Bekerja hingga jauh malam, bahkan menjelang dini hari; ikut-ikutan mengerjakan tugas orang lain; tak peduli waktu istirahat, yang penting proyek cepat selesai. Namun hasil tak sepadan pengorbanan. Jika berada dalam posisi kepemimpinan, enggan mendelegasikan pekerjaan dan tanggung jawab kepada orang lain. Pernahkah anda menemukan orang yang demikian itu? Inilah yang dinamakan overwork hero. Mereka berbesar hati jika bekerja melebihi kemampuan atau kecakapan normal. Namun, kehidupan pribadi dan kesehatan menjadi korban. Anggapan mereka, makin banyak bekerja, makin tinggi nilai mereka.
Niatnya mungkin baik. Namun, overwork hero akan mengganggu kesehatan fisik, kesehatan mental, dan produktivitas. Apalagi bagi pemimpin. Motivasi merosot, rasa tidak berdaya muncul. Hal ini tidak hanya memengaruhi si pemimpin, tetapi juga anggota timnya.
Mengapa Overwork Hero Buruk Bagi Tim?
Seorang overwork hero akan mengganggu keseimbangan tim. Orang yang tugasnya terlalu banyak diambil alih bisa saja gembira, Namun, bisa saja sebaliknya: merasa kehadiran dan pekerjaannya tidak dihargai dan tidak dibutuhkan. Di samping itu, pembagian tugas menjadi timpang. Rasa tanggung jawab kolektif memudar. Dampak buruk lainnya adalah peluang anggota tim untuk belajar dan berkembang menjadi berkurang.
Kapasitas manusia untuk bekerja terbatas. Bekerja dalam waktu terlalu lama akan mengurangi konsentrasi dan kreativitas. Akibatnya, hasil kerja tidak optimal. Dirinya dan anggota tim juga yang jadi korban.
Dalam sebuah tim, pemimpin menjadi contoh. Jika pemimpin menjadi overwork hero, ini menjadi preseden buruk bagi tim. Anggota tim akan menganggap bahwa bila ingin diakui dan dihargai, mereka harus bekerja sekeras-kerasnya tanpa batas. Akibatnya, semua orang akan mengalami burnout.
Mengatasi Masalah Overwork Hero
Bagaimanakah caranya agar tidak menjadi overwork hero? Pemimpin harus menjadi contoh. Selain itu, mereha harus menciptakan lingkungan yang memastikan kesehatan fisik dan mental tim terjaga.
Pertama, pemimpin harus mengenali tanda-tanda overwork hero. Misalnya, sering bekerja lembur (padahal tidak mendesak), berlebihan dalam mengambil tugas orang lain, sulit melepaskan diri dari pekerjaan meski di hari libur atau saat liburan, dan memperlihatkan gejala kelelahan fisik dan mental. Waspadalah jika tanda-tanda ini muncul. Mengenali tanda-tanda di atas penting karena adakalanya pemimpin tidak sadar mereka tehah menjadi overwork hero.

Kedua, memciptakan keseimbangan antara kehidupan kerja dan kehidupan di luar kerja. Batas jam kerja harus jelas. Jangan bekerja jika memang sedang cuti, istirahat, dan liburan. Berilah penghargaan berdasarkan hasil kerja, bukan panjangnya jam kerja. Utamakan kerja cerdas, bukan kerja keras (ingat utamakan, bukan hilangkan). Dengan bantuan teknologi, ini seharusnya lebih mudah. Efisiensi dan produktivitas meningkat tanpa mengorbankan kesehatan fisik dan mental.
Ketiga, membangun budaya kolaborasi, bukan kompetisi. Selama ini, orang yang memenagkan kompetisi dianggap sukses. Sebaliknya, kalah dalam kompetisi dianggap gagal. Hal ini membuat orang merasa tertekan karena merasa wajib menang. Akibatnya, terjadi sikut-sikutan.
Bagaimanakah caranya membangun budaya kolaborasi? Dengan menekankan pentingnya kerja sama dan saling mendukung baik diantara pemimpin dengan tim maupun di antara sesama anggota tim; menghargai kontribusi tiap-tiap anggota tim tanpa kecuali, bukan hanya yang dianggap bekerja paling keras; dan membagi tugas secara adil, objektif, dan transparan.
Keempat, jangan membangga-banggakan kerja berlebihan (kata berlebihan perlu ditekankan). Agar tetap produktif dan berprestasi, kesehatan fisik dan mental harus dijaga .
Kelima, mendelegasikan tugas secara efektif. Belajarlah percaya kepada anggota tim. Berilah mereka tanggung jawab yang lebih besar. Pastikanlah tiap-tiap anggota tim memiliki peran yang jelas.
Keenam, pemimpin harus mengevaluasi baik beban kerjanya sendiri maupun beban kerja tiap-tiap anggota tim. Dari sini, bisa dilihat siapa saja menjadi overwork hero, untuk kemudian disesuaikan.
Belajar dari Mantan CEO Linkedin

Jeff Weiner adalah mantan CEO LinkedIn. Ia adalah pemimpin yang gila kerja. Weiner bekerja dengan jam kerja yang panjang, menjawab surat elektronik hingga jauh malam, dan terus-menerus terlibat dalam setiap keputusan. Ia menganggap hal ini penting untuk meraih keberhasilan, tetapi hal itu justru mengakibatkan stres, kelelahan, dan inefisiensi. Namun tatkala mulai menjabat sebagai CEO LinkedIn, ia sadar kegilakerjaannya tak bisa dipertahankan.
Ia mengubah pola pikirnya. Pada awalnya, ia berprinsip “berbuat lebih banyak”. Namun, prinsip in kemudian ia ganti menjadi “memimpin lebih baik.” Weiner berfokus untuk mendukung timnya, tidak mau melakukan semuanya sendiri. Weiner menjadwalkan apa yang disebut “waktu untuk berpikir (thinking time).” Ia menyempatkan diri untuk berefleksi. Ini membuatnya mampu membuat keputusan yang lebih baik.
Untuk timnya, Weiner sadar bahwa salah satu ciri pemimpin yang baik adalah mampu memberdayakan timnya, bukannya mencoba menjadi overwork hero. Ia merekrut orang yang tepat, mendelegasikan tugas dan tanggung jawab, dan memercayai timnya.
Untuk menjaga keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, ia mendorong karyawannya untuk beristirahat dan mengambil hak cutinya. Weiner lebih menekankan kerja cerdas, bukan kerja keras. Ia secara terbuka membahas kesehatan mental dan manajemen stress.
Hasilnya? Di bawah Weiner, LinkedIn menjadi salah satu tempat terbaik untuk bekerja, dikenal karena budaya perusahaannya yang kuat. Karyawan lebih berdaya tanpa harus beekerja berlebihan. Pendapatan dan basis pengguna LinkedIn melonjak tajam.
#overwork hero #kesehatan #motivasi #keseimbangan #kapasitas $kolaborasi #LinkedIn #Jeff Weiner
Related Posts:
Post-Truth dan Echo Chamber dalam Keputusan Kepemimpinan
Green Flag vs. Red Flag Leader: Are You the Leader the Team Wants?
Digital Detox for Leaders: Reducing Dependence on Technology
Green Flag vs Red Flag Leader: Apakah Anda Pemimpin yang Dicari Tim?
Business Ethics vs. Economic Interests: The Dilemma Behind Trump’s FCPA Policy