Sejarah dunia bisnis tidak lepas dari berbagai krisis yang datang silih berganti—mulai dari krisis finansial global pada 1998 dan 2008, hingga pandemi COVID-19. Hampir semua sektor bisnis merasakan dampaknya: perusahaan besar kolaps, pasar bergejolak, dan model bisnis baru muncul dari reruntuhan ekonomi. Namun, ada satu pola menarik yang terus terulang: bisnis keluarga cenderung lebih tangguh menghadapi krisis dibanding bisnis nonkeluarga.
Sebuah penelitian yang pernah dilakukan Deutsche Bank International Private Bank (IPB) selama pandemi Covid-19 menunjukkan bahwa banyak family business di Jerman berkinerja lebih baik dalam krisis. Meskipun harga saham bisnis merosot 23,7 persen selama fase pertama Covid-19, perusahaan tanpa pemegang saham keluarga justru mengalami penurunan harga saham yang lebih besar – sebesar 30,7 persen. “Dalam kasus bisnis keluarga, penurunannya rata-rata lebih kecil dalam krisis, dan pemulihannya biasanya jauh lebih cepat
Mengapa hal ini terjadi? Apakah karena budaya, kepemimpinan, atau strategi jangka panjang yang menjadi ciri khas bisnis keluarga? Mari kita telusuri alasan di balik ketangguhan mereka.
Visi yang Jelas dan Kuat
Salah satu keunggulan utama bisnis keluarga adalah orientasi jangka panjangnya. Berbeda dengan perusahaan publik yang sering tertekan oleh tuntutan pemegang saham untuk mengejar laba cepat, family business cenderung berinvestasi dengan perspektif lintas generasi.
Bagi pendiri, bisnis ini bukan sekadar mesin pencetak uang, melainkan legasi yang harus dilestarikan. Mereka memikirkan keberlanjutan usaha hingga anak cucu, bukan sekadar laporan keuangan triwulanan. Inilah yang mendorong banyak bisnis keluarga mengambil keputusan yang mungkin tidak populer dalam jangka pendek, tetapi justru menguntungkan di masa depan.
Ikatan Emosional dan Loyalitas Tinggi

Bisnis keluarga memiliki aset tak berwujud yang langka: ikatan emosional. Rasa tanggung jawab terhadap nama baik keluarga membuat anggotanya rela berkorban lebih besar saat krisis.
Loyalitas ini juga tecermin dalam budaya kerja. Karyawan di banyak bisnis keluarga tidak hanya dianggap sebagai pekerja, tetapi bagian dari “keluarga besar”. Ketika masa sulit tiba, mereka sering bersedia menerima penyesuaian gaji sementara atau perubahan peran demi kelangsungan bisnis.
Di Indonesia, Astra International adalah contoh nyata. Didirikan oleh keluarga Soeryadjaya, perusahaan ini berhasil melewati berbagai krisis berkat solidaritas internal dan dedikasi karyawan yang tinggi.
Manajemen Keuangan yang Hati-Hati
Bisnis keluarga umumnya lebih konservatif dalam mengelola keuangan. Mereka cenderung menghindari utang berlebihan dan selalu menyiapkan cadangan kas untuk situasi darurat. Meski terkesan tradisional, pendekatan ini justru menjadi tameng saat krisis melanda.
Sementara perusahaan lain sibuk membayar cicilan utang, bisnis keluarga dengan struktur keuangan sehat bisa lebih fleksibel. Mereka tidak perlu terburu-buru melakukan PHK atau melepas aset strategis karena memiliki dana cadangan.
Walmart, yang dimulai sebagai bisnis keluarga Walton, adalah contoh sukses. Filosofi keuangan mereka yang ketat membantu perusahaan ini bertahan bahkan di tengah resesi ekonomi.
Ada pula kisah menarik dari Groninger, bisnis keluarga yang didirikan pada 1980 dan mencatatkan penjualan sebesar kurang lebih 303 juta Dollar AS pada 2023. Perusahaan ini memproduksi obat dan kosmetik, berkantor pusat di Crailsheim, Negara Bagian Baden-Württemberg, Jerman. Saat ini, Jens Groninger menjabat sebagai CEO. Ia adalah putra pendiri perusahaan.
Salah satu kunci kesuksesan Groninger adalah secara konsisten mengisi ceruk pasar dengan bisnis yang terus berkembang selama bertahun-tahun. Groninger terus bertumbuh, tidak berlebihan, tetapi sedikit demi sedikit setiap tahun. Meski menghasilkan keuntungan, perusahaan tidak memaksimalkannya. Perusahaan juga tidak harus menjawab pertanyaan tentang naik turunnya harga saham.
Proses Pengambilan Keputusan yang Cepat
Krisis menuntut respon cepat, dan bisnis keluarga biasanya lebih lincah dalam mengambil keputusan. Tanpa birokrasi rumit seperti di korporasi besar, strategi penting bisa dirumuskan dalam diskusi singkat antar anggota keluarga.
Fleksibilitas ini memungkinkan mereka cepat beradaptasi. Saat pandemi COVID-19, banyak bisnis keluarga kecil di Indonesia langsung beralih ke penjualan online, sementara perusahaan besar butuh waktu lama untuk merancang strategi digital.
Kedekatan dengan Komunitas Lokal

Banyak bisnis keluarga tumbuh dari akar rumput dan memiliki ikatan kuat dengan masyarakat sekitar. Hubungan ini menjadi keunggulan saat krisis, karena pelanggan lokal cenderung tetap setia mendukung. Contohnya, usaha kuliner keluarga sering bertahan di masa pandemi karena pelanggan merasa memiliki ikatan emosional. Dukungan “dari tetangga untuk tetangga” ini menjadi modal sosial yang tak ternilai.
Berpegang pada Nilai, Bukan Hanya Profit
Bisnis keluarga sering kali dibangun di atas nilai-nilai tertentu—kejujuran, kerja keras, atau pelayanan prima. Prinsip ini menjadi kompas saat menghadapi tantangan.
Roche, perusahaan farmasi keluarga asal Swiss, misalnya, memegang teguh prinsip inovasi jangka panjang. Alih-alih mengejar keuntungan instan, mereka berinvestasi besar dalam riset. Hasilnya, saat pandemi tiba, Roche sudah siap dengan solusi kesehatan yang dibutuhkan dunia.
Regenerasi dan Inovasi sebagai Kunci
Tidak semua bisnis keluarga otomatis tahan krisis. Yang berhasil biasanya mampu menggabungkan kearifan generasi lama dengan terobosan generasi baru. Generasi penerus membawa ide segar, seperti digitalisasi dan strategi pemasaran modern. Jika dipadukan dengan kehati-hatian generasi pendiri, terciptalah formula ketangguhan yang unik.
#bisnis keluarga #krisis #Deutsche Bank International Private Bank #legasi #legasi #Astra Internasional #konservatif #Walmart #Groninger #pengambilan keputusan #birokrasi #fleksibilitas #Walmart #Roche #Komunitas Lokal
Related Posts:
Apakah Modernisasi Dunia Kerja Menjadi Penghubung atau Pemicu Konflik?
Menyatukan Visi Antar Generasi: Tantangan Strategis dalam Bisnis Keluarga
Mengelola Emosi dan Ego di Ruang Rapat Bisnis Keluarga
Strategi Bisnis Keluarga: Menurunkan Bisnis Seni untuk Keluarga
Legacy Building: Apa yang Harus Ditinggalkan Perintis Kepada Generasi Penerus?