Memimpin Perubahan dengan Filosofi Daerah: Belajar dari Bugis-Makassar

Memimpin Perubahan dengan Filosofi Daerah: Belajar dari Bugis-Makassar

Memimpin Perubahan dengan Filosofi Daerah: Belajar dari Bugis-Makassar. Indonesia terdiri dari sekitar 1.340 suku bangsa. Tiap-tiap suku bangsa memiliki filosofi kehidupannya masing-masing. Tak terkecuali dalam kepemimpinan dan manajemen. Banyak pelajaran penting yang bisa diambil dari folosofi-filosofi kehidupan tersebut. Jadi konsep kepemimpinan tidak harus selalu datang dari Amerika Serikat (AS) atau Eropa.

Salah satu suku bangsa besar yang memiliki filosofi kepemimpinan yang kuat adalah suku Bugis-Makassar. Selama ini, suku Bugis-Makassar dikenal dengan kegemaran mereka untuk bertualang. Mereka juga terkenal berani. Namun, siapa sangka suku yang berasal dari Sulawesi Selatan ini memiliki kearifan lokal yang berguna bagi manajemen dan kepemimpinan, termasuk untuk zaman modern ini?

Memimpin Perubahan dengan Filosofi Daerah: Belajar dari Bugis-Makassar

Salah satu falsafah hidup yang dipegang erat oleh masyarakat suku Bugis-Makassar adalah siri’ na pacce. Siri bermakna rasa malu atau kehormatan, sedangkan pace berarti berani berbuat. Bukan sekadar berani, tetapi atas dasar kepedulian pada sesama, bukan semata untuk kepentingan pribadi. Berani berkorban, bekerja keras, dan pantang mundur. Seseorang akan sedih jika ada masyarakat, keluarga, atau sahabat yang ditimpa kemalangan. Menurut filosofi ini, seseorang harus senantiasa memelihara kehormatannya. Namun kehormatan ini digunakan untuk tindakan yang mencerminkan kepedulian kepada orang lain. Orang yang tidak memiliki siri dan pacce tidak lebih dari hewan. Siri na pacce akan membuat hidup lebih bermakna.

Baca :   Jika Merek Tertimpa Bencana

Bagaimanakah penerapan Siri’ na Pacce ini terkait dengan kepimpinan untuk perubahan? Siri mengharuskan pemimpin untuk memiliki integritas, mampu menjaga kepercayaan yang diamanatkan padanya, dan memiliki prinsip-prinsip positif yang dipegang teguh. Sedangkan pacce mewajibkan pemimpin untuk acuh pada kebutuhan serta kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya. Ia harus pula berkasih sayang. Namun, mengingat beratnya tugas dan tantangan yang dihadapi, seorang pemimpin harus mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dan sebagainya.

Selama ini, banyak pemimpin yang hanya mementingkan hasil namun tanpa mengindahkan proses. Akibatnya, mereka melakukan segala cara untuk mencapai tujuan, bahkan perbuatan tercela sekalipun. Pemimpin yang menjunjung tinggi Siri’ na Pacce tentunya tidak akan berbuat yang demikian itu. Hasil memang penting, Namun, proses tak boleh diabaikan.

Transformasi adalah sebuah proses yang berat dan kerap melelahkan. Akibatnya, banyak perusahaan yang berhenti di tengah jalan. Namun jika demikian, perusahaan sulit mencapai level lebih tinggi. Agar transformasi tetap berjalan, dibutuhkan keyakinan dari seorang pemimpin. Artinya, ia sungguh-sungguh percaya bahwa peluang kesuksesan transformasi ini besar meski harus menghadapi aneka rintangan. Keyakinan inilah yang harus ditularkan kepada semua karyawan. Keyakinan ini harus didasarkan pada kepercayaan karyawan kepada eksekutif. Apatah lagi, pemimpin kerap membuat keputusan strategis yang berdampak pada kesejahteraan karyawan, struktur organisasi, bahkan kelangsungan bisnis. Jika karyawan tak lagi percaya, segala upaya pemimpin akan sia-sia.

Baca :   Budaya Organisasi Nirlaba. Seperti Apakah?

Di atas keyakinan, integritas adalah segalanya. Pemimpin berintegritas senantiasa jujur dan adil. Jujur artinya lurus hati, tidak berbohong, tidak curang, tulus, dan ikhlas. Integritas juga dapat dimaknai satunya kata dengan perbuatan. Artinya, pemimpin harus menjadi teladan. Sedangkan adil berarti berpihak kepada yang benar, berpegang pada kebenaran, dan tidak sewenang-wenang. Terkait dengan transformasi, pemimpiin berintegritas konsisten dengan kebijakannya, terbuka dalam berkomunikasi, transparan, dan tidak lari dari tanggung jawab. Mereka tidak akan memanipulasi atau menyembunyikan informasi yang sepatutnya diketahui.

Ketidakpastian, ketakutan, dan resistensi senantiasa menjadi bagian dari transformasi. Di sinilah pacce memainkan peran kunci, mendorong pemimpin untuk berempati terhadap perasaan, kecemasan, dan kebutuhan karyawan. Mereka tidak hanya berfokus pada strategi dan operasi bisnis, tetapi juga pada kesejahteraan psikologis dan emosional tim. Mereka tidak memdekati karyawan dengan cara memaksa. Kekhawairan dipedulikan, dukungan diberikan, dan karyawan dilibatkan.

Baca :   Branding Karyawan dalam Dunia Gig Economy

Dalam budaya Bugis-Makassar, pacce tidak hanya berarti merasakan penderitaan orang lain, tetapi juga berani bertindak untuk mengatasinya. Intinya adalah keberanian. Dalam konteks transformasi, sayangnya banyak banyak orang tidak berani melakukannya meski duduk di kursi pemimpin. Ia tidak berani melakukan tindakan yang tidak populer meski diperlukan, tidak berani mengambil keputusan sulit, dan tidak berani bertanggung jawab dan menanggung risiko. Padahal buah manis transformasi lahir dari kesiapan dan kesediaan untuk dikritik, kesediaan untuk menanggung segala sesuatunya (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya), dan pergolakan hati tatkala mengambil keputusan penting.

Filosofi Pacce memotivasi pemimpin untuk membangun solidaritas dalam organisasi. Bagaimanakah caranya? Bisa dengan memfasilitasi kerja sama di antara sesama anggota tim, membantu mereka menghadapi serta mengatasi tantangan, dan menyediakan dukungan emosional jika ada anggota tim yang membutuhkan.

Memimpin Perubahan dengan Filosofi Daerah: Belajar dari Bugis-Makassar

Kategori: Organization & Business Transformation

#kepemimpinan #transformasi #bugis-makassar #kearifan lokal #siri na pacce #integritas #resistensi #keberanian

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait