psikotes

Psikotes Saja Tidak Cukup: Pentingnya Mentorship dan Reverse Mentoring dalam Mengelola Talenta

Di tengah dunia kerja yang terus berubah, perusahaan tidak bisa lagi hanya mengandalkan pelatihan formal atau psikotes untuk mengelola talenta. Meski psikotes tetap berguna untuk memetakan potensi dan kecocokan karyawan, organisasi perlu menciptakan ekosistem pembelajaran yang lebih hidup—tempat berbagi pengetahuan, pembentukan pola pikir, dan penguatan empati menjadi kunci. Salah satu pendekatan yang terbukti efektif adalah melalui mentorship dan reverse mentoring.

Peran Mentorship dalam Pengembangan SDM

Secara tradisional, mentorship merupakan hubungan bimbingan antara karyawan senior yang berpengalaman dan junior yang sedang berkembang. Mentor tidak hanya berbagi keahlian teknis, tetapi juga membimbing dalam hal sikap, cara berpikir, dan penguatan karakter.

Tatkala tuntutan terhadap kompetensi semakin kompleks, kehadiran mentor penting untuk mentransfer pengetahuan yang tidak tercantum dalam prosedur operasi standar namun esensial; mempertajam keterampilan nonteknis seperti komunikasi, mengelola konflik, dan berempati; dan menyiapkan karyawan yang tahan banting menghadapi tekanan dan perubahan.

Program mentorship juga mempercepat proses pembelajaran dibandingkan hanya mengandalkan pelatihan konvensional atau hasil psikotes semata. Banyak perusahaan kini memasukkan mentorship ke dalam strategi pengembangan talenta, terutama untuk menyiapkan calon pemimpin.

Mentoring Terbalik: Belajar dari yang Muda

psikotes

Dunia kerja modern menuntut pendekatan yang lebih luwes. Hadirnya generasi yang mahir teknologi melahirkan konsep mentoring terbalik atau reverse mentoring.  Melalui mentoring terbalik ini, karyawan muda justru menjadi pembimbing bagi seniornya—misalnya dalam penggunaan teknologi terbaru, tren digital, atau memahami perspektif generasi milenial dan Gen Z.

Baca :   Legacy Building: Apa yang Harus Ditinggalkan Perintis Kepada Generasi Penerus?

Reverse mentoring bukanlah hal baru. Pada akhir dekade 1990-an, CEO GE kala itu, Jack Welch, menggunakan reverse mentoring untuk mengajar eksekutif senior tentang penggunaan internet. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan mengelola perubahan tidak cukup hanya mengandalkan pengalaman atau hasil psikotes, tetapi juga keterbukaan terhadap pengetahuan baru dari generasi muda.

Reverse mentoring bukan sekadar soal transfer ilmu. Lebih dari itu, dengan reverse mentoring, senior memahami cara berpikir junior, sementara junior belajar berkomunikasi efektif dengan atasan. Reverse mentoring juga menunjukkan bahwa bahwa belajar bisa dilakukan oleh siapa saja, tanpa batas usia.  Pun, para senior belajar menerima masukan, bahkan dari yang lebih muda. Praktik ini terbukti mempererat hubungan antargenerasi, mempersempit kesenjangan budaya, dan menciptakan kolaborasi yang lebih harmonis.

Apa yang terjadi di BNY Mellon|Pershin, perusahaan jasa keuangan asal Amerika Serikat, bisa menjadi contoh. Untuk menjawab keinginan generasi Milenial akan transparansi dan pengakuan, BNY Mellon|Pershing menciptakan program mentoring terbalik yang terbukti sangat efektif. Gerry Tamburro, salah satu inisiator program, mengungkapkan bahwa program ini tidak hanya meningkatkan transparansi di tingkat eksekutif, tetapi juga membuat mereka lebih sering meminta pendapat karyawan dari berbagai divisi. Wujud nyatanya adalah sebuah obrolan santai yang dikembangkan bersama oleh mantan CEO Ron DeCicco dan mentor Milenialnya, Jamilynn Camino. Diadakan selama lebih dari tiga tahun, acara ini menjadi ajang paling diminati dimana DeCicco membahas hal-hal penting dan mendengarkan masukan staf. Kesuksesan program ini tercermin dari tingginya angka retensi, yaitu 96%, untuk kelompok mentor Milenial pertama. Hal ini sulit terwujud jika perusahaan hanya mengandalkan psikotes untuk mengelola talenta perusahaan.

Baca :   Jalur Karier untuk Penerus Bisnis Keluarga

Empati dan Pola Pikir

Mentorship tidak akan berhasil tanpa empati. Seorang mentor yang hanya memberi perintah tanpa memahami perasaan mentee akan sulit membangun kepercayaan. Begitu pula dalam reverse mentoring, junior perlu menyampaikan masukan dengan empati, bukan sikap menggurui.

Empati ini erat kaitannya dengan budaya organisasi. Organisasi dengan budaya macam ini membuat karyawan kerasan untuk bertahan karena merasa didengarkan dan dihargai. Kesenjangan dan benturan antargenerasi dapat diminimalkan. Selain itu, budaya untuk saling membimbing juga berkembang. Budaya seperti ini bahkan seringkali menjadi faktor retensi yang lebih kuat dibanding skor psikotes pada saat seleksi masuk.

Selain empati, mentorship juga berperan dalam membangun pola pikir yang tangguh. Melalui mentoring, karyawan junior belajar belajar dari pengalaman senior dalam menghadapi kegagalan. Senior mendapat perspektif segar tentang growth mindset dari junior. Kedua-duanya  bersama-sama mengasah ketahanan dan fleksibilitas.

Tantangan dan Penyelesaian

psikotes

Meski manfaatnya lebih terasa dibanding psikotes, implementasi program mentoring tidak selalu mulus. Beberapa tantangan yang sering muncul adalah egoisme para senior lantaran mereka merasa lebih berpengalaman, lebih berpengetahuan, dan lebih tinggi posisinya. Tantangan lainnya adalah soal waktu. Mentor dan mentee memiliki kesibukannya masiing-masing. Perbedaan gaya berkomunikasi antara karyawan senior dan junior juga menjadi tantangan.

Baca :   Isolasi Sosial di Era Kerja Remote/Hybrid: Bagaimana HR Membangun Hubungan Manusiawi

Bagaimanakah penyelesaiannya?

Organisasi dapat memberikan pelatihan keterampilan mentoring bagi calon mentor. Sistem pemantauan dapat disiapkan untuk memastikan program berjalan konsisten. Riset membuktikan, pelatihan dapat melipatgandakan kesuksesan hubungan mentor-mentee. Tanpa pelatihan, hanya sepertiga hubungan yang berhasil. Angka ini melonjak menjadi dua pertiga jika para mentor mendapat pelatihan. Di perusahaan yang diteliti, pelatihannya berfokus pada cara mempersiapkan sesi yang efektif dengan mentee serta membahas tantangan yang mungkin timbul.

Kecocokan antara mentor dan mentee juga penting. Generasi muda umumnya tidak keberatan untuk menjadi mentor tanpa pilih-pilih. Namun tidak demikian halnya dengan generasi senior. Mereka umumnya khawatir terhadap konflik kepentingan dan pelanggaran terhadap batas-batas kepengawasan (supervisory line).

#mentoring     #reverse mentoring                #psikotes                     #mentorship                #empati                       #teknologi terbaru                  #Gen Z             #GE                  #Jack Welch                #usia                #BNY Mellon|Pershin                       #biudaya organisasi                #pola pikir                   #growth mindset                     #egoisme

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait