Dunia Kerja

Jargon di Dunia Kerja yang Viral, Apakah Benar-Benar Membantu atau Hanya Tren Semata?

Di zaman digital dan media sosial seperti sekarang, dunia kerja tak hanya tentang target dan pencapaian, tetapi juga dipenuhi dengan istilah-istilah kekinian yang populer. Mulai dari “feedback culture”, “burnout”, “healing“,—kata-kata ini tiba-tiba sering terdengar dalam obrolan sehari-hari di kantor. Di satu sisi, istilah-istilah ini menggambarkan dinamika dan aspirasi baru generasi pekerja masa kini. Namun di sisi lain, jargon-jargon ini bisa dengan mudah disederhanakan maknanya, disalahartikan, atau bahkan dimanipulasi, tergantung pada sudut pandang orang yang menggunakannya.

Sebenarnya, banyak jargon yang terdengar di tempat kerja. Namun, artikel ini hanya akan membahas ketiga istilah di atas sebagai contoh demi memudahkan pemahaman.

Di Balik Jargon Feedback Culture: Saran atau Serangan?

Kita mulai dengan budaya umpan balik atau feedback culture. Budaya umpan balik (feedback culture) sering dipuji sebagai ciri khas dunia kerja modern. Umpan balik seharusnya menjadi sarana pembelajaran yang sehat, transparan, dan membangun. Namun, praktiknya tidak semudah itu. Di banyak perusahaan, budaya umpan balik yang ideal justru berubah menjadi “budaya menghakimi” (judging culture). Atasan merasa berhak memberikan “kritik jujur” yang sebenarnya lebih mirip tuduhan tanpa empati dan tanpa pemahaman konteks.

Perbedaan sudut pandang berperan penting dalam hal ini. Seorang pemimpin yang berorientasi pada kekuasaan mungkin melihat umpan balik sebagai hak untuk menilai dan membenarkan pendapatnya. Sementara bagi karyawan, umpan balik sering terasa seperti serangan yang mengikis rasa aman dan harga diri.

Baca :   Post-Transformation Syndrome: Apa yang Terjadi Setelah Transformasi Bisnis Usai?

Bahkan dalam proses evaluasi tahunan atau performance review, istilah “umpan balik” kerap dijadikan tameng untuk menyampaikan keluhan sepihak atau asumsi pribadi. Ketika struktur dan pendekatannya tidak jelas, “budaya umpan balik” dalam dunia kerja modern bisa berubah menjadi alat legitimasi untuk menjatuhkan—bukan membangun.

Burnout: Kelelahan atau Kemanjaan?

dunia kerja

Burnout kerap dipakai untuk menggambarkan kelelahan ekstrem yang berdampak pada menurunnya produktivitas dan semangat kerja. Istilah ini makin populer di kalangan pekerja muda, khususnya generasi milenial dan Gen Z, yang lebih terbuka dalam membicarakan masalah kesehatan mental.

Namun, tak sedikit manajer senior yang justru menganggap “burnout” sebagai tanda kurangnya ketahanan kerja atau bahkan bentuk kemanjaan. Pandangan ini kerap berakar dari pengalaman generasi sebelumnya yang terbiasa dengan budaya kerja keras, dunia kerja yang penuh tekanan, dan minim dukungan emosional.

Di sinilah masalahnya. Saat seseorang mengeluhkan kelelahan sebagai gejala burnout, respons di tempat kerja bisa sangat beragam—mulai dari dukungan dengan pendekatan psikologis hingga tanggapan sinis yang menganggapnya sekadar alasan untuk menghindar dari tanggung jawab.

Polarisasi semacam ini justru memperlebar jarak antargenerasi, antara pendekatan yang manusiawi dan yang hanya berfokus pada produktivitas. Padahal, burnout seharusnya menjadi tanda peringatan otomatis yang mendorong evaluasi menyeluruh terhadap budaya kerja, bukan sekadar stigma yang dibebankan pada individu.

Baca :   Velocity TikTok dan Gen Z: Kreativitas atau Kepuasan Instan?

Healing: Solusi Pemulihan atau Sekadar Pelarian?

Kata “healing”  makin sering terdengar dalam diskusi di dunia kerja, menjadi simbol pemulihan dari tekanan psikologis. Awalnya populer di ranah personal, istilah ini kini merambah ke lingkup profesional. Banyak karyawan mengaku butuh waktu “healing” setelah mengalami lingkungan kerja yang toksik, konflik dengan atasan, atau trauma akibat restrukturisasi perusahaan.

Namun, healing bisa menjadi pisau bermata dua. Di tempat kerja yang berorientasi pada hasil, kebutuhan ini kerap dianggap sebagai bentuk penghindaran atau lambatnya adaptasi. Sementara di organisasi yang progresif, healing justru dipandang sebagai langkah kunci untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan dan keberlanjutan kinerja jangka panjang.

Lalu, pertanyaan mendasarnya: untuk siapa healing ini, siapa yang bertanggung jawab, dan seberapa besar perusahaan memberi ruang untuknya? Di sinilah pentingnya memisahkan antara tren populer dan penerapan nyata yang benar-benar berdampak di semua lini organisasi.

Antara Makna dan Manipulasi: Dua Wajah Jargon di Dunia Kerja

Dunia Kerja

Jargon dalam dunia kerja ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia membantu kita memberi nama pada dinamika psikologis dan sosial yang rumit. Namun di sisi lain, jargon bisa berubah menjadi alat manipulasi, tergantung pada niat dan kepentingan penggunanya.

Baca :   Dari Viral ke Klarifikasi: Mengelola Dampak Cancel Culture

Misalnya, ketika seorang pemimpin berkata, “Kita menganut budaya feedback,” belum tentu ia benar-benar membuka ruang untuk dialog. Begitu pula dengan karyawan yang mengaku “burnout”—bisa jadi ia sebenarnya hanya tidak cocok dengan pekerjaannya. Tanpa pemahaman mendalam, jargon hanya menjadi “kotak-kotak bahasa” yang mempersempit makna sekaligus mengaburkan realitas.

Perspektif: Kunci Memahami Jargon

Cara manajemen dan karyawan memaknai jargon dalam dunia kerja sering kali berbeda. Jika tidak dijembatani dengan komunikasi yang sehat, perbedaan ini bisa memicu ketegangan. Satu istilah bisa dianggap sebagai kemajuan oleh satu pihak, tetapi justru dirasakan sebagai beban oleh pihak lain.

Contohnya, ketika perusahaan mengumumkan, “Kita akan mengutamakan healing dan well-being,” sebagian karyawan mungkin mengartikannya sebagai tanda bahwa evaluasi kinerja akan ditunda. Namun bagi yang sedang tertekan, jargon tersebut justru menjadi secercah harapan.

Oleh karena itu, organisasi harus menyadari bahwa kata-kata bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga pembentuk realitas. Jika disalahartikan atau dipersempit maknanya, jargon justru dapat mematikan empati dan mengikis kepercayaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait