Skandal dan Budaya Perusahaan

Skandal dan Budaya Perusahaan

Skandal dan Budaya Perusahaan. Ini kisah tentang Wells Fargo pada 2016 tahun lalu. Hingga tahun itu, salah satu bank terbesar di Amerika Serikat (AS) ini memecat lebih dari 6 ribu karyawannya lantaran terlibat dalam praktik curang pembuatan rekening fiktif yang merugikan nasabah.

Mengutip liputan6.com, regulator menyatakan karyawan Wells Fargo secara diam-diam membuat jutaan rekening bank dan kartu kredit palsu tanpa diketahui oleh konsumen. Praktik ini sendiri sudah terjadi sejak 2011. Alhasil, konsumen Wells Fargo di seluruh dunia harus membayar biaya bank yang sebenarnya bukan merupakan kewajiban mereka. Cakupan dari skandal ini mengejutkan. Sebuah analisis menunjukkan bahwa karyawan telah membuka 1,5 juta rekening palsu yang tidak sah.

Pada tahun 2017, sebuah laporan tentang penipuan Wells Fargo menyimpulkan bahwa akar penyebab kegagalan praktik penjualan adalah distorsi budaya penjualan dan sistem manajemen kinerja bank, yang bila dikombinasikan dengan manajemen penjualan yang agresif, menciptakan tekanan pada karyawan untuk menjual. produk yang tidak diinginkan atau tidak dibutuhkan oleh pelanggan dan, dalam beberapa kasus, membuka rekening yang tidak sah.

Meski terjadi hampir satu dekade yang lalu, pelajaran yang dapat diambil dalam kasus Wells Fargo ini tetap relevan. Budaya perusahaan memegang peranan penting dalam membentuk perilaku dan tindakan individu dalam organisasi. Budaya perusahaan yang positif dan etis dapat menyuburkan transparansi, integritas, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab, Sebaliknya, budaya perusahaan yang cacat dapat menyebabkan kegagalan atau skandal perusahaan. Penelitian oleh Healy dan Serafein menunjukkan bahwa banyak kegagalan atau skandal perusahaan di seluruh dunia sebagian disebabkan oleh budaya perusahaan yang cacat.

Baca :   The Threat of Gatekeeping

Bagaimana Budaya Organisasi Menimbulkan Skandal?

Sebuah skandal dalam organisasi tidak terjadi begitu saja, tetapi merupakan hasil dari proses budaya yang melahirkan perilaku-perilaku negatif. Apa sajakah perilaku-perilaku negatif tersebut?

Yang utama adalah kurangnya kepedulian terhadap etika. Akibatnya, karyawan ikut-ikutan bersikap masa bodoh terhadap perilaku yang tidak etis. Praktik-praktik kecurangan, korupsi, dan ketidakjujuran merebak. Untuk mengatasinya, sikap nol toleransi (zero tolerance) terhadap setiap perilaku tercela harus diterapkan dengan sungguh-sungguh. Termasuk menindak tegas orang-orang yang bertanggung jawab tanpa pandang bulu. Terkait hal ini, menurut Mishina, investor akan lebih bersedia memaafkan perrusahaan yang terlibat skandal jika perusahaan tersebut mau mencopot eksekutif puncak yang terlibat skandal dari posisinya.

Budaya yang mengagung-agungkan target jangka pendek dapat mendorong karyawan melakukan tindakan tercela berdasarkan prinsip: yang penting tujuan tercapai. Tak heran jika dalam budaya seperti ini rentan terjadi manipulasi keuangan dan pelaporan yang menyesatkan. Inilah yang terjadi di Wells Fargo.

Banyak karyawan memilih bungkam kendati tahu ada praktik-praktik tercela dalam perusahaan. Alasannya? Ketakutan akan pembalasan akibat membongkar tindakan tidak etis. Akibatnya, mereka mencari keamanan dan keselamatan sendiri. Pembiaran ini tentu saja mengakibatkan tindakan tercela semakin merajalela.

Minimnya akuntabilitas dalam organisasi mengakibatkan orang merasa aman berbuat sesukanya lantaran tiadanya sanksi yang membawa efek jera.   Akibatnya, aturan tak lagi dipedulkan.  

Kepemimpinan berperan penting dalam budaya organisasi. Merekalah yang menjadi contoh berperilaku bagi karyawannya.  Jika pemimpin memelopori perilaku tidak etis, hal ni akan menjadi contoh buruk bagi semua karyawan serta  dapat mengarah pada budaya yang menoleransi atau bahkan mendorong pelanggaran.

Baca :   Mengatasi Kelelahan Digital (Digital Fatigue)

Dalam sebuah organisasi, persaingan dalam dosis yang tepat adalah baik demi memotivasi orang agar berbuat yang terbaik. Namun, jika budaya perusahaan memupuk persaingan tidak sehat di antara karyawan atau departemen, individu mungkin melakukan praktik yang tidak etis untuk mendapatkan keunggulan kompetitif. Persaingan yang berlebihan juga bisa mengakibatkan hal yang sama.

Tak Cukup Ganti Pemimpin

Budaya yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas mutlak wajib dimiliki guna membentengi organisasi dari skandal. Ini adalah solusi jangka panjang. Artinya, untuk mengatasi skandal, penggantian pemimpin, struktur, dan sistem dalam organisasi memang penting. Namun tanpa budaya yang kuat, positif, dan etis, semua itu menjadi kurang bermakna. Apa yang terjadi di BP bisa jadi pelajaran. Dari empat CEO terakhir yang menjabat di perusahaan raksasa minyak dan gas asal Inggris itu, tiga orang harus berhenti secara tidak terhormat. Yang terakhir adalah Bernard Looney. Ia mengundurkan diri setelah mengakui bahwa dia gagal merinci sepenuhnya hubungan dengan rekan-rekannya. Sebelumnya, Lord Browne mengundurkan diri pada 2007 setelah didapati berbohong di pengadilan guna menyembunyikan detail tentang kehidupan pribadinya. Penggantinya, Tony Hayward dipaksa berhenti setelah kejadihan tumpahan minyak Deepwater Horizon. Menanggapi fenomena ini, banyak yang sepakat masalahnya terletak pada budaya kerja di BP. Artinya, siapa pun yang memimpin BP akan rentan terjebak pada skandal jika budaya organisasinya tidk berubah.

Baca :   PHK Karyawan Gen Z : Bagaimana Mengikis Stigma Gen Z?

 Lantas, apa yang dapat dilakukan organisasi dalam rangka membentuk budaya yang dapat menjadi perisai dari skandal? Perlu dipahami terlebih  dahulu bahwa meski kepemimpinan bukanlah satu-satunya faktor pencegah skandal, bukan berarti  pemimpin tidak penting. Perlu dipilih pemimpin yang jujur dan berintegritas.

Namun, penggantian pemimpin hanyalah langkah awal. Perlu diikuti kebijakan-kebijakan lanjutan. Apa sajakah? Pertama, menanamkan pemahaman kepada karyawan bahwa setiap pelanggaran hukum dan etika bukan hanya akan merugikan perusahaan, melainkan juga pribadi kayawan. Organisasi dapa menunjukkan sekian banyak kasus tentang kerugian perusahaan akibat skandal.

Organisasi harus menanggapi secara serius segala pengaduan tentang kemungkinan pelanggaran hukum dan etika. Selain untuk mencegah dampak buruk pelanggaran,  hal ini dapat membentengi orang-orang baik agar tidak tertular melakukan pelanggaran pula. Di samping itu,, para pelapor pelanggaran (whistleblower) harus mendapatkan perlindungan dari aksi balas dendam, bahkan bila perlu mendapatkan insentif.

Perusahaan harus memastikan adanya komunikasi yang jelas kepada karyawan mengenai perilaku yang tidak dapat ditoleransi, dan bertindak tegas dan konsisten terhadap pelanggaran yang mungkin dilakukan tanpa pandang bulu.

Skandal dan Budaya Perusahaan. Untuk mencegah skandal, transparansi menjadi harga mati. Organisasi harus mendukung transparansi dengan menggunakan berbagai metode seperti mengungkapkan secara publik tindakan ilegal yang dilakukan oleh perusahaan beserta oknum-oknumnya.

#budayaperusahaan     

#wellsfargo             

#skandal       

#etika            

#bp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait