Belum lama ini, Johnson & Johnson menawarkan diri untuk membayar 9 miliar Dollar AS guna menyelesaikan puluhan ribu tuntuan hukum di kawasan Amerika Utara. Produk bedak bayi (baby powder) dan produk berbasis talk lainnya milik Johnson & Johnson diklaim dapat mengakibatkan kanker. Tawaran tersebut jauh lebih besar dibandingkan tawaran sebelumnya, yang bernilai 2 miliar Dollar AS.
Perusahaan raksasa kesehatan tersebut masih yakin bahwa klaim tersebut “tidak berdasar”. Meski demikian, Johnson & Johnson berharap penyelesaian yang mereka tawarkan dapat mengakhiri tuntutan hukum berkepanjangan. Lebih lanjut, Johnson & Johnson mengatakan tawaran tersebut mendapat dukungan signifikan dari pihak-pihak yang terkait kasus di atas. Tahun 2020, perusahaan menghentikan penjualan bedak bayi berbasis talk di seluruh AS dengan alasan misinformasi sehingga menurunkan permintaan. Padahal, perusahaan telah menjual bedak bayi selama hampir 130 tahun.
Johnson & Johnson telah berupaya menyelesaikan tuntutan hukum di pengadilan kepailitan sejak 2021, setelah membentuk sebuah anak perusahaan (subsidiary) yang bertanggung jawab untuk menangani klaim-klaim yang mungkin diajukan oleh pelanggan atau pihak lain yang terkait dengan produk atau layanan yang diberikan oleh perusahaan induk. Namun upaya ini menemui masalah setelah pengadilan kepailitan menemukan bahwa induk perusahaan yang dibentuk sedang tidak berada dalam tekanan finansial (financial distress) sehingga tidak bisa menggunakan sistem kepailitan untuk menyelesaikan gugatan hukum.
Jonhnson & Johnson sendiri mengatakan bahwa pihaknya telah memenangkan sebagian besar gugatan hukum yang diajukan pada pihaknya. Meski demikian, kekalahan yang pernah dideritanya pun cukup signifikan. Di antaranya dikabulkannya gugatan senilai 2 miliar Dollar AS yang diajukan 22 orang.
Besarnya nilai finansial yang ditawarkan Johnson & Johnson untuk menyelesaikan masalah hukumnya tentu tidak main-main. Namun bukan hanya itu. Reputasinya sebagai perusahaan raksasa juga terancam.
Oleh karenanya, penting bagi pelaku bisnis untuk peduli pada risiko reputasi, apa pun jenis dan ukuran bisnis perusahaan. Bentuknya bermacam-macam. Salah satunya adalah tuntuan hukum akibat perusahaan memproduksi barang yang dianggap atau terbukti membahayakan kesehatan dan keselamatan konsumen. Risiko lainnya dapat berasal dari perilaku tercela para eksekutif, termasuk perilaku di luar pekerjaan. Termasuk juga keengganan perusahaan untuk berubah mengikuti perkembangan zaman. Meski yang terakhir ini tidak sampai menimbulkan gugatan hukum, tetap saja reputasinya dipertanyakan.
Bagaimana mengatasi risiko reputasi ini? Pertama-tama, dengan senantiasa memantau informasi seputar perusahaan, terutama dari pihak eksternal dan media sosial. Termasuk di dalamnya berita terkait merek perusahaan, baik merek produk maupun merek korporat.
Berikutnya, memperkuat pemasaran dan hubungan masyarakat perusahaan. Kedua fungsi tersebut berperan besar dalam menjamin citra positif perusahaan. Jika ada kabar negatif tentang perusahaan, mereka menjadi ujung tombak dalam memberikan respons.
Namun di atas itu semua, semuanya dimulai dari etika dalam perusahaan. Risiko reputasi tidak hanya terbatas pada eksekutif. Setiap orang dalam perusahaan, pada level apa pun, dapat melakukan tindakan yang dapat menodai reputasi perusahaan. Oleh karenanya, sangat penting bagi pelaku bisnis untuk merumuskan serta menanamkan nilai-nilai etis dalam perusahaan. Nilai-nilai ini selanjutnya diterapkan dalam praktik kerja sehari-hari. (c) The Jakarta Consulting Group