Jangan Remehkan Employee Disengagement

Menyiapkan SDM Menghadapi Krisis

Menyiapkan SDM Menghadapi Krisis. Krisis artinya keadaan yang berbahaya; keadaan yang genting; kemelut; dan keadaan suram (tentang ekonomi dan sebagainya). Krisis bisa terjadi kapan saja, dan sering disebabkan faktor-faktor di luar kendali perusahaan. Misalnya bencana alam seperti gempa bumi.

Krisis, termasuk yang terjadi di luar kendali perusahaan, tentunya mengganggu operasi perusahaan, memengaruhi kesejahteraan karyawan, bahkan mengancam kelangsungan bisnis serta hidup orang banyak. Karena itu, perusahaan wajib mempersiapkan karyawan menghadapi krisis dan bencana. Tujuannya untuk memastikan ketahanan organisasi, melindungi karyawan, dan meminimalkan gangguan bisnis.

Menyiapkan SDM Menghadapi Krisis

Pertama-tama, organisasi harus mengenali berbagai macam krisis. Sebenarnya, penyebab krisis bermacam-macam. Mulai dari bencana alam (banjir, gempa bumi, letusan gunung berapi, tsunami, angin topan), bencana teknologi (bocornya reaktor nuklir, serangan siber), bencana sosial (kerusuhan akibat gejolak sosial), jatuhnya nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing, dan pandemi (Covid-19). Setiap krisis memiliki dampaknya masing-masing. Pemahaman terhadap dampak ini penting agar persiapan menghadapi krisis bisa maksimal. Misalnya, bencana alam merusak bangunan dan pabrik, karyawan bisa terjebak di dalamnya. Pandemi mengganggu kesehatan sehingga karyawan tidak produktif. Serangan siber mengakibatkan bocornya data dan informasi sensitif. Berbekal tingginya kesadaran terhadap potensi krisis, organisasi dapat mengantispasi terjadinya krisis sesuai risiko dan kebutuhan spesifiknya.

Berikutnya, menyiapkan rencana untuk merespons berbagai macam krisis. Termasuk alokasi sumber daya, dan penanggung jawab respons. Rencana ini akan efektif jika ditunjang oleh prosedur komunikasi yang jelas, orang yang diberi peran dan tanggung jawab khusus, prosedur evakuasi, dan alokasi sumber dana. Karyawan harus tahu siapa yang bisa dihubungi, bagaimana mendapat informasi, dan saluran komunikasi yang bisa digunakan. Berilah tugas penanganan krisis kepada individu dan tim khusus. Pastikan tiap-tiap mereka tahu tugasnya masing-masing. Organisasi harus memiliki prosedur evakuasi. Pastikan karyawan paham dengan prosedur ini. Pastikan sumber daya seperti kotak pertolongan pertama, perlengkapan darurat, atau perangkat lunak keamanan siber mudah diakses. Ingatlah dalam penangan krisis, setiap detik sangat berharga.

Baca :   Career Pathing : Menyediakan Jalur Karier yang Jelas untuk Kandidat

Sebuah rencana hanya akan efektif jika dipahami dengan baik, untuk selanjutnya dibiasakan. Ini bisa dicapai melalui pelatihan. Sesi pelatihan rutin mengenai kesiapsiagaan dan respons darurat sangat penting untuk memastikan karyawan paham apa yang harus dilakukan jika terjadi bahaya.

Dalam situasi krisis, karyawan harus merasa berdaya membuat keputusan yang menjamin keselamatan diri sendiri dan rekan kerja mereka. Kembangkanlah budaya tanggung jawab sehingga karyawan tidak takut bertindak dalam keadaan darurat, baik itu memulai evakuasi atau mencari bantuan. Dengan memberdayakan karyawan, daya tahan perusahaan akan naik. Jika terjadi krisis, perusahaan lebih cepat menyesuaikan diri.

Akibat krisis, orang panik. Alat komunikasi terganggu. Misinformasi, bahkan hoak, kerap tersebar. Hal-hal ini harus diantisipasi. Organisasi harus membangun lebih banyak saluran komunikasi agar informasi yang benar dan akurat bisa tersebar lebih cepat. Karyawan harus terus mendapat informasi tentang apa yang terjadi, termasuk hal-hal yang harus dilakukan sesuai perkembangan situasi.

Dampak krisis tak kalah berbahayanya dengan krisis itu sendiri. Dalam menjalani proses pemulihan, karyawan butuh dukungan. Banyak yang mengalami cedera fisik dan guncangan mental. Organisasi dapat menyediakan layanan fisik dan mental untuk pemulihan, bantuan keuangan, dan pengaturan kerja yang lebih fleksibel.

Pada akhirnya, persiapan menghadapi situasi darurat bukanlah soal penyusunan prosedur semata. Budaya resiliensilah yang terpenting. Budaya resiliensi berkembang manakala karyawan merasa didukung, dihargai, dan percaya diri menghadapi tantangan. Pimpinan perusahaan harus berkomitmen terhadap manajemen krisis, apatah lagi keselamatan karyawan.

Setelah krisis berlalu, organisasi harus mengevaluasi hal-hal yang sudah baik serta hal-hal yang masih bisa ditingkatkan. Tujuannya agar organisasi makin tangguh menghadapi tantangan.

Tanggap Bencana Ala Waffle House

Soal mempersiapkan karyawan menghadapi krisis ini, kita bisa belajar dari Waffle House. Waffle House adalah adalah jaringan restoran Amerika dengan lebih dari 2000 lokasi di 25 negara bagian di Amerika Serikat (AS). Lokasi restoran Waffle House sebagian besar berada di barat tengah (midwest) dan selatan. Sebagian besar menu yang ditawarkan adalah khas daerah selatan. Waffle House berkantor pusat di Norcross, Georgia, di wilayah metropolitan Atlanta.

Baca :   PHK Karyawan Gen Z : Bagaimana Mengikis Stigma Gen Z?

Banyak restoran Waffle House beroperasi di daerah yang sering dilanda badai. Namun hebatnya, Waffle House adalah salah satu dari empat perusahaan teratas, bersama dengan Walmart, The Home Depot, dan Lowe’s, untuk tanggap bencana. Demikian menurut Federal Emergency Management Agency (FEMA), semacam BNPB di Indonesia. Waffle House memiliki rencana penanggulangan bencana yang menyeluruh dengan generator di lokasi dan portabel, serta menempatkan makanan dan es sebelum terjadinya peristiwa cuaca buruk seperti badai. Ini membantu mengurangi dampak badai pada jaringan listrik dan rantai pasokan. Perusahaan menyiapkan “tim penyelamat” yang terdiri dari staf pemulihan dan perlengkapan, yang didatangkan dari luar daerah yang terkena bencana, sehingga staf lokal dapat fokus membantu rumah dan keluarga mereka sendiri. Kemampuan Waffle House untuk tetap buka setelah badai hebat, mungkin dengan menu terbatas, digunakan oleh FEMA sebagai ukuran pemulihan bencana yang dikenal sebagai Waffle House Index.

Lantas, apa yang dilakukan Waffle House dalam rangka menyiapkan karyawannya menghadapi bencana? Waffle House membuat rencana tanggap bencana komprehensif. Rencana ini untuk mengantisipasi dan menghadapi badai. Waffle House memantau kondisi cuaca dan bekerja sama dengan para ahli meteorologi untuk memprediksi potensi dampak badai. Hal ini memungkinkan perusahaan untuk mengaktifkan respons krisis lebih awal, sehingga karyawan memiliki waktu untuk mempersiapkan diri baik di tempat kerja maupun di rumah.

Jika badai besar diprediksi akan terjadi, Waffle House memberikan panduan yang jelas bagi karyawan tentang prosedur evakuasi, tempat berlindung, dan protokol keselamatan. Perusahaan menjadikan keselamatan sebagai prioritas utama, memastikan bahwa karyawan tidak diharuskan bekerja dalam kondisi berbahaya.

Waffle House menimbun sumber daya menyiapkan “perlengkapan badai” di lokasi. Ini terdiri dari peelengkapan darurat dan peralatan keselamatan karyawan.

Baca :   Turnover Contagion: Menyikapi Gelombang Pengunduran Diri yang Mengancam Stabilitas Tim

Waffle House dikenal melatih karyawannya untuk menangani keadaan darurat dengan tenang dan efektif. Karyawan mendapat pelatihan khusus tentang apa yang harus dilakukan jika badai melanda. Pelatihan ini mencakup cara mengaktifkan rencana darurat, melindungi diri sendiri, dan membantu operasi restoran dalam kondisi ekstrem.

Waffle House berkomitmen untuk tetap beroperasi selama bencana. Hal ini sudah menjadi bagian identitas perusahaan yang didirikan pada 1955 itu. Namun bukan berarti keselamatan karyawan doikorbankan. Justru sebaliknya. Perusahaan mempunyai strategi khusus menjaga keselamatan karyawan dan pelanggan sekaligus menyediakan layanan penting selama krisis. Pertama, menurunkan skala operasi dengan menyediakan layanan yang lebih terbatas. Ini bertujuan mengurangi beban karyawan. Kedua, merotasi karyawan dan menawarkan tempat berteduh. Jika karyawan terjebak dan tidak bisa pulang, perusahaan memiliki pengaturan untuk melindungi mereka di lokasi yang aman. Dalam beberapa kasus, karyawan dirotasi secara untuk memastikan tidak ada yang bekerja selama badai terburuk.

Waffle House mengutamakan komunikasi sebagai bagian dari rencana daruratnya. Perusahaan menggunakan beberapa saluran untuk tetap berhubungan dengan karyawan dan memberikan informasi terkini secara langsung. Karyawan harus melaporkan keberadaan dan kondisinya masing-masing. Waffle House aktif memantau lokasi karyawan guna memastikan keselamatan mereka.

Pascabencana, Waffle House membantu pemulihan karyawan melalui bantuan finansial dan dukungan kesehatan mental bagi yang mengalami trauma dan stres. Selain itu, Waffle House aktif dalam upaya pemulihan masyarakat, bekerja sama dengan organisasi lokal untuk membantu menyediakan makanan dan layanan di daerah yang terkena dampak. Dengan upaya ini, karyawan memiliki sense of purpose dan solidaritas lantaran turut membantu masyarakat dalam pemulihan.

Menyiapkan SDM Menghadapi Krisis

Kategori: Human Capital & Talent Management

#krisis

#bencana

#respons

#budaya tanggung jawab

#komunikasi

#pelatihan

#resiliensi

#waffle house

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait