Di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI), khususnya dalam bentuk Large Language Models (LLM) seperti ChatGPT, muncul pertanyaan penting: apakah teknologi AI mendukung atau justru melemahkan kemampuan berpikir kritis manusia?
Sebuah studi terbaru dari MIT Media Lab yang dilaporkan oleh time.com memantik diskusi hangat tentang potensi dampak negatif penggunaan AI, terutama dalam proses belajar dan menulis. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa penggunaan ChatGPT dalam menulis esai berkorelasi dengan rendahnya aktivitas otak, penurunan motivasi, dan hasil tulisan yang minim orisinalitas.
Meskipun temuan ini belum melalui proses peer review dan jumlah respondennya terbatas, peringatan yang disampaikan tetap patut diperhatikan—terutama dalam konteks pendidikan dan perkembangan kognitif jangka panjang.
Manfaat Teknologi AI yang Tak Terbantahkan
Sebelum membahas sisi kritisnya, perlu ditegaskan bahwa AI, termasuk ChatGPT, menawarkan manfaat yang sangat besar. Alat ini dapat membantu menyusun argumen, memperbaiki tata bahasa, merangsang ide baru, dan mempercepat penyelesaian berbagai tugas administratif atau akademik. Dalam konteks dunia kerja, AI menjadi mitra dalam merancang laporan, menjawabsurat elektronik, hingga membuat ringkasan dokumen yang kompleks.
Dengan kemampuan memproses dan menghasilkan bahasa alami, ChatGPT bisa menjadi pendamping belajar yang sangat efektif—bila digunakan dengan pendekatan yang bijak. Banyak pelajar dan profesional yang justru merasa terbantu dalam memahami konsep, mengasah struktur logika, atau mengevaluasi ulang gagasan mereka sendiri.
Namun, di sinilah letak dilemanya. Makin mudah teknologi membuat sesuatu, makin besar pula godaan untuk menyerahkan segalanya kepada teknologi AI. Dalam jangka panjang, ini bisa memicu ketergantungan dan menurunnya motivasi untuk berpikir mandiri.
Studi MIT: Ketika Otak Jadi Pasif

Penelitian yang dilakukan oleh MIT Media Lab mencoba mengukur sejauh mana penggunaan AI memengaruhi aktivitas otak. Dalam eksperimen tersebut, 54 partisipan dibagi menjadi tiga kelompok: satu menggunakan ChatGPT, satu menggunakan mesin pencari Google, dan satu lagi menulis esai tanpa bantuan teknologi. Aktivitas otak mereka direkam menggunakan EEG di 32 titik berbeda.
Hasilnya cukup mencolok. Kelompok yang menggunakan ChatGPT menunjukkan keterlibatan otak paling rendah. Penilaian terhadap esai juga menunjukkan bahwa tulisan dari kelompok ini kurang orisinal, cenderung repetitif, dan dinilai “ tanpa jiwa” oleh guru bahasa Inggris yang menilainya.
Lebih jauh lagi, saat diminta menulis ulang esai tanpa bantuan teknologi AI, kelompok pengguna ChatGPT nyaris tidak mengingat isi tulisannya sendiri. Ini mengindikasikan bahwa proses belajarnya tidak benar-benar terjadi, karena informasi tidak masuk ke jaringan memori yang lebih dalam.
Temuan ini menggarisbawahi isu penting: penggunaan AI secara pasif bisa merusak kemampuan kognitif. Hal ini dirasakan khususnya pada kelompok usia muda yang otaknya masih berkembang. Peneliti utama, Nataliya Kosmyna, bahkan menyuarakan kekhawatiran bahwa penerapan AI tanpa panduan yang matang dalam dunia pendidikan, seperti di sekolah dasar atau taman kanak-kanak, bisa menimbulkan dampak jangka panjang yang merugikan.
Meskipun begitu, di sisi lain, argumen ini perlu ditanggapi dengan hati-hati.
- Studi ini memiliki keterbatasan signifikan: jumlah partisipan kecil, semua berasal dari satu kota (Boston), dan belum melalui proses tinjauan sejawat (peer review).
- Studi ini tampaknya menyoroti penggunaan teknologi AI secara ekstrem—sebagai pengganti penuh, bukan sebagai alat bantu. Padahal, dalam banyak kasus, pengguna memanfaatkan ChatGPT secara kolaboratif: untuk meminta masukan, menyusun ide kasar, atau sekadar mendapatkan referensi awal sebelum melanjutkan secara mandiri.
Ini membawa kita pada pertanyaan yang lebih mendasar: apakah masalahnya ada pada teknologi AI-nya, atau pada cara penggunaannya?
Teknologi AI: Alat atau Pengganti?
Seperti teknologi lain sepanjang sejarah, AI adalah alat. Ia bisa menjadi tongkat penuntun atau malah menjadi penyangga permanen yang membuat kaki malas melangkah. Bedanya, AI menawarkan kecanggihan yang seolah bisa “berpikir” untuk kita. Ini membuat risiko penggantiannya terhadap proses kognitif manusia menjadi jauh lebih besar.
Oleh karena itu, penting untuk mengembangkan literasi AI—kemampuan untuk memahami, mengevaluasi, dan menggunakan teknologi AI secara kritis. Pengguna harus dilatih untuk menjadikan AI sebagai mitra berpikir, bukan penulis pengganti. Misalnya, bukannya langsung menyalin jawaban dari ChatGPT, mereka bisa diminta membandingkan hasil AI dengan ide mereka sendiri. Mereka juga bisa menilai kelemahan argumen, atau mengembangkan sudut pandang alternatif.
Bukan Hanya Masalah Otak, Tapi Juga Emosi

Studi lain yang disebutkan dalam tulisan ini menyoroti bahwa semakin lama seseorang menggunakan ChatGPT, semakin tinggi pula rasa kesepian yang dilaporkan. Ini membuka aspek baru dalam diskusi tentang AI: dampaknya pada kesejahteraan emosional.
Ketika manusia terbiasa “berdialog” dengan teknologi AI yang tak menuntut, tak menghakimi, dan selalu siap membantu, interaksi sosial nyata bisa menurun. Relasi manusiawi yang penuh dinamika dan keunikan bisa tergeser oleh kenyamanan semu yang ditawarkan mesin. Ini mungkin tidak menjadi masalah dalam jangka pendek, tetapi bisa berkontribusi pada keterasingan sosial dan kehilangan makna dalam jangka panjang.
Menemukan Keseimbangan
Teknologi AI, dengan segala kecerdasannya, tidak bisa—dan tidak seharusnya—menggantikan kekuatan berpikir manusia. Kita tidak bisa menolak kehadirannya, tetapi kita bisa memilih bagaimana menggunakannya. Seperti pisau yang bisa digunakan untuk memasak atau melukai, AI pun menuntut kebijaksanaan dalam pemakaian.
Pendidikan di masa depan perlu fokus pada pembentukan kemampuan berpikir kritis, literasi teknologi, dan kesadaran etis. AI bisa menjadi mitra yang luar biasa, selama kita tetap memegang kendali dan tidak menyerahkan seluruh proses berpikir kepada mesin.
Dengan begitu, kita bisa memetik manfaat dari teknologi AI tanpa kehilangan inti dari kemanusiaan kita. Baik dalam hal kemampuan untuk berpikir, merasakan, maupun berkreasi dengan penuh kesadaran.
#AI #ChatGPT #berpikir kritis #aktivitas otak #pembelajaran #pendidikan #ketergantungan teknologi #MIT #kreativitas #orisinalitas #kesepian
Related Posts:
Standar Gaji 15 Juta Rupiah: Simbol Harapan atau Ilusi di #IndonesiaGelap?
Indonesia Negara Paling Sejahtera: Panggilan Baru bagi Dunia Usaha
Lipstick Effect dalam Segelas Matcha
Ketika Dua Orang Kuat Bertengkar: Pelajaran dari Elon Musk vs Donald Trump
Velocity TikTok dan Gen Z: Kreativitas atau Kepuasan Instan?