Aktivisme Korporat

Aktivisme Korporat

Bukanlah hal baru ketika bisnis mengambil sikap politik atau memberikan tanggapan terhadap suatu isu sosial atau lingkungan. Namun, apakah langkah tersebut diperlukan?

Baru-baru ini sebuah jenama fashion international dikabarkan memecat salah seorang modelnya yang tampil dalam aksi bela Palestina, walaupun akhirnya kabar itu dibantah. Namun, kabar tersebut sudah telanjur viral di media sosial dan memunculkan beragam anggapan terhadap jenama tersebut.

Sebenarnya, mengambil sikap politik atau moral sebagai sebuah bisnis bukanlah hal yang baru. Namun dalam beberapa tahun terakhir, semakin banyak perusahaan terlibat dalam aktivisme korporat seperti menyuarakan pendapat dan kampanye jenama dalam berbagai hal, mulai dari hak suara hingga soal rasisme. Hal ini terjadi di tengah tekanan yang semakin besar dari baik karyawan, konsumen maupun investor, agar perusahaan-perusahaan mengambil sikap dalam berbagai isu sosial, politik, moral, dan budaya yang menjadi perhatian utama.

Invasi Rusia ke Ukraina yang terjadi pada tahun 2022 menunjukkan bahwa berdiam diri bukan lagi sebuah pilihan. Airbnb menanggapi invasi tersebut dengan menawarkan tempat tinggal kepada lebih dari 100.000 pengungsi Ukraina. Melansir CNN, Airbnb di Ukraina justru kebanjiran pesanan dari banyak orang di seluruh dunia yang tidak berencana untuk berkunjung. Ini merupakan tanggapan terhadap kampanye media sosial jenama ini untuk menyalurkan uang kepada warga Ukraina yang terkepung. Sebelumnya, pada tahun 2017, hanya lebih dari seminggu setelah mantan Presiden Trump menandatangani perintah untuk menutup sementara perbatasan Amerika bagi para pengungsi, jenama ini menayangkan sebuah iklan dengan judul “We Accept” yang ditayangkan selama acara Super Bowl berlangsung sebagai tanggapan terhadap keputusan tersebut, yaitu dengan pesan hidup dalam keberagaman dan sikap saling menerima.

Jenama es krim, Ben & Jerry’s dikenal karena terus bersuara demi perubahan terkait berbagai isu keadilan sosial. Mereka bahkan telah menamai rasa es krim untuk menghormati tujuan-tujuan penting, seperti “Save Our Swirled” yang diluncurkan pada tahun 2015 untuk menghormati gerakan perubahan iklim dan “Empower Mint” yang merupakan bagian dari kampanye mereka bertajuk “Democracy Is In Your Hands” pada tahun 2016.

Baca :   Tips Mengurangi Jejak Karbon Perusahaan untuk Keberlanjutan dan ESG

Keberpihakan perusahaan Vs. Gen Z

Menurut survei yang dilakukan oleh Sprout Sosial, dua pertiga (66 persen) orang merasa bahwa penting bagi sebuah jenama untuk mengambil sikap publik terhadap isu-isu sosial dan politik terkemuka seperti persoalan imigran, hak asasi manusia, dan hubungan antar ras. Mereka sangat ingin mengetahui di mana posisi keberpihakan jenama produk yang mereka konsumsi atau tempat mereka bekerja.  Barometer Kepercayaan Edelman akhir-akhir ini yang melibatkan 36.000 orang di 28 negara menunjukkan bahwa mayoritas (hampir dua pertiga) karyawan merasa bahwa perusahaan harus mengambil sikap publik terhadap berbagai isu.

Bahkan hal ini dapat menumbuhkan rasa percaya konsumen sebanyak empat kali kepada bisnis yang peduli dan menangani isu-isu sosial. Menurut penelitian, mengambil pernyataan tentang isu-isu sosial yang penting bagi konsumen dapat memberikan dampak yang besar terhadap kesuksesan sebuah jenama, terutama pada karyawan dan konsumen yang lebih muda. Menurut survei Nielsen, 73 persen di antara generasi milenial, cenderung melakukan pembelian jenama yang sesuai dengan nilai-nilai dalam isu-isu sosial. Selain itu, temuan Deloitte menunjukkan Generasi Z telah memimpin upaya mengadopsi perilaku berkelanjutan, lebih dari kelompok generasi lainnya. Sekitar 50 persen dari individu Gen Z secara sadar telah mengurangi konsumsi produk yang tidak berkelanjutan.

Sepadan dengan risikonya

Ketika dunia menyadari akan pentingnya bersikap peduli secara sosial dan aktif secara politik, banyak jenama yang ikut serta dan menunjukkan dukungan terhadap beragam gerakan keadilan sosial, dari memperjuangkan isu-isu tersebut. Namun, apakah memperjuangkan tujuan sosial tersebut bisa menjadi upaya yang kontra-produktif dan mengancam profitabilitas?

Baca :   Mengarungi Ethical Leadership yang Sarat Dilema

Mengambil sikap terhadap beragam isu di ranah publik dapat menjadi langkah yang berisiko bagi sebuah jenama. Bagaimanapun juga, pendapat di dunia terbagi menjadi dua, dan apa yang dilihat oleh satu kelompok sebagai pro, sedangkan oleh kelompok lain adalah suatu kontra, sehingga jenama berisiko kehilangan pelanggan.

Terlihat pula beberapa perusahaan enggan untuk terlibat dalam isu-isu politik atau sosial, terutama pada isu yang berpotensi menimbulkan polarisasi seperti aborsi, karena hal tersebut dapat mengakibatkan reaksi keras terlepas dari sisi mana yang diambil oleh perusahaan. Hal ini tidak mengherankan mengingat penelitian lebih lanjut dari Edelman, yang menunjukkan bahwa lebih dari separuh (57 persen) konsumen membeli atau memboikot sebuah jenama hanya karena sikap sosial atau politik. Perusahaan juga menghadapi risiko mendapatkan reaksi balik dari konsumen apabila ia mengambil sikap yang tidak otentik dan tidak relevan dengan sosok di balik jenama itu dan apa yang diwakilinya.

Selain itu, tidak semua jenama mampu meraih kesuksesan karena kampanye sosial. Contohnya kampanye iklan “The Best Men Can Be” dari Gillette pada tahun 2019 memicu reaksi keras dari beberapa konsumen yang merasa bahwa jenama tersebut justru menyerang kaum pria. Kontroversi ini menyebabkan perusahaan tersebut dilaporkan mengalami kerugian sebesar 8 miliar dolar Amerika.

Lalu, apakah risiko pemboikotan tersebut layak diambil? Jawabannya adalah “ya”. Semakin sadar sosial, semakin berhasil, dan ini bisa dilihat dari langkah yang diambil oleh Airbnb. Penelitian memperlihatkan bahwa konsumen cenderung memilih jenama yang selaras dengan nilai-nilai yang mereka yakini. Sebaliknya, perusahaan yang tetap diam berisiko dicap apatis atau tidak peduli.

Baca :   Executive Search : Strategi Efektif Mencari Pemimpin

Keselarasan dengan nilai jenama

Asalkan dilakukan dengan tepat, menyuarakan isu sosial atau lingkungan akan berhasil. Sebuah jenama harus fokus pada isu yang paling selaras dengan nilai-nilai inti bisnis dan konsumennya, yaitu apa yang betul-betul dipedulikan oleh konsumen serta merupakan cerminan asli budaya perusahaan. Tampak bersikap tulus dan otentik dalam setiap kegiatan tentunya akan mengubah opini publik.  Perbedaan Airbnb dengan Gillette adalah kampanye Airbnb itu otentik, juga menghidupkan tujuan jenamanya, sedangkan Gillette hanya mengampanyekan iklan. Perusahaan yang mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dan merespons secara otentik dapat meningkatkan reputasi jenama dan meningkatkan keuntungan jenama. Upaya yang tidak otentik, dangkal, atau hanya ikut-ikutan tren justru akan menjadi bumerang dan merusak reputasi jenama.

Di samping itu, konsistensi harus ditegakkan, terutama pada tujuan sosial jenama di segala aspek operasional seperti pemasaran, pengembangan produk, dan manajemen. Kemudian perusahaan juga harus selalu melacak dan melaporkan dampak dari inisiatif sosial secara teratur yang membantu transparansi dan akuntabilitas kepada para pemangku kepentingan. Terakhir, jenama harus bersiap diri menghadapi badai yang menyertai, karena adanya risiko-risiko dan reaksi keras dari beberapa konsumen, yaitu dengan bersikap teguh membela kebenaran dan secara aktif menjelaskan keselarasan inisiatif sosial ini dengan nilai-nilai jenama.

#brand #branding #jenama #merk #campaign #kampanye #iklan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait