Media sosial bagai pisau bermata dua, yaitu bisa menguntungkan sekaligus merugikan.
Bahkan sekalinya merugikan, tidak tanggung-tanggung, hilang triliunan rupiah. Itulah yang sedang dialami oleh Indofood. Polemik antara pendiri dua produsen mi instan terkemuka sedang menjadi topik hangat di media sosial.
Beberapa bulan yang lalu, menurut portal berita CNBC, perseteruan antara Mie Gaga versus Indomie mencuat di media sosial. Awalnya, sebuah video TikTok menyeret nama Komisaris PT Jakarana Tama yang merupakan produsen Mie Gaga, Djajadi Djaja. Di video tersebut, disebut-sebut Djajadi yang merupakan sosok di balik kehadiran Indomie, bertikai dengan Sudono Salim, pendiri Grup Salim, pemilik brand Indomie sekarang ini.
Entah bagaimana, warganet yang mengomentari video tersebut langsung terbelah menjadi dua kubu, yaitu pendukung Indomie dan pendukung Mie Gaga yang saling menyerang. Sentimen warganet itu tidak hanya meramaikan perbincangan di kolom komentar, melainkan juga memengaruhi pergerakan saham PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) hingga saham melemah. Kapitalisasi pasar ICBP menghilang Rp5,83 triliun pada pertengahan September lalu. Meski Djajadi Djaja melalui akun Instagram @gaga100extrapedas mengaku tidak pernah membuat pernyataan soal perseteruan tersebut dan tidak ingin memberikan tanggapan apa pun terhadap informasi yang tengah beredar, nyatanya sentimen warganet telanjur mengguncang saham.
Baik buruknya media sosial pada perusahaan
Keberadaan media sosial di era modernisasi ini sebenarnya menguntungkan bagi sebuah organisasi. Media sosial bisa menarik pelanggan, mendapatkan umpan balik dari pelanggan dengan cepat, juga membangun loyalitas mereka. Selain itu, media sosial juga mampu meningkatkan jangkauan pasar, termasuk pasar internasional. Kemudian media sosial juga memudahkan bisnis melakukan riset pasar serta mengurangi biaya pemasaran. Terlebih lagi, media sosial juga dapat meningkatkan pendapatan dan mengembangkan merek perusahaan.
Namun, sisi lain media sosial cukup menjerumuskan. Apa pun itu, entah yang datang dari peretas, pelanggan yang mengeluh atau sekadar umpan balik dari apa yang diposting, konten ataupun komentar warganet yang negatif mampu meruntuhkan kepercayaan yang dibangun bertahun-tahun hanya dalam hitungan menit. Ada juga yang berpendapat bahwa sebenarnya media sosial mengancam reputasi perusahaan dengan cepat. Bahkan apabila hal ini tidak anggap serius, maka dampaknya buruk secara finansial maupun terhadap reputasi. Parahnya lagi, tidak jarang pula kabar miring atau berita palsu tersebar di media sosial yang mengancam perusahaan. Sebagai contoh, menurut kantor berita Inggris BBC, saham Metro Bank di Inggris sempat terjun bebas hingga 11 persen sebelum mereka menjawab rumor tentang kesulitan keuangan yang dihadapi mereka di media sosial.
Cepat tanggap tanpa terburu-buru
Apa pun alasannya atau serangannya di media sosial, perusahaan harus bereaksi secara cepat tanpa terkesan buru-buru. Tasha Eurich dari Harvard Business Review berpendapat bahwa meskipun umpan balik dari siapa pun itu dianggap semacam hadiah karena membuat kita memonitor kinerja sekaligus menjadi peringatan untuk melakukan perubahan penting, tetapi merespons umpan balik negatif itu tidak selalu mudah. Bahkan pada awalnya, hal itu membuat kita marah dan bersikap defensif.
Hal terpenting pertama kali dilakukan adalah manajemen umpan balik dengan selalu memonitor media sosial merek perusahaan. Bahkan apabila diperlukan, beberapa orang karyawan diminta untuk bertanggung jawab memonitor media sosial. Caranya adalah mempertimbangkan keluhan atau komentar yang memerlukan tindakan atau penyelidikan lebih lanjut. Kita harus memiliki proses mengidentifikasi dan memprioritaskan komentar yang paling mendesak, yang melibatkan hukum, keselamatan atau etika, atau yang memengaruhi sebagian besar pemangku kepentingan dan pelanggan. Pastikan memiliki prosedur untuk mengeskalasi dan menyelesaikan masalah ini, seperti siapa yang harus dihubungi, langkah yang harus diambil, dan bagaimana mengomunikasikan hasilnya. Para pemberi komentar harus ditindaklanjuti dengan pemberitahuan tentang tindakan yang diambil dan hasil yang dicapai. Setelah itu, merespons komentar negatif dengan cepat, yaitu dengan mendukung ulasan yang bagus dan reportase kabar baik perusahaan. Jadi, selalu pastikan untuk tidak mengabaikan komentar negatif.
Mengelola komentar negatif di media sosial selama krisis adalah merencanakan dan mempersiapkan diri untuk situasi di masa depan. Krisis lain yang akan terjadi tidak perlu ditunggu. Lebih baik, langkah antisipasi perlu diambil untuk mencegah potensi masalah atau risiko yang dapat memicu reaksi atau tanggapan negatif. Strategi, kebijakan dan pedoman media sosial perlu direvisi. Staf dan anggota tim Anda perlu dibekali keterampilan, alat dan sumber daya untuk menangani tanggapan negatif secara efektif dan profesional.
Filsuf Roman yang bernama Marcus Aurelius pernah menyatakan bahwa “apa pun yang kita dengar itu adalah pendapat, bukan fakta.” Maka dari itu, kita tidak bisa merespons umpan balik tanpa betul-betul memahaminya. Lalu koreksi yang berlebihan juga perlu dihindari, apalagi hanya berdasarkan pendapat satu atau dua orang. Sebaiknya, kita bertanya kepada beberapa sumber yang dapat dipercaya apakah mereka mengamati perilaku yang sama. Caranya adalah menciptakan satu focus group, yang bisa dipercaya untuk mengatakan kebenaran.
Di samping itu, pertahankan nada argumen yang baik. Hindari emosi terpancing dan tidak melontarkan argumen yang defensif mengingat hal itu akan memperburuk keadaan dan memperburuk reputasi. Dapat disimpulkan bahwa memberikan respons terhadap komentar negatif di media sosial merupakan bagian esensial dari pengelolaan reputasi perusahaan secara daring. Diharapkan perusahaan mampu menghindari dampak buruk dari komentar negatif tersebut.
Topik : Business Operations Excellence #mediasosial #bisnis #manajemen