Di dunia yang serba-digital saat ini, CV bukanlah satu-satunya patokan bagi perekrut. Dunia maya telah menjelma menjadi “informasi pertama” yang diam-diam menggambarkan kepribadian dan karakter kandidat. Jejak digital, atau social footprint, kini bukan sekadar arsip daring, melainkan juga penentu yang memengaruhi rekrutmen.
Bagi sebagian orang, jejak ini bisa menjadi tiket emas untuk meraih peluang karir. Namun, bagi yang lain, kesalahan dalam mengelolanya bisa membuat pintu kesempatan tertutup rapat.
Evolusi Rekrutmen
Dalam praktik rekrutmen masa kini, hampir semua departemen SDM di sebuah organisasi pernah mencari nama kandidat di Google, LinkedIn, atau media sosial lainnya. Survei CareerBuilder bahkan mengungkapkan bahwa lebih dari 70 persen perekrut memeriksa jejak digital kandidat di media sosial mereka sebelum memutuskan untuk menginterview mereka. Sebanyak 54 persen di antaranya mengurungkan niat mereka merekrut kandidat yang menampilkan konten yang dianggap tidak pantas. Sementara itu, sekitar 44 persen di antaranya mempertimbangkan untuk bersedia menerima kandidat yang menampilkan konten positif.
Alasannya sederhana: perusahaan tak hanya mencari kandidat dengan keterampilan teknis yang mumpuni, tetapi juga yang berintegritas dan cocok dengan budaya organisasi. CV mungkin menampilkan sisi formal dan terstruktur seperti riwayat pendidikan, pengalaman kerja, dan prestasi; sementara jejak digital sering kali memperlihatkan sisi yang lebih jujur dan autentik dari seorang kandidat. Misalnya terkait gaya berkomunikasi, cara berpikir, dan bagaimana kandidat berinteraksi dengan lingkungannya.
Menurut Society for Human Resources Management (SHRM), praktik penelaahan digital sebagai bagian dari pemindaian kandidat telah diakui secara global. Hal ini terutama untuk posisi yang berkaitan dengan reputasi, keamanan data, dan hubungan masyarakat. Namun, tentu saja penelaahan jejak digital ini tak terbatas pada posisi-posisi tersebut.
Misalnya, profil LinkedIn yang aktif membagikan artikel kepemimpinan bisa mencerminkan semangat pengembangan diri. Sebaliknya, unggahan yang penuh kebencian, foto tidak pantas, atau sikap impulsif di media sosial menimbulkan persepsi negatif.
Social Footprint: Lebih dari Sekadar Mencari Kesalahan
Pemeriksaan social footprint tidak hanya bertujuan mencari kesalahan, tetapi juga sebagai upaya untuk menilai reputasi digital kandidat secara komprehensif. Dalam perekrutan, hal ini biasanya meliput profil profesional; konten di media sosial seperti Instagram atau TikTok yang mendukung atau justru merusak citra profesional; kontribusi dalam komunitas digital — apakah kandidat aktif berdiskusi, menulis, atau berbagi ilmu di bidangnya; dan hasil pencarian di Google — apakah ada berita atau informasi negatif terkait kandidat. Intinya, social footprint menggambarkan bagaimana sepak terjang seseorang di dunia digital. Saat ini, jejak digital makin sulit disembunyikan.
Jejak Digital yang Membuka Pintu Peluang

Tidak semua jejak digital berisiko. Bagi kandidat yang cerdas, social footprint justru bisa menjadi alat branding diri yang ampuh.
Banyak profesional yang sengaja membangun portofolio digital melalui tulisan di LinkedIn, berbagi pengalaman proyek, atau mengumumkan hasil riset. Hal ini tidak hanya menunjukkan kompetensi, tetapi juga pola pikir berkembang (growth mindset).
Beberapa perusahaan bahkan melihat aktivitas online positif sebagai nilai tambah. Contohnya, seorang marketing specialist yang aktif menganalisis tren di media sosial menunjukkan kemampuan berpikir strategis. Contoh lainnya adalah seorang data analyst yang rajin menulis thread analisis data menunjukkan kemampuan komunikasi yang mungkin tak terlihat di CV.
Dalam konteks employer branding, kandidat dengan jejak digital positif juga dapat menjadi “duta merek” yang memperkuat citra perusahaan.
Efek Bumerang Jejak Digital
Jejak digital itu kejam. Begitlah bunyi sebuah adagium yang populer. Begitu sesuatu diunggah, akan sulit menghapusnya sepenuhnya. Banyak kandidat yang gagal mendapat pekerjaan karena jejak masa lalunya — entah itu komentar diskriminatif, foto tidak pantas, atau konflik dengan atasan yang diumbar di media sosial.
Bagi perusahaan, hal ini bukan hanya tentang reputasi individu, tetapi juga risiko reputasi organisasi. Karyawan adalah perwakilan perusahaan, sehingga nilai-nilai pribadi mereka harus selaras dengan nilai-nilai organisasi.
Namun, praktik ini juga memunculkan dilema etika: sejauh mana perusahaan boleh menyelidiki kehidupan pribadi kandidat? Di sinilah pentingnya kebijakan yang transparan dan proporsional.
Agar penelaahan jejak digital tidak melanggar privasi, perusahaan perlu memegang prinsip-prinsip transparansi, relevansi, konsiderasi, dan keseimbangan. Transparansi artinya memberi tahu kandidat bahwa jejak digital akan diperiksa sebagai bagian dari seleksi.
Relevansi artinya berfokus pada konten yang berkaitan dengan kinerja profesional, bukan kehidupan pribadi. Konsiderasi berarti tidak semua konten negatif mencerminkan karakter saat ini. Keseimbangan artinya sejauh mana resiko reputasi mengalahkan potensi kandidat untuk berkontribusi, pun sebaliknya.
Membangun Jejak Digital yang Positif

Bagi kandidat, mengelola social footprint kini menjadi keterampilan karir yang penting. Bagaimanakah caranya?
- Penting untuk menghapus konten yang tidak menguntungkan.
- Berikutnya, memperkuat profil. Misalnya dengan cara membuat tulisan atau video tentang hal-hal bermanfaat bagi khalayak. Lakukanlah secara konsisten.
- Pisahkanlah akun pribadi dan profesional. Hindarilah konten bermasalah. Jangan sekali-kali membuat komentar sarkastik, diskriminatif, sensistif, dan rentan disalahpahami.
- Berkontribusilah secara positif. Misalnya menjadi sukarelawan untuk menolong orang-orang yang kurang beruntung, berdiskusi, berbagi wawasan, atau menghadiri seminar (baik online maupun offline).
Dalam lanskap kerja masa kini, reputasi digital bukan lagi pelengkap, melainkan aset penting dalam berkarir. Social footprint telah menjadi modal tak kasat mata yang menentukan kredibilitas kandidat. Terlebih dengan maraknya kerja jarak jauh dan kolaborasi global, jejak digital sering kali menjadi “referensi terbuka” yang menggantikan rekomendasi konvensional. Artinya, setiap unggahan, komentar, dan interaksi online adalah aset (atau beban) untuk masa depan karir kandidat.
#social footprint #jejak digital #rekrutmen #media sosial #reputasi #profil profesional #portofolio digital #employer branding #etika #privasi
Related Posts:
Belenggu Emas: Strategi Retensi Karyawan atau Belenggu Karir?
Naik Jabatan atau Perluas Keahlian? Dilema Karir Karyawan Masa Kini
Menyelaraskan Kenaikan Gaji dengan Kinerja: Strategi SDM yang Efektif
Talent Development: Membangun Kompetensi Melalui Soft Skills dan Project Management
Psikotes Saja Tidak Cukup: Pentingnya Mentorship dan Reverse Mentoring dalam Mengelola Talenta