Selama ini, prinsip “pelanggan selalu benar” tampaknya masih dipegang erat-erat. Padahal kenyataannya, tidak semua pelanggan layak dipertahankan. Terkadang, memecat pelanggan—berpisah dengan sopan—merupakan keputusan terbaik bagi perusahaan. Sekilas, hal ini bertentangan dengan naluri pebisnis untuk menambah pelanggan dan pendapatan. Namun, memutus hubungan dengan pelanggan yang bermasalah dapat meningkatkan keberhasilan jangka panjang moral karyawan.
Mengapa Harus Memecat Pelanggan?
Ada alasan-alasan mengapa perusahaan harus memecat pelanggan atau memutuskan hubungan dengan pelanggan tertentu. Pertama adalah ekspektasi pelanggan yang tidak realistis. Pelanggan ini mengharapkan hasil yang jauh melampaui apa yang awalnya disetujui atau menuntut layanan yang tidak sesuai dengan kompetensi perusahaan. Pelanggan semacam ini dapat menguras habis sumber daya perusahaan. Pelanggan kecewa, perusahaan frustrasi. Jika dilanjutkan, reputasi perusahaan bisa terguncang, apalagi jika pelanggan yang menjengkelkan tadi mulai menyebarluaskan rasa tidak puasnya kepada khalayak.
Masalah berikutnya terkait pembayaran. Arus kas layaknya darah yang mengalirkan kehidupan bagi perusahaan. Bila pelangganterus-menerus terlambat membayar atau harus terus-menerus diingatkan untuk membayar tagihan, tentunya akan membebani operasi perusahaan. Padahal, waktu dan tenaga yang dihabiskan untuk menagih pembayaran dapat digunakan untuk hal lain. Keterlambatan pembayaran yang kerap terjadi menjadi sinyal bahaya bahwa kondisi finansial perlanggan tidak stabil , sehingga meningkatkan risiko utang yang tidak tertagih.
Perilaku pelanggan yang kurang ajar juga bisa menjadi alasan kuat bagi perusahaan untuk menyingkirkan mereka. Ingat bahwa setiap insan dalam perusahaan adalah manusia yang harus dihormati. Jika seorang pelanggan terus-menerus bersikap kasar, melecehkan, atau mengajukan tuntutan yang tidak masuk akal dengan cara yang tidak sopan, hal itu dapat menciptakan lingkungan kerja yang tidak sehat. Dampak psikologis dari berurusan dengan pelanggan seperti itu dapat menyebabkan kelelahan, penurunan kepuasan kerja, dan bahkan pergantian karyawan yang tinggi.
Faktor nilai (values) ternyata juga bisa berpengaruh. Seiring berjalannya waktu, bisnis perusahaan mungkin berkembang, atau kebutuhan pelanggan mungkin berubah dengan cara yang menciptakan ketidaksesuaian nilai. Boleh jadi, perusahaan sudah mengalihkan fokusnya ke praktik berkelanjutan, tetapi pelanggan bersikeras menggunakan bahan yang tidak berkelanjutan. Atau mungkin praktik bisnis pelanggan berbenturan dengan standar etika perusahaan (meski sebelumnya tidak). Dalam kasus seperti itu, melanjutkan hubungan dapat merusak identitas merek dan mengorbankan nilai-nilai perusahaan.
Penggunaan sumber daya yang tidak proporsional dibandingkan dengan pendapatan yang diraih juga bisa menjadi alasan diakhirinya hubungan dengan pelanggan. Adakalanya, perusahaan harus menghabiskan waktu, biaya, dan SDM untuk melayani pelanggan tertentu. Namun, hasil yang diraih lebih kecil. Padahal, masih banyak pelanggan lain yang potensinya lebih besar. Hal ini terutama berlaku jika tuntutan pelanggan berada di luar cakupan perjanjian awal dan mereka tidak bersedia membayar layanan tambahan.
Seperti menjinakkan Bom
Menyingkirkan pelanggan yang bermasalah tidak bisa dilakukan tanpa basa-basi. Hal ini ibarat menjinakkan bom, yang harus dilakukan dengan hati-hati jika tidak ingin meledak dan meluluhlantahkan. Bersikap agresif terhadap pelanggan yang menjengkelkan tentu kontraproduktif. Perusahaan bisa dituding memperlakukan pelanggan dengan semena-mena. Apalagi di era media sosial seperti sekarang.
Lantas bagaimana? Pertama-tama, pastikan perusahaan memang tidak melanggar ketentuan apapun. Jika ada perjanjian tertulis antara perusahaan dengan pelanggan, tinjau semua kontrak atau perjanjian yang berlaku. Memiliki pemahaman yang jelas tentang posisi hukum akan membantu perusahaan menangani situasi dengan lebih percaya diri.
Berikutnya, berkomunikasi dengan lugas namun tetap hormat dan bijaksana. Jelaskan alasan mengapa hubungan tersebut tidak lagi saling menguntungkan. Fokus pada fakta—seperti keterlambatan pembayaran, perluasan cakupan, atau ketidakselarasan nilai—daripada pada perasaan pribadi. Ungkapkan penghargaan atas bisnis mereka dan, jika memungkinkan, tawarkan rujukan ke penyedia lain yang mungkin lebih sesuai dengan kebutuhan mereka.
Bergantung pada karakter bisnis dan pelanggan, perusahaan bisa saja menawarkan masa transisi. Ini dapat mencakup penyelesaian pekerjaan yang tertunda atau pemberian dukungan selama serah terima ke penyedia layanan baru. Menawarkan transisi yang lancar menunjukkan komitmen perusahaan terhadap profesionalisme dan dapat membantu mencegah perasaan negatif.
Setelah berpisah jalan dengan pelanggan, lakukanlah evaluasi. Gunakan pengalaman tidak menyenangkan dengan pelanggan untuk menyempurnakan proses pemilihan pelanggan dan menetapkan standar yang lebih baik untuk hubungan pada masa mendatang.
Dalam hal melepas pelanggan bermasalah ini, ada cerita dari Zappos, pengecer sepatu dan pakaian daring Amerika yang berkantor pusat di Las Vegas, Nevada, Amerika Serikat. Saat ini menjadi anak perusahaan Amazon. Zappos telah membangun reputasi untuk layanan pelanggan yang luar biasa dan kebijakan pengembalian (return) yang murah hati. Perusahaan yang didirikan pada 1999 ini menawarkan pengembalian gratis hingga 365 hari, yang mendorong pelanggan untuk mencoba produk tanpa risiko. Namun, kebijakan ini telah disalahgunakan oleh sebagian kecil pelanggan yang mengembalikan barang secara berlebihan atau terlibat dalam perilaku penipuan.
Zappos memutuskan untuk memecat pelanggan yang menyalahgunakan kebijakan pengembalian barang mereka. Mereka mengidentifikasi pelanggan dengan tingkat pengembalian barang yang sangat tinggi atau mereka yang diduga melakukan aktivitas penipuan dan mengambil tindakan dengan tidak menerima pengembalian barang lebih lanjut dari pelanggan tersebut atau menutup akun mereka sama sekali.
Keputusan ini memungkinkan Zappos untuk menjaga integritas kebijakan pengembaliannya bagi sebagian besar pelanggan yang menggunakannya secara bertanggung jawab. Dengan menyingkirkan sebagian kecil pelaku penyalahgunaan, Zappos melindungi marginnya dan memastikan bahwa layanan pelanggannya tetap berkelanjutan.
Dengan memecat pelanggan yang menyalahgunakan kebijakan pengembalian, Zappos dapat terus menawarkan layanan luar biasa kepada pelanggan utamanya tanpa mengeluarkan biaya berlebihan. Hal ini mempertahankan reputasi mereka sebagai penyedia layanan imggul.
Zappos memanfaatkan analitik data untuk mengidentifikasi pola penyalahgunaan. Hal ini memastikan bahwa keputusan untuk memecat pelanggan didasarkan pada bukti konkret, sehingga mengurangi risiko penargetan pelanggan secara tidak adil.
Zappos berkomunikasi dengan jelas dengan pelanggan yang terdampak, menjelaskan alasan tindakan mereka. Transparansi ini membantu mengurangi potensi reaksi keras dan menjaga kepercayaan pelanggan.
Kategori: Marketing & Branding
#memecat pelanggan
#pelanggan
#dipecat
#ekspektasipelanggan
#perilakupelanggan
#values
#zappos
Related Posts:
TikTok untuk Rekrutmen: Bisakah Memikat Talenta yang Tepat?
Turnover Contagion: Menyikapi Gelombang Pengunduran Diri yang Mengancam Stabilitas Tim
Pro Kontra Experiential Hiring
Kepemimpinan Tanpa Jabatan: Dampak Nyata dari Shadow Leadership
Glass Cliff: Tantangan Kepemimpinan bagi Wanita dan Minoritas di Tengah Krisis