budaya organisasi

Purpose Washing: Ketika Budaya Organisasi Hanya Jadi Hiasan

Di dunia bisnis modern, ‘purpose’ atau tujuan mulia perusahaan seakan menjadi mantra wajib. Setiap CEO berbicara tentangnya, setiap strategi mengacu padanya, dan setiap kampanye merekrut karyawan baru menjadikannya daya tarik utama. Semua perusahaan ingin dianggap punya ‘jiwa’, punya misi yang lebih dari sekadar mengejar laba. Namun, sayangnya, di balik gembar-gembor itu, tersembunyi sebuah fenomena memprihatinkan yang kita sebut purpose washing: saat sebuah organisasi mengklaim dirinya memiliki budaya organisasi dan dan tujuan yang luhur. Namun dalam kesehariannya, praktik dan perilakunya justru bertolak belakang.

Masalah ini jauh lebih serius dari sekadar kesalahan komunikasi. Purpose washing akan perlahan-lahan menggerogoti kredibilitas organisasi, merusak kepercayaan karyawan, dan pada ujungnya, menggagalkan tujuan bisnis itu sendiri.

Purpose yang Hanya Jadi Ornamen

Lihatlah di sekeliling kita. Banyak perusahaan kini memiliki pernyataan misi yang begitu memukau: “meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” “menjadi pelopor masa depan berkelanjutan,” atau “memberdayakan potensi manusia.”

Di permukaan, semuanya terdengar mulia. Namun, coba selami lebih dalam. Seringkali, yang kita temukan justru karyawan yang kelelahan karena harus mengejar target tak manusiawi, inovasi yang mandek sebagai akibat birokrasi berbelit, atau keputusan bisnis yang mengabaikan prinsip keberlanjutan demi meraih keuntungan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Di sinilah ‘purpose’ kehilangan rohnya dan berubah sekadar menjadi dekorasi—sebuah hiasan kata-kata indah namun tanpa makna. Dalam konteks budaya organisasi, kondisi ini melahirkan jurang pemisah yang dalam antara yang diucapkan dan yang dikerjakan.

Kesenjangan ini lahir dari sebuah kesalahan persepsi mendasar: perusahaan sering menganggap perumusan ‘purpose’ sebagai garis finis, sebuah produk akhir yang siap dipamerkan. Padahal, seharusnya ia adalah garis start, titik awal untuk sebuah transformasi perilaku yang berkelanjutan. Hakikat budaya organisasi yang sejati tidak terletak pada kalimat-kalimat indah atau puitis, tetapi pada kebiasaan dan tindakan kolektif yang dijalankan setiap hari.

Dari Ruang Rapat ke Lapangan: Uji Nyata Visi Organisasi

budaya organisasi

Visioning’ adalah alat yang lazim digunakan untuk merancang strategi dan membentuk budaya. Proses ini membantu organisasi memimpikan masa depan—“kita ingin menjadi seperti apa?”—serta merumuskan nilai-nilai inti yang ingin dianut. Namun, bahaya mengintai ketika proses ini berhenti hanya sampai tahap pengumuman, tanpa pernah ditindaklanjuti dengan pembumian.

Visioning’ yang bermakna harus disertai dengan uji realitas, sebuah momen jujur untuk mengecek apakah nilai-nilai yang digaungkan itu benar-benar hidup dalam denyut nadi budaya organisasi sehari-hari. Pertanyaannya bukan lagi “Apa cita-cita kita?” tetapi “Apa yang kita lakukan hari ini yang membuktikan kita layak mewujudkan cita-cita itu?”

Sebagai contoh, jika sebuah perusahaan menjunjung tinggi nilai kolaborasi, maka uji realitasnya adalah: Apakah sistem penghargaan lebih mengutamakan pencapaian tim atau prestasi individu? Apakah para pemimpin benar-benar membuka pintu untuk mendengar suara dari semua tingkat, atau hanya dari lingkaran dalamnya? Saat konflik muncul, apakah diselesaikan dengan diskusi terbuka atau melalui politik dan intrik? Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini menjadi cermin sejauh mana budaya organisasi benar-benar hidup dan dihayati oleh seluruh anggota perusahaan.

Tanpa kemauan untuk melakukan uji realitas yang blak-blakan ini, organisasi akan terperosok dalam jebakan purpose washing—sibuk membicarakan impian sambil menutup mata pada ketidakselarasan yang terjadi di depan hidungnya.

The Jakarta Consulting Group telah berpengalaman selama lebih dari empat dekada dalam membantu visioning berbagai perusahaan, mulai dari BUMN, perusahaan swasta, dan multinasional raksasal; bertujuan untuk menggerakkan anggota organisasi serta memberikan arah yang jelas dan pedoman untuk mencapai tujuan jangka panjang, baik bagi individu maupun organisasi.

Dampak Tersembunyi dan Nyata yang Merusak: Psikologi dan Budaya

Purpose washing bukan hanya soal citra buruk di mata publik. Dampaknya merasuk jauh ke dalam, merusak fondasi psikologis dan kultural organisasi.

Ketika yang mereka dengar tidak sesuai dengan yang mereka alami, timbulah kebingungan, kekecewaan, dan akhirnya, sikap sinis. Mereka akan mulai menganggap semua nilai perusahaan sebagai slogan kosong dan tidak lagi percaya pada komunikasi internal. Ketidaksesuaian antara ucapan dan tindakan ini perlahan merusak budaya organisasi, karena nilai-nilai yang seharusnya menjadi pedoman justru kehilangan makna di mata karyawan.

Purpose washing mengikis wibawa moral para pemimpin. Seorang pemimpin yang berkoar-koar tentang integritas tetapi mengambil keputusan yang bertentangan dengan nilai tersebut akan kehilangan respek dari orang lain. Lama-kelamaan, ini memupuk budaya ‘pura-pura’. Orang akan belajar bahwa yang paling penting adalah tampak baik, bukan menjadi baik. Akibatnya, budaya organisasi berubah menjadi topeng kolektif yang menjauhkan perusahaan dari kejujuran dan pembelajaran sejati.

Purpose washing membunuh proses belajar organisasi (organization learning). Ketika semua energi difokuskan untuk menjaga tampilan, tidak ada ruang untuk introspeksi dan perbaikan. Semua orang sibuk menyusun kata-kata indah, alih-alih memperbaiki tindakan.

Sementara dampak nyatanya, seperti dikemukakan AlSalim dan Etter, adalah hilangnya kepercayaan, rusaknya reputasi, dan kerugian finansial yang substansial.

Pada akhirnya, semua itu berdampak pada turunnya daya saing perusahaan. Padahal, menurut Harvard Business Review, budaya menjadi setengah atau 50 persen faktor yang menentukan kemampuan bersaing antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya dalam industri yang sama.

Membangun Purpose yang Autentik: Dari Retorika ke Aksi

budaya organisasi

Lalu, bagaimana cara menghindari jebakan ini? Kuncinya terletak pada keautentikan, yaitu keselarasan yang nyata antara perkataan, keputusan, dan perbuatan.

Budaya organisasi selalu dimulai dari atas. Pemimpin tidak bisa hanya menjadi ‘juru bicara’ purpose; mereka harus menjadi ‘pengejawantahannya’. Jika perusahaan mengusung nilai “empati,” maka seorang pemimpin harus berani menunjukkan empati itu dalam keputusan-keputusan sulit, bukan hanya beretorika.

Organisasi perlu mendefinisikan indikator perilaku yang jelas untuk setiap nilai yang dianut. Misalnya, nilai kolaborasi bisa diukur dari seberapa sering proyek lintas departemen berhasil, tingkat kepuasan kerja sama antar tim, atau cara seorang manajer menengahi perselisihan. Dengan begini, budaya dinilai dari bukti yang terlihat, bukan dari narasi yang terdengar.

Salah satu sumber terbesar purpose washing adalah sistem internal yang tidak selaras dengan nilai-nilai yang dikumandangkan. Sistem penggajian, promosi, dan penilaian kinerja seringkali masih berkiblat pada hasil jangka pendek yang instan, mengubur nilai-nilai luhur yang diagungkan. Karena itu, mengintegrasikan nilai ke dalam setiap sistem dan prosedur adalah sebuah keharusan. Purpose harus menjadi darah yang mengalir dalam operasi organisasi, bukan sekadar plakat yang menempel di dinding.

 

#purpose washing       #budaya          #kredibilitas                #visioning        #uji realitas                  #pemimpin                        #organization learning                        #autentik                     #indikator perilaku

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Article