Dalam dunia kerja modern, bersikap positif seolah-olah sudah menjadi kewajiban. Para pemimpin dituntut untuk selalu optimistis, karyawan didorong melihat hikmah dalam setiap masalah dan menjaga motivasi kerja tetap tinggi. Sementara itu, perusahaan berlomba-lomba mencitrakan diri sebagai tempat kerja yang menyenangkan dan bahagia. Meski penting untuk membangun ketahanan dan keterlibatan, dorongan untuk selalu positif ini bisa menjadi bumerang jika dipaksakan—fenomena inilah yang disebut kepositifan beracun atau toxic positivity.
Toxic positivity terjadi ketika perusahaan atau pemimpin memaksakan suasana optimistis setiap saat, tanpa memberi ruang bagi emosi, kekhawatiran, atau realitas negatif yang dirasakan karyawan. Tekanan berlebihan untuk selalu bersemangat ini menciptakan budaya kerja di mana masalah sebenarnya dipendam, kritik dibungkam, dan sikap tulus pun hilang. Inilah sisi gelap dari motivasi berlebihan—sebuah kepositifan yang justru meracuni organisasi.
Ciri-Ciri Toxic Positivity
Intinya, toxic positivity bukan sekadar bersikap positif atau memiliki motivasi kerja yang tinggi. Istilah ini lebih menekankan pada budaya organisasi yang meremehkan atau mengabaikan emosi negatif. Ini seperti mengucapkan “jangan sedih, tetaplah bersemangat!” kepada rekan yang sedang kelelahan, stres berat, atau merasa diperlakukan tidak adil.
Sikap positif memang dapat membantu membangun ketahanan, motivasi kerja dan memacu kreativitas. Namun, saat sebuah organisasi menuntut kepositifan sebagai kewajiban, hal itu dapat berubah menjadi tekanan. Karyawan pun merasa harus “tersenyum” meski sedang berjuang, karena khawatir dianggap tak memiliki solidaritas atau kurang bersemangat jika mengungkapkan kelelahan.
Lama-kelamaan, keceriaan yang dipaksakan ini menciptakan kesenjangan antara perasaan yang sesungguhnya dan ekspresi yang dituntut. Hal ini menciptakan kelelahan emosional dan perasaan terisolasi.
Budaya Motivasi Kerja yang Berlebihan

Banyak organisasi, khususnya yang bergerak cepat, terjebak dalam motivasi berlebihan. Slogan penyemangat, rapat yang gegap gempita, dan acara team building bertujuan menjaga moral tim. Sayangnya, tanpa diimbangi pengakuan atas realitas yang dihadapi karyawan, upaya ini justru berbalik arah.
Motivasi kerja yang berlebihan ini biasanya muncul dalam beberapa bentuk.
- Optimism yang tidak sesuai dengan kenyataan. Pemimpin terus-menerus menekankan bahwa semuanya sedang dan akan baik-baik saja. Padahal, fakta berkata lain. Karyawan akan menyembunyikan kabar buruk karena takut dianggap sebagai pesimis. Hal ini menimbulkan risiko kekeliruan dalam pengambilan keputusan.
- Tumbuhnya budaya “yes man.” Dalam lingkungan yang mengutamakan kepositifan, kritik yang membangun sering disamakan dengan keluhan, bahkan pembangkangan. Mereka yang berani menyuarakan kekhawatiran justru tersingkir.
- Orang dipaksa untuk selalu terlihat bahagia. Padahal mereka sedang lelah atau sedih.
Dampak Psikologis Kepositifan yang Dipaksakan
Toxic positivity menggerogoti salah satu kebutuhan dasar dalam dinamika organisasi: keaslian diri. Saat karyawan tidak bisa mengekspresikan perasaan yang sesungguhnya, mereka akan menarik diri secara psikologis.
Adapun dampak-dampak yang muncul adalah stres dan kelelahan emosional akibat dipaksa tanpa henti berpura-pura bahagia; merosotnya kepercayaan dan keterbukaan sehingga membunuh inovasi dan membiarkan masalah menumpuk hingga meledak tak terkendali; hilangnya motivasi kerja; dan menganggap slogan organisasi sebagai retorika tanpa makna.
Dalam kasus ekstrem, toxic positivity bahkan dapat menyebabkan cedera moral—tekanan emosional yang timbul ketika seseorang merasa dipaksa mengkhianati nilai-nilainya sendiri, seperti kejujuran atau empati, demi menyesuaikan diri dengan narasi optimistis organisasi.
Pemimpin Turut Memperparah Masalah
Tanpa disadari, banyak pemimpin sering berkontribusi pada toxic positivity. Mereka menganggap kepositifan identik dengan kepemimpinan yang baik. Banyak pelatihan kepemimpinan mengajarkan cara “menginspirasi” dan “memberi motivasi kerja,” tetapi jarang yang membekali pemimpin dengan kemampuan untuk memvalidasi perasaan tidak nyaman atau mengakui kelelahan yang dirasakan pengikutnya.
Kesalahan yang umum dilakukan pemimpin adalah membuat pernyataan tanpa memedulikan perasaan orang lain; lebih mementingkan pujian kepada karyawan yang selalu tampak ceria, terlepas dari besar kecilnya kontribusi kepada organisasi; dan bukanya berempati, malahan menyampaikan kata-kata yang sepertinya inspiratif namun salah tempat dan waktu.
Membangun Iklim Emosional yang Sehat

Untuk menangkal kepositifan beracun ini, pemimpin harus jujur. Bukan hanya jujur dalam perkataan dan perbuatan tetapi juga emosi. Misalnya, jika memang perusahaan pada tahun ini mengalami masa sulit, akuilah. Pintu percakapan yang tulus akan terbuka. Karyawan akan merasa dihargai.
Ubah pandangan dari “selalu bahagia” menjadi “selalu punya harapan.” Harapan mengakui adanya kesulitan, namun tetap yakin selalu ada jalan keluarnya. Pembingkaian ulang ini menjaga motivasi kerja tetap hidup dan pada saat yang sama tidak menyangkal atau mengabaikan realitas.
Bangun budaya di mana setiap orang bebas berpendapat tanpa rasa takut. Adakanlah diskusi terbuka untuk mengumpulkan berbagai sudut pandang. Riset Amy Edmondson membuktikan bahwa tim dengan rasa aman psikologis lebih unggul karena berani membicarakan kegagalan.
Pemimpin harus nemiliki keterampilan mendengar secara aktif. Ini adalah salah satu bentuk empati. Empati lebih baik dari sekadar kata-kata motivasi, apalagi yang dangkal dan klise.
Namun perlu diingat, bukan berarti kepositifan tidak penting. Kepositifan membantu orang untuk bangkit dari kegagalan dan memicu kreativitas. Namun, kepositifan hanyalah alat. Jika tidak digunakan dengan tepat, ia justru merugikan organisasi.
Motivasi kerja yang sehat tidak mengingkari kenyataan, melainkan menghadapinya. Organisasi yang paling sukses adalah yang mampu menyeimbangkan inspirasi dengan introspeksi, semangat dengan empati, serta visi dengan kerendahan hati.
#toxic positivity #motivasi #emosi negatif #tekanan #kritik #kelelahan emosional #cedera moral #kepemimpinan #harapan #keterampilan mendengarkan
Related Posts:
Budaya Mikro: Rahasia di Balik Budaya Organisasi Modern yang Adaptif
Perlukah Kepemimpinan Karismatik dalam Transformasi Bisnis?
Etika Bisnis Lokal vs Global: Tantangan Manajemen dalam Perusahaan Multinasional
Dari Viral ke Klarifikasi: Mengelola Dampak Cancel Culture
Sisi Gelap Budaya Organisasi: Mengapa Budaya Toxic Tetap Hidup di Beberapa Perusahaan?