Tempat kerja Terbaik di Bumi: Sebuah Fatamorgana?

Tempat kerja Terbaik di Bumi: Sebuah Fatamorgana?

The World’s Best Employers. The world’s 30 Best Places to Work. The Most Admired Companies. Inilah sejumlah contoh daftar yang memeringkat perusahaan-perusahaan yang dinilai terbaik atau paling ideal di dunia.

Pertanyaannya, apakah tempat kerja terbaik yang masuk daftar tersebut benar-benar sempurna, tanpa cacat? Kemudian, apakah perusahaan yang tidak masuk dalam daftar berarti perusahaan yang buruk? Tentu tidak demikian. Paling tidak ada dua alasan, yaitu tidak samanya kondisi tiap-tiap individu dan potensi sisi gelap organisasi.

Ada kisah menarik dari seorang mantan karyawan Google bernama Ken Waks. Seperti dilaporkan Newsweek, ia menjadi viral karena mengeksplorasi “alasan gelap” di balik fasilitas mewah yang ditawarkan di kantor perusahaan teknologi bergengsi tersebut Peristiwa ini terjadi pada 2022. Dalam video TikTok yang telah ditonton 4,5 juta kali sejak diunggah pada 3 Maret, Ken Waks mengatakan bahwa mantan perusahaannya, Google dan Yelp, menawarkan fasilitas sebagai alat untuk membuat orang “bekerja lebih banyak dengan biaya lebih sedikit”.

Waks menjelaskan bagaimana serangkaian tunjangan dirancang untuk mempertahankan karyawan di kantor selama mungkin. Ia bisa makan tiga kali sehari secara gratis di Google. Namun, makan malam hanya disediakan pada pukul 18.00 atau 18.30, jadi dia harus bekerja lembur untuk mendapatkannya. Layanan antar-jemput gratis mengantar karyawan ke dan dari tempat kerja antara pukul 6 pagi hingga 10 malam, sehingga mereka dapat pulang lebih awal dan pulang terlambat. Layanan antar-jemput juga dilengkapi Wi-Fi, sehingga orang dapat terus bekerja sambil beraktivitas. Tampaknya menyenangkan jika karyawan dapat membawa hewan peliharaannya (jika punya) ke kantor. Namun, ada makna lain di balik itu: mereka tidak perlu meninggalkan pekerjaan untuk merawat hewan peliharaannya. Artinya, karyawan seolah harus terus-menerus memikirkan pekerjaannya dari pagi hingga malam.

Baca :   Glass Cliff: Tantangan Kepemimpinan bagi Wanita dan Minoritas di Tengah Krisis

Dalam videonya, Waks juga menjelaskan pola serupa di Yelp. Inc. Yelp adalah perusahaan pengembang situs yelp.com, dan aplikasi seluler Yelp, yang menerbitkan ulasan bersumber dari banyak orang tentang bisnis. Saat bekerja di bagian penjualan iklan digital, dia menikmati kopi dan makanan ringan sepuasnya—tetapi ada harganya. Menurut Waks, direkturnya mengatakan bahwa dia tidak dapat memperoleh komisi sampai ia mampu membukukan penjualan sebesar minimal 12 ribu Dollar AS,  karena pada saat itulah perusahaan mencapai titik impas atas semua fasilitas dan ruang kantor yang mereka berikan kepadanya.Menghadapi hal tersebut, Waks mengatakan ia lebih suka tidak mendapatkan tunjangan dan hanya mendapat gaji lebih tinggi, namun manajernya mengatakan hal itu tidak mungkin.

Video Waks menuai berbagai reaksi. Ada, yang setuju, ada yang tidak. Terlepas dari hal tersebut, rasanya semua sepakat dengan reputasi Google sebagai perusahaan kelus dunia dengan segala kompensasinya yang di atas rata-rata. Meski demikian, tetap saja ada yang tidak puas, bahkan membongkar apa yang ia sebut sebagai “sisi gelap”.

Apa artinya? Gagasan tentang tempat kerja yang sempurna atau terbaik bersifat subjektif dan dapat sangat bervariasi tergantung pada preferensi, kebutuhan, dan prioritas individu masing-masing. Apa yang mungkin dianggap sempurna bagi seseorang, bisa jadi jauh dari ideal bagi orang lain. Ada yang ingin bekerja di perusahaan yang memiliki pengembangan karier seluas-luasnya, namun ada juga yang tidak. Ada yang memandang besaran gaji dan bonus sebagai segala-galanya. Namun ada pula yang lebih mementingkan work-life balance.

Mengenal Work Life Balance: Definisi, Manfaat dan Cara Menerapkan di Era Digital

Potensi Sisi Gelap

Baca :   Ada Apa dengan Brown Nosing?

Sisi gelap dari perusahaan-perusahaan “terbaik” sering kali melibatkan aspek operasi, praktik, atau dampaknya yang kurang terlihat atau jarang dibicarakan. Ada banyak sisi gelap perusahaan-perusahaan ini, mulai dari praktik ketenagakerjaan, kepedulian terhadap lingkungan, dominasi pasar, keamanan data pribadi, etika, dan dampak terhadap komunitas,

Banyak perusahaan mendapat sorotan tajam akibat praktik ketenagakerjaan yang ekspoitatif. Hal ini jamak terjadi pada posisi berupah rendah atau di negara-negara dengan peraturan ketenagakerjaan yang longgar. Permasalahan seperti upah rendah, jam kerja yang panjang, kondisi kerja yang tidak aman, dan tunjangan yang terbatas telah dilaporkan di berbagai industri,

Banyak perusahaan yang dinilai “terbaik’ sekalipun masih kurang peduli terhadap lingkungan. Bentuknya mulai dari proses manufaktur yang mencemari udara, konsumsi energi, produksi limbah, dan ekstraksi sumber daya. Misalnya, perusahaan teknologi membutuhkan energi dalam jumlah besar untuk menggerakkan pusat data, sementara perusahaan barang konsumsi berkontribusi terhadap polusi plastik melalui kemasan. Selain itu, beberapa perusahaan telah dikritik karena melakukan greenwashing. Mereka mengklaim ramah lingkungan, namun kenyataannya tidak demikian.

Perusahaan meraih sukses dengan cara berinovasi dan mendominasi pasar. Ini tentu bagus. Yang menjadi masalah adalah jika mereka terjebak pada perilaku antipersaingan. Misalnya dengan menjegal pesaing dengan cara yang tidak sehat.

Pada era digital, privasi dan keamanan data menjadi makin penting. Sayangnya, masih banyak yang tidak peduli terhadap perlindungan data pribadi. Akibatnya, informasi sensitive mudah tersebar. Privasi pengguna juga terganggu.

Baca :   Pro Kontra Experiential Hiring

Meski gagasan tentang etika selalu digemakan, nyatanya dugaan perilaku yang tidak etis masih banyak disuarakan. Misalnya dugaan praktik tercela terkait perpajakan, lobi, dan keterlibatan dalam strategi bisnis yang kontroversial.

Kehadiran perusahaan dapat berdampak positif atau negatif bagi komuitas sekitar. Di satu sisi, mereka membantu penciptaan lapangan kerja dan berkontribusi bagi ekonomi. Namun di sisi lain, perusahaan dapat pula ikut andil dalam penggusuran penduduk, dan memperburuk kesenjangan pendapatan. Dalam beberapa kasus, perusahaan dituduh mengeksploitasi sumber daya alam tanpa memberikan kompensasi yang memadai atau berkonsultasi dengan masyarakat lokal, sehingga menyebabkan degradasi lingkungan dan kerusuhan sosial.

Akhirnya, memang tidak ada perusahaan yang sempurna. Sebuah perusahaan mungkin baik di sastu sisi, namun kurang di sisi lainnya. Meski demikian, penting untuk mengevaluasi secara kritis praktik-praktik yang dijalankan dan mempertimbangkan implikasi sosial, lingkungan, dan etika dari segala sepak terjang perusahaan. Transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan pemangku kepentingan merupakan prinsip utama untuk mendorong perilaku yang bertanggung jawab.  Kesempurnaan memang tidak mungkin dicapai. Namun, usaha ke arah kesempurnaan harus terus digapai.

Kategori: Organization Development & behavior

#google

#yelp

#sisigelap

#greenwashing #datapribadi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait