Trauma Organisasi : Luka Kolektif yang Destruktif

Trauma Organisasi : Luka Kolektif yang Destruktif

Trauma artinya kondisi yang timbul sebagai akibat dari pengalaman atau peristiwa buruk yang dialami oleh seseorang, seperti kecelakaan, kekerasan, atau bencana alam. Kondisi ini dapat memengaruhi mental dan emosi seseorang terutama saat mengingat peristiwa buruk tersebut.

Definisi Trauma Organisasi

Tapi, tahukah Anda bahwa bukan hanya dialami individu? Organisasi juga bisa mengalami trauma. Trauma organisasi dapat didefinisikan sebagai dampak psikologis, emosional, dan operasional yang dialami organisasi berikut anggotanya sebagai akibat dari satu atau serangkaian peristiwa yang mengganggu secara signifikan.

Trauma organisasi ini melewati batas trauma individu; menekankan pengalaman kolektif dan pengaruhnya terhadap budaya, kinerja, dan moral organisasi.

Krisis, Transisi, Akuisisi, dan Tragedi

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan trauma dalam organisasi adalah krisis ekonomi; pergantian kepemimpinan; pelanggaran etika; merger dan akuisisi;  bencana, baik bencana alam, nonalam, maupun sosial;  dan kekerasan di tempat kerja.

Ketidakstabian finansial, ambruknya pasar, dan resesi ekonomi kerap memaksa perusahaan untuk mem-PHK karyawan, memangkas anggaran, bahkan menutup operasi bisnisnya. Kondisi ini tentunya menimbulkan ketakutan dan ketidakpastian, yang menyebabkan trauma organisasi.

Pergantian pemimpin adalah hal biasa di sebuah organisasi. Namun, ini menimbulkan trauma manakala diwarnai dengan kontroversi dan pertikaian antarelite, apalagi bila sampai berdarah-darah.

Skandal yang melibatkan penipuan, penggelapan, atau pelanggaran etika lainnya dapat mengikis kepercayaan dalam suatu organisasi. Karyawan mungkin merasa dikhianati oleh tindakan pemimpinnya sehingga menimbulkan krisis kepercayaan.

Meskipun sering kali dipandang sebagai langkah strategis, merger dan akuisisi dapat menimbulkan trauma. Bentrokan budaya, perubahan peran pekerjaan, dan ketidakpastian mengenai keamanan kerja dapat mengakibatkan stres dan kecemasan yang signifikan.

Kekerasan dan ancaman di tempat kerja menghilangkan rasa aman dan kesejahteraan karyawan. Padahal, karyawan perlu bekerja dengan tenang agar kualitas pekerjaannya bagus. Hantu kekerasan dan ancaman ini akan mennimbulkan trauma terus-menerus.

Baca :   Memimpin dengan Akal dan Hati

Bencana  seperti gempa bumi, banjir, kecelakaan industri, dan kerusuhan menimbulkan kerugian bukan hanya fisik melainkan juga psikologis. Gangguan operasional, hilangnya nyawa, dan  disabilitas akibat bencana dapat menimbulkan trauma berkepanjangan bagi organisasi.

Terkait trauma akibat bencana ini, ada kisah menarik dari Hitachi. Kejadiannya saat gempa bumi di Jepang pada 2011. Gempa Bumi Besar di Jepang Timur dan tsunami yang terjadi pada tanggal 11 Maret 2011, menciptakan trauma yang belum pernah terjadi sebelumnya bagi banyak organisasi di Jepang. Bencana besar ini mengganggu Hitachi, sang konglomerat teknologi dan elektronik global. Kerusakan parah mengakibatkan guncangnya tidak saja finansial perusahaan tetapi juga kondisi psikologis karyawan.

Gempa bumi berkekuatan 9,0 ini merupakan salah satu gempa terkuat yang pernah tercatat. Tsunami memorak-porandakan wilayah pesisir, menewaskan lebih dari 15 ribu orang, dan menimbulkan kerusakan infrastruktur yang parah. Hitachi, yang berkantor pusat di Tokyo, memiliki banyak pabrik dan fasilitas yang terkena dampak bencana, khususnya di wilayah Tohoku.

Hitachi mengalami kerugian finansial besar akibat kerusakan fasilitas, hilangnya persediaan, dan berhentinya proses produksi. Upaya perbaikan dan pembangunan kembali tentunya menelan biaya yang amat mahal.

Namun yang tak kalah mengkhawatirkan adalah kondisi psikologis karyawan. Mereka kehilangan tempat tinggal serta orang-orang yang dicintai. Tak heran jika mereka mengalami stres dan trauma yang dahsyat.

Hitachi agaknya sadar bahwa kesejahteraan SDM bukanlah soal finansial semata, melainkan juga soal mental dan psikologis. Trauma akibat katastrofe memerlukan penanganan khusus. Hitachi mengutamakan keselamatan dan kesejahteraan karyawannya. Perusahaan membentuk tim tanggap darurat untuk memastikan keselamatan personel, memberikan dukungan yang diperlukan bagi semua karyawan. Menyadari dampak psikologis dari bencana tersebut, Hitachi memberikan layanan konseling dan dukungan kesehatan mental kepada karyawan. Hal ini termasuk menyiapkan hotline dukungan dan mengatur sesi konseling.

Baca :   Hambatan Budaya dalam Kerja Hibrida

Hitachi memberikan bantuan keuangan kepada karyawan yang terkena dampak dan keluarga mereka. Perusahaan juga memberikan bantuan besar kepada masyarakat yang terkena dampak, sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan.

Usaha pemulihan trauma karyawan dilakukan bersamaan dengan upaya pemulihan operaasi dan produksi, yang perkembangannya terus diikomunikasikan pada stakeholders. Menatap ke depan, Hitachi melakukan mitigasi bencana.

Hasilnya, dalam waktu relatif singkat Hitachi berhasil memulihkan operasi bisnisnya. Para karyawan pun mampu melewati trauma meski tentunya tak mudah. Cara Hitachi mengatasi krisis pun menjadi benchmark bagi banyak perusahaan.

Bangkit dari Trauma: Memulihkan Organisasi dan Membangun Ketangguhan

Jika tidak ditangani dengan sungguh-sungguh, trauma organisasi dapat memorak-porandakan organisasi. Trauma organisasi dapat menghadirkan aneka masalah psikologis bagi karyawan. termasuk kecemasan, depresi, dan kelelahan. Stres berkepanjangan dapat menurunkan produktivitas dan membuat orang tidak bersemangat untuk datang ke tempat kerja. .

Organisasi yang mengalami trauma sering kali mengalami penurunan kinerja. Pengambilan keputusan menjadi tidak pasti. Inovasi mandek. Kualitas kerja terempas. Sebagian kondisi ini disebabkan oleh dampak emosional dan kognitif yang dialami karyawan.akibat trauma.

Akibat trauma pula, kepercayaan rusak berat. Karyawan menjadi sinis, tidak lagi engaged, dan masa bodoh dengan organisasi. Pada akhirnya, mereka hengkang dari organisasi. Hal ini membuat kondisi makin runyam, apalagi jika yang pergi adalah orang-orang terbaik.

Baca :   Mengarungi Ethical Leadership yang Sarat Dilema

Bagaimanakah memulihkan organisasi dari trauma? Langkah pertama, mengakui bahwa organisasi memang sedang mengalami trauma. Kemudian, pemimpin harus memberikan penjelasan yang benar, akurat, dan lengkap mengenai apa yang terjadi, dampaknya, dan langkah-langkah yang diambil terkait peristiwa yang mengakibatkan trauma.

Berikutnya, menyediakan support system. Memberikan dukungan psikologis kepada karyawan sangatlah penting. Bisa dalam bentung layanan counseling, support group, dan program stress management. Intinya, menyediakan akses terhadap sumber daya kesehatan mental untuk membantu karyawan mengatasi trauma.

Pimpinan organisasi berperan krusial dalam proses pemulihan. Mereka harus belajar mengenali gejala-gejala trauma  serta mampu memberikan dukungan untuk membangun kembali budaya positif organisasi. Caranya? Meninjau ulang atau memperkuat kembali nilai-nilai yang dianut organisasi, merayakan kesuksesan sekecil apa pun, dan memupuk rasa persaudaraan dan saling memiliki.

Pada sejumlah kasus, perubahan struktural mungkin harus dilakukan untuk mencegah berulangnya trauma. Misalnya dengan cara merevisi kebijakan, meningkatkan keselamatan dan keamanan, dan menjunjung standar etika yang tinggi.

Pemulihan dari trauma merupakan sebuah proses yang berkelanjutan. Agar organisasi tahan banting dalam jangka panjang, dibutuhkan pemantauan secara berkala terhadap iklim organisasi, penilaian terhadap strategi pemulihan selama ini, serta membuat penyesuaian jika dibutuhkan.

Memulihkan organisasi dari trauma bukan hal yang mudah, namun dengan komitmen dan langkah-langkah yang tepat, organisasi dapat bangkit dan menjadi lebih kuat.

#Kepemimpinan

#traumaorganisasi

#trauma

#hitachi

#gempabumi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait