang menarik.
Mayer awalnya digadang-gadang sebagai penyelamat Yahoo! Namun, perusahaan tetap mengalami penurunan kinerja dan dijual ke Verizon pada 2017.
Kasus Yahoo! ini menjadi contoh nyata dari bahaya sistem pengendalian manajemen yang berlebihan. Larangan kerja jarak jauh menciptakan ketidakpercayaan. Hilangnya fleksibilitas membuat karyawan enggan berinovasi dan hanya fokus pada kepatuhan. Motivasi intrinsik karyawan tergerus karena kehilangan kebebasan mengatur cara kerja mereka sendiri. Akibatnya? Talenta terbaik pergi, dan perusahaan kian tertinggal di industri yang justru membutuhkan adaptabilitas tinggi.