Lipstick Effect

Lipstick Effect dalam Segelas Matcha

Di tengah badai ekonomi yang masih berlangsung, ada satu fenomena menarik yang sering terlewat dari perhatian. Saat harga kebutuhan pokok terus melambung, pengangguran mengkhawatirkan, dan ketidakpastian finansial menghantui tanpa henti, secangkir matcha latte seharga 50 ribu Rupiah tetap laris terjual di kafe-kafe kota besar. Ini mungkin terdengar tidak masuk akal, tetapi inilah gambaran nyata dari “lipstick effect” dalam perilaku konsumen masa kini.

Efek lipstik adalah fenomena konsumen yang  tetap membelanjakan uang untuk barang-barang kecil meskipun sedang menghadapi resesi, krisis ekonomi, atau keterbatasan keuangan pribadi. Meski tidak mampu membeli produk mahal, banyak orang masih rela mengeluarkan uang untuk barang-barang premium berharga terjangkau, seperti lipstik berkualitas tinggi. Karena itulah, bisnis yang diuntungkan oleh lipstick effect cenderung tetap stabil bahkan di tengah kondisi ekonomi yang sulit.

Leonard Lauder, pimpinan Estée Lauder, mencatat bahwa setelah peristiwa 11 September 2001 perusahaannya menjual lebih banyak lipstik daripada biasanya. Akibatnya, ia berteori bahwa lipstik merupakan indikator ekonomi yang bertolak belakang.

Matcha, “Lipstik”nya Generasi Burnout

Namun, lipstik tak lagi menjadi satu-satunya simbol produk lux yang berjaya di tengah lesunya perekonomian. Kini, segelas matcha dengan foam cantik dan cangkir bergaya minimalis pun bisa menjadi ‘lipstik’ baru.

Matcha bukan minuman biasa. Ia telah berubah menjadi lambang gaya hidup: alami, sehat, elegan, dan penuh ketenangan. Dibungkus dengan cerita tentang kesadaran diri (mindfulness) dan keseimbangan hidup, matcha menarik perhatian masyarakat urban yang lelah—ingin hidup sehat tetapi tak punya waktu, ingin tenang namun terperangkap dalam kesibukan yang tak ada habisnya.

Baca :   Velocity TikTok dan Gen Z: Kreativitas atau Kepuasan Instan?

Dalam fenomena lipstick effect, secangkir matcha hadir sebagai “pelarian sesaat” yang terjangkau. Harganya tidak menguras dompet, tapi cukup untuk membuat seseorang merasa sedang merawat diri, mencintai diri sendiri, atau sekadar memberi ‘hadiah kecil’ setelah melewati pekan yang melelahkan.

Simbol Baru Afirmasi Diri

Lipstick Effect

Pada dasarnya, manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya rasional. Keputusan membeli sering kali dipengaruhi oleh emosi, persepsi, dan harapan. Matcha hadir sebagai simbol self-care, menjadi oase penyegar di tengah tekanan pekerjaan dan kabar buruk tentang pemutusan hubungan kerja (PHK).

Awalnya, istilah “lipstick effect” hanya terkait produk kecantikan, tetapi kini maknanya meluas ke berbagai konsumsi kecil yang memberikan kepuasan instan. Mulai dari kopi spesialti, skincare dalam kemasan sachet, hidangan mewah berukuran kecil, hingga langganan streaming seharga 49 ribu rupiah per bulan. Semua itu memiliki kesamaan: harganya terjangkau, tetapi memberi kepuasan tersendiri.

Secangkir matcha pun membawa cerita serupa. Minuman ini seolah menggantikan posisi lipstik sebagai simbol. Bukan karena perempuan tidak lagi memakai lipstik, melainkan karena ekspresi self-worth kini lebih beragam. Di tengah budaya urban yang semakin peduli kesehatan dan wellness, membeli minuman sehat menjadi bentuk baru dari afirmasi diri.

Baca :   Mewujudkan Profesionalisme Koperasi Merah Putih

Bukan Harga, Tapi Emosi

Bagi perusahaan, fenomena lipstick effect memberikan pelajaran berharga. Di tengah krisis, konsumen tidak sepenuhnya berhenti berbelanja—mereka hanya menjadi lebih selektif dan lebih menghargai nilai emosional di balik setiap pembelian. Justru, produk-produk kecil yang mampu menyentuh sisi psikologis, personal, dan estetika memiliki peluang besar untuk berkembang.

Produk yang sukses tak sekadar memenuhi kebutuhan dasar, tetapi juga memberikan nilai lebih secara emosional, simbolis, dan sosial. Segelas matcha tidak hanya sekadar menghilangkan haus, melainkan juga menjadi cerminan identitas, gaya hidup, dan aspirasi seseorang.

Ketika ekonomi berkembang pesat, konsumen mungkin mengejar impian besar seperti membeli mobil, rumah, atau berlibur ke luar negeri. Namun, di saat ekonomi sulit, mereka tetap mencari kepuasan melalui hal-hal kecil. Di sinilah efek “lipstick effect” muncul.

Strategi Emosional di Tengah Ketidakpastian

Dalam situasi yang demikian itu, strategi apa yang dapat dijalankam?

1. Hadirkan kemewahan yang terbeli

Buatlah produk kecil namun bermakna. Kemasan yang menarik, kualitas premium, dan cerita yang kuat dapat menciptakan kesan mewah dengan harga yang tetap masuk akal. Fenomena lipstick effect menunjukkan bahwa konsumen cenderung mencari bentuk kemewahan kecil yang masih dapat dijangkau di masa sulit.

2. Manfaatkan kekuatan penceritaan

Apa alasan orang lebih senang menikmati matcha dibandingkan teh biasa? Karena ada cerita di baliknya: tradisi Jepang, kandungan antioksidan tinggi, dan efeknya yang menenangkan. Bangun narasi yang otentik untuk memperkuat nilai emosional produk dan menghubungkannya dengan dorongan psikologis seperti dalam lipstick effect.

3. Sentuh sisi emosional pelanggan

Konsumen saat ini tidak hanya membeli karena kebutuhan, tetapi juga karena ingin merasa dihargai. Bahasa pemasaran yang empatik, inklusif, dan personal akan lebih efektif daripada sekadar menawarkan potongan harga.

Baca :   Apakah Penampilan Memengaruhi Karier? Menyikapi Fenomena Beauty Privilege di Dunia Kerja

4. Bangun efek menenangkan

Ketika hidup diselimuti ketidakpastian, produk yang menawarkan ritual sederhana, seperti menyeduh matcha atau menikmati minuman dingin di sore hari, dapat menjadi sarana pemulihan psikologis bagi konsumen.

Namun di samping strategi yang telah dijelaskan di atas, ada satu hal yang tak kalah penting. Karyawan juga manusia, punya rasa punya hati. Ketika perusahaan menghadapi tekanan, mereka mungkin akan mencari “pelarian kecil” mereka sendiri—entah itu jam kerja yang fleksibel, ruang istirahat yang nyaman, atau sekadar tersedianya camilan sehat sebagai bentuk kecil dari lipstick effect. Organisasi harusnya menciptakan lingkungan yang sehat, baik fisik maupun mental.

Temukan berbagai insight bisnis menarik lainnya hanya di blog Jakarta Consulting Group.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait