Anda pastinya sudah mengetahui soal ChatGPT dan apa saja yang bisa dilakukannya. Mengesankan, bukan? Atau justru menakutkan?
Ada rasa kagum sekaligus waspada ketika kita membahas tentang Kecerdasan Buatan atau Artificial Intelligence (AI). Terutama bagi para pekerja profesional. Karena diduga kecerdasan buatan tersebut mampu menggantikan tenaga kerja manusia.
Pekerjaan yang disebut-sebut dapat digantikan oleh robot atau AI ini adalah telemarketing, layanan pelanggan, akuntan, analis keuangan, kurir, petugas pembukuan, manajer kompensasi dan tunjangan, resepsionis, korektor, spesialis dukungan komputer, analis riset pasar, tenaga penjualan periklanan dan ritel. Jadi, sebagian besar pekerjaan tersebut merupakan jenis pekerjaan yang dilakukan berulang-ulang. Mesin dan perangkat lunak otomatis mengambil alih tugas-tugas yang berulang-ulang dan diatur dalam proses yang dimengerti komputer. Tujuannya adalah mengurangi beban tugas berulang dan membosankan yang pada umumnya kurang baik dilakukan oleh manusia, tetapi unggul dilakukan oleh komputer.
Tidak tergantikan
Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua pekerjaan akan digantikan oleh AI. Bahkan di Swedia, negara yang terkenal dengan teknologi inovatifnya, beberapa pekerjaan akan selalu membutuhkan sentuhan manusia. Perusahaan pencarian eksekutif di Swedia, misalnya, sangat bergantung pada networking pribadi, pengetahuan tentang pasar kerja, dan kemampuan untuk menganalisis kecocokan kandidat dengan budaya perusahaan, yang semuanya mungkin tidak dapat sepenuhnya diciptakan oleh AI. Berikut ini adalah beberapa pekerjaan yang hampir tidak mungkin digantikan oleh AI di tahun-tahun mendatang, yaitu guru, pengacara dan hakim, penyanyi, atlet, direktur atau CEO, manajer, politisi, psikolog, psikiater, ahli bedah, pemuka agama, seniman dan penulis.
Walaupun sebuah studi yang dibuat pada tahun 2013 di University of Oxford mengemukakan bahwa kecerdasan buatan dapat menghilangkan sekitar 47 persen pekerjaan di AS dalam kurun waktu 20 tahun, ternyata hal itu kurang tepat.
Bukan bersaing, tetapi berkolaborasi
Memang, apa yang Anda lihat dari ChatGPT itu sungguh mengesankan sekaligus menakutkan. Meskipun belum sempurna, kecerdasan buatan sepertinya akan hadir untuk menggantikan pekerjaan profesional Anda. Akan tetapi, apa yang bisa Anda lakukan agar Anda tetap relevan dan bahkan lebih baik di era AI ini?
Agar kita dapat membuat diri kita lebih bernilai kini adalah dengan tetap menjadi diri sendiri dan hal itu adalah sebuah aset. Maka dari itu, pertama-tama yang dilakukan adalah dengan memikirkan kolaborasi, bukan kompetisi.
Dr. Sima Sajjadiani, seorang asisten professor di UBC Sauder School of Business (salah satu sekolah bisnis ternama di Kanada) meneliti sumber daya manusia dalam suatu organisasi, yaitu yang dituangkan oleh para pekerja dalam pekerjaannya adalah satu set dari pengetahuan, keterampilan maupun kemampuan. Menurutnya, AI justru merupakan alat untuk membantu mereka bekerja lebih cepat dan lebih produktif. Pola pikir kita sebaiknya adalah kita bukan bersaing dengan mesin, melainkan kita menggunakan mesin. AI menjadi asisten manusia, yang sarannya bisa kita gunakan, sementara kita tetap memberikan penilaian dan wawasan kritis tersendiri. Tidak hanya itu, kreativitas manusia itu sangat penting apabila dibandingkan dengan konten yang dihasilkan oleh AI. Karena latar belakang dan pengalaman hidup manusia adalah kekuatan tersendiri, yang tidak dimiliki oleh kecerdasan buatan.
AI lebih cepat, tetapi tidak intuitif
Hal ini didukung oleh Harvard Business Review yang berpendapat bahwa sebenarnya asumsi AI akan menggantikan manusia di tempat kerja adalah kurang tepat. Keduanya sama-sama memiliki kemampuan dan kekuatan yang berbeda. Mesin berbasis AI memang cepat, lebih akurat dan rasional secara konsisten, tetapi dia tidak intuitif, emosional, bahkan tidak peka secara budaya.
Perlu diingat, AI adalah komputer yang bertindak dan mengambil keputusan dengan cara yang tampak cerdas. Dia meniru cara manusia bertindak, berbicara, merasa, dan mengambil keputusan. Kualitas-kualitas tersebut membuatnya sangat cocok digunakan dalam tugas-tugas rutin tingkat rendah yang bersifat repetitif dan berlangsung dalam sistem manajemen tertutup. Dengan itu, aturan mainnya jelas dan tidak dipengaruhi faktor eksternal.
Sementara itu, kemampuan manusia lebih luas. Berlawanan dengan kemampuan AI yang hanya bersifat responsif terhadap data yang tersedia, manusia mampu membayangkan, mengantisipasi, merasakan dan menilai situasi yang berubah. Akal sehat yang dimiliki manusia memungkinkan kita untuk memahami konteks dan membuat keputusan berdasarkan situasi yang berbeda. Hal ini membuat mereka dapat menawarkan solusi atas permasalahan jangka panjang yang lebih tepat dan sesuai.
Kategori : Human Capital & Talent Management
—-#kecerdasanmanusia #kecerdasanbuatan #AI #humanintelligence #artificialintelligence
Related Posts:
TikTok untuk Rekrutmen: Bisakah Memikat Talenta yang Tepat?
Turnover Contagion: Menyikapi Gelombang Pengunduran Diri yang Mengancam Stabilitas Tim
Pro Kontra Experiential Hiring
Kepemimpinan Tanpa Jabatan: Dampak Nyata dari Shadow Leadership
Glass Cliff: Tantangan Kepemimpinan bagi Wanita dan Minoritas di Tengah Krisis