Empati saat Bertransformasi. Agar tidak terlempar dari kancah persaingan, organisasi terus menyesuaikan diri dengan lingkungan, baik penyesuaian teknologi, strategi, dan proses bisnis. Namun, ada satu hal yang kerap dilupakan, dan itu berkaitan dengan manusia sebagai pelaku sekaligus pihak yang paling terdampak proses transformasi: empati.
Empati adalah kemampuan untuk memahami dan merasakan perasaan, pikiran, atau pengalaman orang lain dari sudut pandang orang tersebut..Selama ini, empati lebih identik dengan hubungan personal ketimbang institusional. Meski demikian, peran empati dalam transformasi organisasi tak boleh dianggap enteng. Empati menumbuhkan kepercayaan, memperbaiki komunikasi, dan meningkatkan pemahaman. Banyak transformasi gagal bukan karena strategi dan perencanaan yang buruk, melainkan karena tiadanya empati.
Mari mengulas sedikit tentang makna transformasi organisasi. Transformais organisasi adalah proses perubahan yang mendalam dan menyeluruh yang dilakukan oleh sebuah organisasi untuk meningkatkan kinerja, daya saing, atau mencapai tujuan strategis jangka panjang. Proses ini biasanya melibatkan perubahan dalam berbagai aspek organisasi, seperti struktur, budaya, proses bisnis, teknologi, strategi, dan kepemimpinan.
Tentunya transformasi tidak mungkin tidak melibatkan orang. Mengurus orang lebih sulit dibandingkan dengan menyusun strategi atau proses. Banyak karyawan menolak perubahan, khawatir akan ketidakpastian, dan merasa kewalahan dengan ekspektasi baru. Di sinilah pentingnya empati. Gunanya untuk menenangkan serta memotivasi karyawan hingga peluang kesuksesan makin besar.
Empati saat Bertransformasi
Empati ini mutlak harus dimiliki seorang pemimpn. Pemimpin harus bisa memahami perspektif, emosi, dan tantangan karyawan selama transformasi. Namun, memahami hanyalah langkah awal. Selanjutnya, pemimpin harus bisa merespons secara suportif dan konstruktif.
Kepercayaan (trust) menjadi unsur esensial selama transformasi. Karyawan harus diyakinkan bahwa transformasi yang dijalankan adalah demi kepentingan mereka juga, di samping tentunya dema kemajuan organisasi pada masa hadapan. Pemimpin yang berempati memahami tantangan yang dihadapi karyawan dan berkomitmen untuk mendukung mereka selama proses tersebut.
Kemampuan berempati pemimpin bersanding dengan keterampilan komunikasi yang andal. Pemimpin harus mengomunikasikan secara terbuka tentang alasan transformasi, hasil yang diinginkan, serta bagaimana dampaknya terhadap karyawan. Inilah yang dilakukan oleh Airbnb, online marketplace terkenal yang menyediakan akomodasi bagi orang-orang yang ingin menyewa ataupun menyewakan kamar pribadi, apartemen, vila, maupun rumahnya. Pada puncak pandemi, Airbnb harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap sekitar 25% dari tenaga kerjanya. Meskipun ini adalah keputusan sulit, Brian Chesky, CEO Airbnb, memastikan bahwa proses tersebut dilakukan dengan penuh empati. Dia mengirimkan surat terbuka kepada semua karyawan yang terkena dampak, memberikan rincian tentang alasan di balik keputusan tersebut, dan menyusun paket pesangon yang lebih baik dari yang biasa diberikan di industri ini. Perusahaan juga menyediakan layanan karier untuk membantu karyawan yang terkena dampak menemukan pekerjaan baru.
Mendengarkan secara aktif (active listening) adalah cara paling ampuh untuk menunjukkan empati. Saat karyawan mengemukakan kegelisahan mereka, pemimpin harus mendengarkan dengan sungguh-sungguh tanpa menghakimi dan menginterupsi. Penghakiman dan interupsi mencerminkan arogansi pemimpin. Karyawan merasa diremehkan.
Karyawan cenderung lebih terlibat dan termotivasi ketika merasa bahwa pemimpin memang tulus dan peduli terhadap mereka. Empati membantu pemimpin lebih dekat dengan karyawan. Pada gilirannya, karyawan akan lebih puas, tetap betah, dan berkomitmen untuk kejayaan.
Navigasi dengan Penuh Empati
Mengapa karyawan menolak perubahan? Mereka takut kehilangan pekerjaan, tidak percaya diri menjalankan tugas-tugas baru, atau takut kehidupan pribadi mereka terganggu lantaran tambahan beban kerja. Ketakutan-ketakutan tersebut sebenarnya wajar. Tugas pemimpinlah untuk menavigasi kekhawatiran semacam ini dengan penuh empati. Bagaimanakah caranya?
Pertama, mengakui adanya resistensi, untuk kemudian berupaya meredakannya. Yang diatasi adalah hal yang menjadi kecemasan karyawan. Misalnya, jika karyawan takut kehilangan pekerjaan, pemimpin dapat menjelaskan masa depan serta peran karyawan tersebut dalam organisasi. Atau jika karyawan takut jika tidak mampu mengerjakan pekerjaan baru, perusahaan dapat memberikan coaching dan mentoring dari orang yang tepercaya.
Kedua, memberikan dukungan emosional selama masa transisi. Salah satu bagian penting dari transformasi organisasi adalah ditinggalkannnya cara-cara kerja yang lama, untuk kemudian beralih kepada cara kerja dan teknologi baru. Bagi karyawan, hal ini dapat menguras emosi. Pun, bisa menimbulkan frustrasi. Pemimpin yang punya empati tentunya tidak tinggal diam, apalagi sampai memaksa karyawan untuk menyesuaikan diri dengan kondisi baru dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Perusahaan bisa menyediakan akses terhadap layanan kesehatan mental.
Ketiga, memastikan semua karyawan merasa dihargai dan dihormati selama transformasi. Terutama untuk mereka yang telah bekerja keras menyesuaikan diri demi suksesnya transformasi. Pencapaian mereka, bagaimanapun kecilnya, harus dirayakan. Tidak perlu mewah. Yang penting, karyawan merasa dipedulikan. Hal ini pada gilirannya bukan saja mengurangi perlawanan terhadap transformasi, melainkan juga meingkatkan moral karyawan, memperkuat rasa tujuan bersama dan komitmen terhadap keberhasilan organisasi.
Empati saat Bertransformasi
Kategori: Organization & Business Transformation
#Transformasi #empati #trust #komunikasi #airbnb #brianchesky #active listening #perubahan #resistensi