Google, raksasa mesin pencari yang selama ini mendominasi industri digital, kini menghadapi tekanan dari berbagai sisi. Tak hanya berurusan dengan gugatan antimonopoli di berbagai negara, perusahaan yang didirikan pada 1998 oleh Larry Page dan Sergey Brin ini juga harus berhadapan dengan pesaing baru yang menawarkan pengalaman pencarian berbasis AI yang lebih segar.
Di saat yang sama, dua mitra terbesarnya—Apple dan Samsung—mulai mencari cara untuk melepaskan diri dari cengkeraman Google. Ini bukan ancaman biasa, melainkan pertanda perubahan mendasar dalam cara manusia mencari dan mengakses informasi.
Selama dua dekade, bisnis Google menguasai lebih dari 90 persen pasar mesin pencari (search engine) global. Namun, dominasi ini diwarnai kontroversi. Departemen Kehakiman AS menuduh Google memonopoli pasar dengan cara tidak sehat, termasuk membayar Apple sebesar 18-20 miliar Dollar AS per tahun agar tetap menjadi mesin pencari default di Safari.
Di luar pengadilan, ancaman lebih besar datang dari perubahan perilaku pengguna, terutama generasi muda. Google mengakui bahwa 40 persen Gen Z di AS lebih memilih mencari rekomendasi tempat makan lewat TikTok atau Instagram ketimbang Google Search. Ini pertanda jelas bahwa mesin pencari tradisional mulai kehilangan daya tarik.
Perplexity: Pendatang Baru yang Mengguncang
Munculnya Perplexity AI, bisnis rintisan mesin pencari berbasis AI, semakin memperumit posisi dan bisnis Google. Berbeda dengan Google yang menyajikan daftar tautan, Perplexity mengusung pendekatan answer-first—langsung memberikan jawaban menggunakan teknologi Large Language Model (LLM). Hasilnya, pencarian menjadi lebih cepat, manusiawi, dan kontekstual.
Nilai Perplexity melonjak drastis. Dalam putaran pendanaan terbaru, mereka berencana mengumpulkan 500 juta Dollar AS dengan valuasi mencapai 14 miliar Dollar AS. Lonjakan ini menunjukkan keyakinan pasar bahwa masa depan pencarian digital tidak lagi mutlak dikuasai Google.
Apple dan Samsung: Awal Pergolakan?

Posisi bisnis Google semakin terancam dengan langkah Apple dan Samsung—dua mitra utama yang selama ini menjadi tulang punggung distribusi Google Search.
Menurut Bloomberg, Apple sedang berdiskusi dengan Perplexity untuk menjadikannya mesin pencari default di Safari, menggantikan Google dan bahkan ChatGPT. Jika terjadi, langkah ini bukan hanya soal pencarian, melainkan juga strategi Apple mengurangi risiko hukum dan meningkatkan kontrol atas pengalaman pengguna.
Lebih agresif, Samsung dikabarkan akan mengintegrasikan teknologi Perplexity ke dalam browser, asisten Bixby, bahkan sistem operasi berbasis AI. Rencananya, fitur ini akan muncul di Galaxy S26 (2026). Samsung juga disebut sebagai calon investor utama dalam pendanaan Perplexity. Langkah ini memperlihatkan bahwa kerja sama mereka dengan Google selama ini lebih didasari kebutuhan, bukan keselarasan strategis.
Dampak Besar bagi Bisnis Google
Perubahan lanskap pencarian digital ini mengancam dominasi bisnis Google. Jika Apple dan Samsung benar-benar beralih, Google bisa kehilangan akses ke lebih dari 30 persen perangkat pengguna global. Sekitar 58 persen pendapatan Alphabet (induk Google) berasal dari iklan pencarian. Penurunan trafik akan menggoyang bisnis intinya. Belum lagi masalah reputasi. Di tengah sorotan regulator dan kemunculan pesaing seperti Perplexity yang lebih etis dan transparan, citra Google semakin terancam.
Saat ini, terjadi pergeseran dari sistem yang terpusat ke ekosistem pencarian berbasis AI yang lebih terdistribusi. Perplexity hanyalah awal—akan muncul inovator lain yang mendorong era baru di mana informasi tidak lagi dikuasai satu entitas. Kolaborasi Perplexity dengan Apple dan Samsung bukan sekadar kerja sama teknis, melainkan penanda arah industri ke depan.
Tiada yang Abadi, Termasuk Dominasi Bisnis Google
Berdasarkan pada apa yang sedang dialami Google, pelajaran apa sajakah yang dapat dipetik?
1. Tidak ada yang abadi di dunia ini, termasuk dominasi individu atau kelompok
Tidak ada perusahaan, sebesar apa pun, yang benar-benar kebal terhadap perubahan—bahkan raksasa seperti Google. Padahal, beberapa tahun lalu, situasi ini tak terbayangkan oleh banyak orang. Sehebat apa pun posisi pasar sebuah perusahaan, ia bisa tumbang jika gagal menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi dan pola konsumsi baru. Sejarah telah membuktikannya: Nokia dan BlackBerry pernah berjaya, tapi akhirnya tersingkir karena kalah inovatif. Kini, Google menghadapi ujian serupa—dominasi masa lalu tak lagi menjamin kesuksesan di masa depan.
2. Disrupsi lebih sering lahir dari pemain baru

Ancaman terbesar bisnis Google justru datang dari pendatang baru yang membawa cara berpikir berbeda. Perplexity AI bukan bagian dari “klub” raksasa teknologi. Justru karena itu, ia lebih lincah—tidak terbebani sistem lama (legacy) dan bisa cepat beradaptasi dengan kebutuhan pengguna. Inilah keunggulan bisnis rintisan yang disruptif: mereka bebas menciptakan solusi tanpa terikat cara-cara konvensional.
3. Konsumen berubah dengan cepat
Generasi Z kini beralih dari Google ke TikTok atau chatbot AI. Bagi mereka, mencari informasi bukan lagi tentang “menemukan tautan,” melainkan “mendapatkan jawaban langsung.” Perusahaan yang peka terhadap perubahan ini akan unggul dalam persaingan.
4. Kemitraan strategis adalah kunci kemenangan
Kolaborasi Apple dan Samsung dengan mesin pencari alternatif membuktikan bahwa ekosistem adalah penentu kekuatan baru. Teknologi canggih saja tidak cukup tanpa saluran distribusi yang kuat.
5. AI telah mengubah fundamental bisnis, bukan hanya menambah fungsi
Perplexity tidak sekadar menampilkan daftar hasil pencarian, tapi langsung memberikan jawaban. Ini mengancam model iklan bisnis Google yang bergantung pada klik dan page views. Ke depan, pendekatan berbasis AI bisa mengubah total cara informasi dimonetisasi di internet.
Keyword: bisnis Google
meta deskripsi: Dominasi bisnis Google mulai goyah, tertekan gugatan antimonopoli dan persaingan ketat dari teknologi pencarian berbasis AI.
#Google #Apple #Samsung #mesin pencari #search engine #perilaku pengguna #Perplexity #Google Search #dominasi #disrupsi #kemitraan strategis
Related Posts:
Fenomena Founder Fatigue dan Ex-Karyawan Jadi Founder
InJourney dan Masa Depan Holding Company BUMN Pariwisata
Kisah Inspiratif Pengusaha Lokal: Dari Tukang Cuci Jadi Raja Oleh-Oleh Bali: Kisah Inspiratif Ajik Krisna
Berjaya Tanpa PHK: Belajar dari Silver Queen
Kecerdasan Kolektif demi Organisasi yang Transformatif