Mengapa Skeptisisme Terhadap Keberlanjutan? Cek Mitos atau Fakta

Mengapa Skeptisisme Terhadap Keberlanjutan? Cek Mitos atau Fakta

Di era modern ini, isu keberlanjutan (sustainability) makin marak didiskusikan. Mulai dari perubahan iklim, kerusakan lingkungan, hingga krisis sumber daya alam. Semuanya itu menjadi pengingat bahwa planet kita sedang sakit. Namun, di tengah seruan untuk bertindak, masih banyak orang yang skeptis terhadap upaya keberlanjutan. Tak terkecuali dunia usaha. Mengapa demikian?

Mengapa Skeptisisme Terhadap Keberlanjutan? Cek Mitos atau Fakta

Salah satu alasan utama skeptisisme terhadap keberlanjutan adalah kekhawatiran ekonomi. Banyak orang yang skeptis berpendapat bahwa praktik berkelanjutan, khususnya yang berkaitan dengan energi terbarukan dan konservasi, tidak layak secara ekonomi. Mereka menunjukkan biaya awal yang lebih tinggi terkait dengan teknologi ramah lingkungan, seperti panel surya dan turbin angin, dibandingkan dengan bahan bakar fosil tradisional. Bagi dunia usaha dan konsumen, investasi awal yang diperlukan untuk solusi berkelanjutan dapat menjadi hal yang mengerikan.

Alasan berikutnya terkait dengan tujuan dasar didirikannya perusahaan: Keuntungan. Beberapa perusahaan khawatir bahwa praktik berkelanjutan dapat berdampak negatif terhadap profitabilitas mereka. Mereka mungkin khawatir bahwa biaya yang terkait dengan keberlanjutan dapat mengurangi daya saing mereka atau menyebabkan harga yang lebih tinggi bagi konsumen.

Tidak semua perusahaan berpikir untuk jangka panjang. Banyak bisnis yang memprioritaskan kinerja keuangan jangka pendek dibandingkan keberlanjutan jangka panjang. Laporan pendapatan triwulanan dan ekspektasi pemegang saham sering kali mendorong perusahaan untuk fokus pada hasil jangka pendek dibandingkan keuntungan jangka panjang.

Baca :   Kisah Inspiratif Pengusaha Lokal: Hamzah Sulaiman: Sang Visioner di Balik Keunikan Raminten

Perusahaan mungkin merasa tidak yakin mengenai peraturan di masa depan terkait keberlanjutan. Mereka mungkin ragu untuk berinvestasi dalam inisiatif keberlanjutan jika tidak ada kerangka peraturan yang jelas dan konsisten.

Ada pasar tertentu di mana permintaan terhadap produk-produk ramah lingkungan tergolong rendah. Perusahaan mungkin skeptis terhadap laba atas investasi dalam keberlanjutan jika mereka yakin pelanggan mereka tidak bersedia membayar mahal untuk produk ramah lingkungan.

Meski banyak digaungkan, dalam pelaksanaannya sustainability tidaklah sesederhana yang dibayangkan. Apa pengetahuan serta keahlian khusus yang harus dipelajari. Perusahaan mungkin akan skeptis jika mereka tidak memiliki pemahaman atau sumber daya yang diperlukan untuk menerapkan langkah-langkah keberlanjutan yang efektif.

Tuduhan greenwashing, meski menimpa perusahaan lain, bisa saja membuat seuah bisnis trauma. Akibatnya, bisnis tersebut menjadi skeptis. Greenwashing adalah praktik di mana perusahaan atau organisasi memberikan kesan palsu atau menyesatkan tentang bagaimana produk, layanan, atau kebijakan mereka ramah lingkungan. Tujuan dari greenwashing adalah untuk menarik konsumen yang peduli terhadap lingkungan dan meningkatkan citra perusahaan tanpa benar-benar melakukan tindakan yang signifikan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan.

Penolakan terhadap perubahan jamak terjadi di banyak organisasi. Jika budaya perusahaan berakar kuat pada praktik tradisional, mungkin terdapat skeptisisme internal dan penolakan terhadap penerapan pendekatan berkelanjutan.

Baca :   PHK Karyawan Gen Z : Bagaimana Mengikis Stigma Gen Z?

Perusahaan mungkin tidak yakin mengenai dampak sustainability itu sendir. Keberhasilannya boileh jadi sulit dukur. Dampaknya, perusahaan menjadi ragu.

Masihkah Tetap Skeptis?

Pertanyaannya, apakah skeptisisme di atas tepat? Perlu dipahami terlebih dahulu bahwa salah satu ciri perusahaan yang mampu bertahan lama adalah orientasi jangka panjang. Dengan kata lain, tatkala membuat kebijakan atau strategi, perusahaan macam ini senantiasa memikirkan dampak dari kebijakan dan strategi tersebut dalam jangka panjang. Demi hal tersebut, mereka rela mengorbankan kesenangan jangka pendek.

Lantas bagaimanakah kaitannya dengan sustainability? Tak dapat dimungkiri, investasi awal untuk menerapkan sustainability memang besar nilainya. Tingkat pengembaliannya pun tidak langsung didapatkan. Hal ini tentu memberatkan perusahaan, khususnya perusahaan menengah, apalagi kecil. Meski demikian, dalam jangka panjang, praktik berkelanjutan sering kali menghasilkan penghematan biaya melalui peningkatan efisiensi, pengurangan limbah, dan penghematan energi.

Beralih ke praktik-praktik bisnis yang sustainable pada awalnya memang mengurangi keuntungan dan mengganggu model bisnis. Namun, seiring meningkatnya permintaan konsumen terhadap produk berkelanjutan, bisnis yang mengadopsi keberlanjutan sejak dini dapat memperoleh keunggulan kompetitif dan mengakses pasar baru.

Soal regulasi, harus diakui hal ini sering berubah, tidak konsisten. Apatah lagi di negara-negara berkembang. Namun, hal ini seharusnya tidak menghalangi perusahaan untuk turut berkontribusi menyehatkan bumi. Justru sebaliknya, perusahaan harus menjadi pelopor. Dengan demikian, mereka dapat melindungi bisnis di masa depan terhadap potensi perubahan peraturan, bahkan menjadi pemimpin industri.

Baca :   Mendobrak Silo Mentality Melalui Mobilitas Talenta

Permintaan terhadap produk-produk berkelanjutan, misalnya kendaraan Listrik, memang masih terbatas. Tak eran bila perusahaan enggan berinvestasi untuk keberlanjutan. Namun jangan lupa bahwa kesadaran serta permintaan konsumen terhadap produk-produk yang sustainable makin meningkat. Perusahaan yang mampu mengantisipasi tren ini justru akan meraih manfaat jangka panjang pada masa depan.

Keberlanjutan memerlukan pengetahuan dan keahlian khusus yang mungkin kurang di beberapa organisasi. Ada benarnya. Meski demikian, saat ini terdapat banyak sumber daya, program pekatihan, dan kolaborasi industri untuk membantu perusahaan menjembatani kesenjangan pengetahuan ini.

Bagaimana caranya menghadapi tuduhan greenwashing? Tidak ada cara lain kecuali dengan menunjukkan bukti nyata. Konsistensi terhadap etika harus dijunjung tinggi. Dengan kata lain, perusahaan harus menunjukkan bahwa pihaknya memang tulus untuk mewujudkan sustainability. Tanpa berkoar-koar, konsumen akhirnya akan paham.

Kategori: Innovation & Sustainability

#keberlanjutan

#sustainability

#skeptisisme

#greenwashing

#jangkapanjang

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait