Ada Apa dengan Brown Nosing? Bagi sebagian orang, istilah brown nosing masih asing. Beda halnya dengan kata “menjilat,” “penjilat,” yang sangat populer. Padahal, maknanya sama, yaitu sanjungan dan perilaku berlebihan atau tidak tulus yang ditujukan untuk memenangkan hati atasan. Selanjutnya, dalam artikel ini digunakan istilah brown nosing.
Brown nosing banyak contohnya: memuji atasan secara berlebihan; menyetujui semua yang dikatakan atasan meski itu bertentangan dengan hati nurani atau jelas-jelas salah; menjadi sukarelawan untuk tugas-tugas yang tidak penting atau tidak bermanfaat bagi organisasi agar terlihat baik; menunjukkan rasa hormat di depan umum secara tidak wajar; hanya tampil baik di depan atasan; memberikan komentar tentang sesuatu di luar kapasitas; menjelekkan karyawan lain saat berkumpul; iri atas pencapaian orang lain; dan sebagainya.
Brown nosing memang bermanfaat bagi pelakunya, tetapi hanya sebentar. Dari sisi perusahaan, perilaku ini membuat lingkungan kerja jadi tidak sehat.
Ada Apa dengan Brown Nosing?
Apa yang diinginkan oleh pelaku brown nosing? Yang terbanyak adalah si pelaku ingin agar kariernya cepat menanjak. Dengan mengambil hati petinggi perusahaan, pelaku berharap untuk dipromosikan lebih cepat, menerima perlakuan istimewa, dan diberikan tugas yang bergengsi. Bagi pemimpin yang menomorsatukan loyalitas dan gila pujian, perilaku brown nosing kemungkinan besar langsung direspons positif. Manakala peluang promosi terbatas atau persaingan mendapatkan promosi begitu ketat, brown nosing menjadi alat untuk mengalahkan rekan kerja, termasuk yang lebih berkualifikasi. Dampaknya, loyalitas lebih berharga dibandingkan kompetensi.
Alasan berikutnya seseorang melakukan brown nosing adalah mengamankan pekerjaannya. Ini menjadi relevan manakala perusahaan menghadapi ketidakpastian, seperti PHK, merger dan akuisisi, dan restrukturisasi. Pelaku brown nosing mendekati pengambil keputusan dengan harapan tidak dipecat. Mereka ingin dianggap setia dan tak tergantikan. Padahal prestasinya tidak istimewa, kalua tak mau dibilang jelek.
Adakalanya, keinginan mengakses sumber daya atau memperoleh hak istimewa menjadi alasan brow nosing. Jenis sumber daya di sini bisa bermacam-macam, mulai dari keuangan, fasilitas kantor, informasi, hubungan dengan orang penting di luar perusahaan, dan sebagainya.
Hanya Sesaat
Namun perlu diingat, seandainya perilaku brown nosing mendapatkan apa yang inginkan, dampaknya hanya sesaat. Karyawan yang telanjur dicap tidak tulus dan manipulatif sulit untuk membangun hubungan yang langgeng dan autentik dengan rekan kerja atau calon pemimpin mereka. Ingatlah bahwa tidak ada pemimpin yang berkuasa selamanya. Pergantian pemimpin dan rekan kerja bisa mengubah nasib pelaku brown nosing. Dalam kondisi demikian, hanya kompetensi dan prestasi yang bisa diandalkan. Dengan demikian, di mana pun berada, ia akan tetap bersinar.
Pelaku brown nosing adalah orang bermuka dua. Reputasi mereka tercoreng. Sulit bagi mereka untuk berkembang dalam organisasi dengan budaya meritokrasi yang kuat.
Pelaku brown nosing banyak yang dijauhi rekan kerja. Mereka tak dihormati dan kehilangan dukungan. Masalah lain terkait dengan kepercayaan. Sebuah tim menjadi solid bila anggotanya percaya satu sama lain. Jika salah satu anggota tim adalah pelaku brown nosing, kepercayaan itu akan hilang.
Tahukah anda bahwa berperilaku brown nosing ternyata juga melelahkan secara mental dan emosional? Terus-menerus berusaha menjilat pemimpin, terutama yang mengharapkan perilaku yang demikian itu, dapat menimbulkan kelelahan, stres, dan ketidakpuasan. Pelaku harus berperang dengan hati nuraninya lantaran mengorbankan nilai-nilai kebenaran
Ketidakadilan
Dari sisi perusahaan, brown nosing berdampak buruk. Apa sajakah dampak buruknya? Paling utama adalah ketidakadilan lantaran promosi dan penghargaan lebih didasarkan pada hubungan pribadi ketimbang prestasi. Bayangkanlah bagaimana kecewanya orang-orang yamg sudah bekerja keras namun tidak mendapat imbalan yang pantas. Pastinya, mereka mengalami demotivasi. Ujung-ujungnya mereka hengkang. Jika yang pergi adalah orang-orang berbakat, perusahaan rugi.
Berikutnya, menciptakan budaya kerja yang buruk. Orang dipaksa untuk tidak jujur dan manipulatif. Keunggulan bersaing antarkaryawan bukan lagi didasarkan pada kompetensi, melainkan pada siapa yang pailing berhasil memikat hati atasan. Dengan lain, kompetensi bukan lagi nomor satu. Kondisi seperti ini rentan menimbulkan kecemburuan dan kebencian lantaran mereka yang kompeten tersingkir.
Pimpinan yang menuruti pelaku brown nosing akan kehilangan kredibilitasnya. Ia tak lagi dipercaya oleh orang yang lurus perilakunya. Bila pujian lebih disukai ketimbang kecakapan (prestasi), integritas pemimpin layak dipertanyakan. Jika demikian, masihkah pemimpin layak dihormati? Lebih jauh, pemimpin yang dikellilingi oleh pelaku brown nosing tidak akan mendapat masukan, umpan balik, dan kritik yang berharga. Karena terbiasa dipuji-puji, pemimpin jadi antikritik.
Jika perilaku brown nosing telanjur berkembang, karyawan menjadi takut mengambil risiko karena tidak mau kehilangan dukungan atasan. Akibatnya, kreativitas dan inovasi mandek lantaran karyawan lebih berfokus menjaga hubungan dengan pemimpin ketimbang menggagas serta menyampaikan ide baru. Padahal, salah satu syarat berkembangnya inovasi adalah budaya yang menghargai perspektif yang beragam.
Memerangi Brown Nosing
Untuk mengatasi brown nosing, harus dimulai dari pemimpin. Pemimpin harus menegaskan bahwa yang berhak mendapatkan promosi adalah orang-orang yang berprestasi dengan ukuran-ukuran yang objektif, bukan yang pandai menjilat. Organisasi harus menetapkan kriteria yang jelas dan transparan dalam hal ini.
Kembangkanlah budaya penghargaan terhadap orang lain, bahkan pendapat yang berbeda sekali pun. Dengan demikian, karyawan akan merasa aman mengemukakan pendapatnya. Berkembangnya brown nosing membuat pemimpin tidak menghargai orang-orang yang tidak memujinya.
Pemimpin juga harus menjadi teladan. Jika pemimpin mengedepankan integritas, kejujuran, dan meritokrasi, hal ini akan ditiru oleh semua insan dalam organisasi.
Pemimpin juga harus memberikan umpan balik yang konstruktif dan objektif bagi semua karyawan tanpa kecuali. Jangan sampai pelaku brown nosing membuat umpan balik menjadi destruktif dan subjektif.
Ada Apa dengan Brown Nosing?
Kategori: Human Capital & Talent Management
#brown nosing #karier #sumber daya #manipulatif #reputasi #kepercayaan #pemimpin #budaya penghargaan