Saat ini, peran peniup peluit atau whistleblower penting dalam mengungkap pelanggaran etika dan bisnis. Namun, menjadi peniup peluit jelas berisiko tinggi. Pekerjaan dan karier menjadi taruhannya. Sementara itu di saat bersamaan, keinginan mempertahankan integritas begitu kuat.
Apa Itu Whistleblower dalam Dunia Kerja?
Whistleblower adalah seseorang yang mengungkapkan informasi mengenai tindakan yang dianggap melanggar hukum atau etika di dalam organisasi. Pengungkap informasi ini bisa siapa saja, misalnya karyawan, mantan karyawan, atau bahkan pihak ketiga yang memiliki informasi relevan. Tindakan tersebut bermacam-macam. Misalnya korupsi, penyalahgunaan wewenang, pelanggaran aturan, hingga kecurangan finansial.
Contoh whistleblowing adalah teknisi di sebuah pabrik melihat bahwa peralatan keselamatan tidak memenuhi standar, tetapi manajemen mendiamkan masalah ini dengan alasan efisiensi. Sang teknisi kemudian melaporkan hal tersebut ke dinas tenaga kerja atau regulator industri.
Contoh lainnya seorang karyawan di perusahaan farmasi yang menemukan zat-zat berbahaya dalam obat. Namun, pihak manajemen sengaja menyembunyikannya. Karyawan tersebut kemudia melapor ke Badan Pengawas Obata tau menulisnya di media sosial. Jadi, whistleblowing bukan hanya laporan berkaitan dengan keuangan.
Contoh Nyata Whistleblower

Kasus nyata dalam whistleblowing ini adalah Frances Haugen, mantan karyawan Facebook. Ia membocorkan ribuan dokumen internal yang menunjukkan bahwa Facebook mengetahui dampak negatif platformnya terhadap kesehatan mental pengguna, terutama remaja, tetapi tetap mengutamakan keuntungan daripada keamanan pengguna.
Haugen bersaksi di depan Kongres AS dan memicu perdebatan global tentang regulasi media sosial. Akibat skandal ini, Facebook menghadapi tekanan lebih besar untuk memperbaiki kebijakan keamanannya. Beruntungnya, Haugen mendapat perlindungan dari Undang-Undang whistleblower di AS, tetapi tetap kehilangan pekerjaannya.
Risiko Seorang Peniup Peluit
Apa sajakah risiko yang dihadapi seorang peniup peluit? Pertama, PHK. Di banyak negara, memang telah ada undang-undang yang melindungi whistleblower. Namun, penegakannya acap masih lemah. Akibatnya, tetap saja peniup peluit kehilangan pekerjaan. Sedangkan mencari pekerjaan baru bukanlah hal mudah. Bahkan ada perusahaan yang mem-blacklist mereka.
Whistleblower juga kerap mengalami tekanan psikologis akibat aksi balas dendam yang ditujukan kepada mereka. Mereka harus siap menghadapi pertempuran panjang dengan pihak yang dilaporkan. Meski tidak di-PHK, suasana kerja tidak lagi sama bagi para whistleblower. Mereka kerap dirundung, dikucilkan, bahkan diancam.
Mereka bisa saja diskors, diturunkan jabatannya atau dimutasi, bahkan diturunkan gajinya. Bahkan mereka dilaporkan ke pihak berwajib dengan tuduhan klasik: pencemaran nama baik. Tuduhan lain yang kerap ditimpakan kepada whistleblower adalah membocorkan rahasia perusahaan.
Whistleblower juga kerap dicap sebagai pengkhianat. Mereka dituduh telah bersikap kurang ajar terhadap figur yang dihormati dalam organisasi. Pun, dianggap tidak setia terhadap rekan kerja.
Seharusnya Berani, Tetapi…
Idealnya, seorang karyawan memang seharusnya berani mengungkap pelanggaran hukum dan etika, terutama jika hal tersebut berdampak besar pada organisasi, masyarakat, atau bahkan keselamatan publik. Whistleblowing bisa menjadi langkah penting dalam menciptakan organisasi yang lebih bersih dan transparan. Namun, kenyataannya tak sesederhana itu mengingat risiko yang dihadapi whistleblower, seperti telah disebutkan di atas.
Lantas, bagaimanakah caranya mengatasi dilema ini?

Jika seseorang memutuskan untuk menjadi whistleblower, apa yang harus dilakukan? Pertama, tentunya berupaya semaksimal mungkin mengumpulkan bukti yang cukup dan dapat dipertanggungjawabkan. Berikutnya, melaporkan melalui jalur internal terlebih dahulu, seperti ke divisi kepatuhan atau etika perusahaan, sebelum beralih ke pihak eksternal.
Guna meminimalkan risiko, calon whistleblower perlu mempelajari terlebih daulu hukum dan aturan seputar perlindungan terhadap pelapor pelanggaran, terutama hak dan kewajibannya. Demi keselamatan, jangan bertindak sendirian jika ingin membuat laporan tentamg pelanggaran.
Seorang whistleblower perlu mendapatkan dukungan dari orang lain atau rekan yang memiliki kepedulian yang sama. Kerap terjadi, yang dilaporkan adalah orang-orang berpengaruh. Jika memungkinkan, lakukan upaya agar terhindar dari aksi retaliasi.
Karyawan harus mempertimbangkan dampak jangka panjang. Pikirkanlah dengan matang apakah whistleblowing ini akan membawa perubahan berarti atau justru hanya akan menghancurkan karier karyawan. Jika risikonya terlalu tinggi, sementara perlindungan kurang memadai, kemungkinan perlu dicari alternatif lain. Pilihan terakhir adalah meninggalkan organisasi.
Ingin memahami lebih dalam tentang etika profesional, kepemimpinan, dan tantangan di dunia kerja? Temukan insight menarik lainnya di Jakarta Consulting Group.