menjadi pemimpin

Embracing Imperfection: Menjadi Pemimpin yang Lebih Autentik dan Inspiratif

Tidak boleh melakukan kesalahan sedikit pun. Harus tampil sempurna. Tekanan ini kerap dihadapi seseorang yang menjadi pemimpin. Sekali melakukan kesalahan, bersiaplah menerima kritik pedas, bahkan caci maki. Jangan coba-coba menunjukkan kelemahan dan kerentanan. Wibawa akan meredup.

Realitasnya, menerima ketidaksempurnaan menunjukkan autentisitas ketika menjadi pemimpin. Dengan autentisitas ini, seorang pemimpin justru mampu menginspirasi serta menumbuhkan kepercayaan dalam tim. Dalam sejarah, tidak ada pemimpin yang tidak pernah gagal. Pemimpin juga manusia dengan segala kekurangannya. Pemimpin yang sukses adalah pemimpin yang mampu belajar dari kegagalan.

Menunjukan Ketidaksempurnaan Sebagai Pemimpin

Angela Ahrendts, mantan Senior Vice President, Retail, Apple Inc., telah berbicara tentang pentingnya kerentanan dalam kepemimpinan. Ia percaya bahwa mengakui ketidaksempurnaan dan menunjukkan kemanusiaan dapat membangun hubungan yang lebih kuat dengan tim dan pelanggan.

Teori-teori kepemimpinan dipenuhi dengan karakteristik yang harus dimiliki seorang ketika menjadi pemimpin agar bisa disebut sebagai pemimpin ideal. Namun, hal ini tidaklah realistis. Karena dituntut sempurna, pemimpin bisa takut mengambil risiko, tidak luwes terhadap bawahannya, dan menjadi peragu. Alih-alih menjadi sempurna, yang terjadi justru timbul cela.

Akibat dituntut sempurna, pemimpin bisa saja enggan mengakui kesalahannya. Alih-alih, kambing hitam yang dicari. Ini membuat suasana kerja jadi tak menyenangkan. Tatkala melihat pemimpin sebagai figur yang tak membumi, pengikut takut berbuat kesalahan. Mereka merasa  tidak bebas berekspresi. Oleh karena itu, perlu ditanamkan paradigma  bahwa ketidaksempurnaan bukanlah kelemahan, melainkan sebuah kekuatan ketika menjadi pemimpin.

Baca :   Dead Horse Syndrome: Recognizing the Right Time to Change in Leadership

Jangan Tutupi Kekurangan

Menjadi pemimpin yang autentik tidak berupaya menutupi kekurangan mereka. Namun, kekurangan tersebut mereka manfaatkan untuk membangun hubungan yang lebih baik dengan para pengiukutnya. Mereka menciptakan lingkungan yang menghargai kejujuran, keterbukaan, dan pembelajaran berkelanjutan.

Saat ini, transparansi menjadi norma yang wajib ditaati organisasi. Pemimpin harus menjadi contoh dalam hal ini. Pemimpin yang secara jujur menceritakan pahitnya perjuangan, kegagalan, dan kemunduran sebetulnya telah menanamkan budaya transparaansi. Cerita-cerita semacam ini akan mendorong karyawan untuk berani berbagi kesulitan yang mereka hadapi. Dengan demikian, rasa saling percaya antara pemimpin dan pengikut akan tumbuh.

Ketidaksempurnaan tidak akan menghambat pertumbuhan. Malah sebaliknya. Menjadi pemimpin yang hebat berarti mampu memanfaatkan ketidaksempurnaan sebagai kesempatan untuk berkembang. Mereka rajin mencari masukan, belajar dari kesalahan, dan mendorong tim mereka untuk melakukan hal yang sama. Berkat hal ini, berkembanglah budaya pembelajaran dan perbaikan tanpa henti. Ini berdampak positif bagi organisasi. Organisasi jadi lebih mudah menyeduaikan diri terhadap perubahan.

Pendekatan ini dilakukan oleh Satya Nadella. Tatkala ditunjuk sebagai CEO Microsoft, ia mengubah budaya perusahaan dari pola pikir “tahu segalanya (know-it-all)” menjadi pola pikir “pelajari segalanya (learn-it-all)”. Ia secara terbuka mengakui kesalahannya sendiri dan menekankan pentingnya belajar dari kegagalan, yang telah berperan penting dalam kebangkitan Microsoft.

Baca :   Pemimpin di Sektor Publik vs Privat: Apa yang Berbeda?

Cara Menjadi Pemimpin yang Autentik

Setiap orang mendambakan pemimpin yang tulus dan supel. Pemimpin yang rendah hati berlapang dada menerima kekurangan dirinya. Ini menjadi inspirasi bagi orang lain. Pengikut cenderung mengikuti dan menghormati pemimpin yang mengakui kekurangannya serta berkemauan untuk terus belajar dari mana pun dan siapa pun.

Contohnya adalah  Jacinda Ardern, mantan Perdana Menteri Selandia Baru. Jacinda Ardern dikenal karena gaya kepemimpinannya yang empatik dan autentik. Ia secara terbuka mengakui tantangan dalam menyeimbangkan kepemimpinan dan peran sebagai ibu, menunjukkan bahwa tidak apa-apa untuk tidak memiliki semua jawaban dan meminta bantuan saat dibutuhkan.

1. Gagal belum tentu berarti tidak mampu

Ingatlah bahwa gagal belum tentu berarti tidak mampu. Kerap kali, penyebab kegagalan tidaklah tunggal serta berada di luar kendali pemimpin. Ketimbang mencari kambing hitam, jadikan kegagalan sebagai kesempatan untuk belajar.

2. Jadikan kegagalan sebagai momentum

Kegagalan juga menjadi momentum untuk mengembangkan budaya kreativitas dan inovasi. Ketika Anda menjadi pemimpin, jangan malu untuk berbagi kegagalan. Kegagalan yang dialami dapat menjadi pelajaran bagi tim.  Contohnya adalah Ed Catmull, pendiri Pixar.

Seperti diketahui, Pixar adalah studio animasi Amerika yang berkantor pusat di Emeryville, California, yang dikenal karena film-film animasi komputernya yang sukses secara komersial. Pixar adalah anak perusahaan Walt Disney Studios, divisi Disney Entertainment, bagian dari Walt Disney Company. Ed Catmull menumbuhkan budaya yang menganggap kesalahan sebagai bagian dari proses kreatif. Ia menekankan pentingnya kejujuran dan belajar dari kegagalan, yang membantu Pixar menghasilkan film-film inovatif.

Baca :   Green Flag vs Red Flag Leader: Apakah Anda Pemimpin yang Dicari Tim?
3. Mengasah kemampuan untuk empati

Menjadi pemimpin yang memiliki empati mampu memahami dan mengakui tantangan yang dihadapi oleh anggota timnya. Dengan mendengarkan secara aktif dan menunjukkan perhatian yang tulus, hubungan antara pemimpin dan anggota timnya menjadi lebih erat. Karyawan jadi lebih termotivasi dan lebih produktif.

4. Rayakan kesuksesan kecil

Merayakan kesuksesan kecil membuat tim termotivasi untuk berbuat lebih baik lagi. Pemimpin harus menghargai kemajuan, mengapresiasi upaya karyawan, dan mendorong karyawan untuk belajar dari pengalaman. Jangan hanya terpaku pada hasil. Proses juga penting.

#imperfection              #ketidaksempurnaan               #autentisitas                #kepemimpinan                       #Angela Ahrendts                   #kekurangan                #transparansi               #Satya Nadella            #Jacinda Ardern                      #Ed Catmull                #budaya          #kesalahan                   #kesuksesan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Article