Spotify : Ironi Bisnis Raksasa

Spotify : Ironi Bisnis Raksasa

Spotify : Ironi Bisnis Raksasa. Desember 2023. Daniel Ek, CEO Spotify, mengumumkan bahwa perusahaan streaming audio dan layanan media asal Swedia itu akan merumahkan 1.500 orang karyawannya. Tujuannya? Mengurangi biaya. Di samping itu, Ek juga mengumumkan pergeseran strategi agar perusahaan yang didirikan 2006 itu lebih efisien.

Dalam perkembangannya, Spotify melakukan perekrutan dan belanja besar-besaran  hingga puluhan juta pelanggan. Meski demikian, hal tersebut tak mampu menstabilkan laba perusahaan.

Pengurangan ini bukanlah yang pertama. Pada Januari 2023, Spotify, yang mempekerjakan 9.000 karyawan, mengurangi lebih dari 500 karyawan. Pada Juni 2023, sebanyak 200 karyawan dari unit podcast terpaksa diberhentikan.

Pada periode Juni-September 2023, pelanggan Spotify bertambah menjadi 6 juta, lebih banyak 2 juta dari perkiraan. Namun, keuntungannya hanya naik tipis, sejumlah 34,8 juta Dollar AS. Jumlah tersebut naik dari kerugian sebesar 248 juta Dollar AS pada periode yang sama tahun lalu. Hingga Desember 2023, memiliki total 226 juta pelanggan dengan lebih dari 590 juta pengguna aktif per bulan.

Baca :   Memimpin Perubahan dengan Filosofi Daerah: Belajar dari Bugis-Makassar

Bagaimana bisa salah satu penyedia layanan streaming musik terbesar di dunia hanya mampu membukukan keuntungan tipis, bahkan pernah mengalami kerugian, padahal jumlah pelanggannya bisa membuat iri pesaing?

Nyatanya, fenomena ini terjadi. Sebabnya? Paling utama adalah faktor efisiensi. Inefisiensi mengakibatkan biaya membengkak. Dalam kasus Spotify, hal ini ini diakui oleh Ek sendiri. Selama satu tahun terakhir, Spotify memang meniikmati pertumbuhan pesat. Meski demikian, perusahaan ini menjadi kurang efisien. Daya tahannya pun menurun, berbeda dengan masa awal didirikan. Oleh karenanya, Spotify berupaya menyusun struktur yang lebih ramping sehingga keuntungannya bisa dimanfaatkan untuk hal-hal yang lebih strategis. Sebagai tambahan, sejak 2019, Spotify telah menghabiskan hampir satu miliar dolar untuk membeli studio podcasting, menandatangani kesepakatan eksklusif dengan pembawa acara selebriti, dan, yang terbaru, berinvestasi pada AI generatif untuk pembuatan iklan. Namun segala investasi tersebut tidak sebanding dengan profit yang dihasilkan. Tak heran bila pada Juni 2023, yang paling banyak dikurangi adalah mereka yang berada pada divisi podcast.

Baca :   The Threat of Gatekeeping

Faktor lainnya adalah kondisi ekonomi. Memburuknya ekonomi memaksa konsumen lebih hemat saat belanja. Kalaupun jumlah mereka meningkat, uang yang mereka keluarkan akan lebih sedikit. Kondisi inilah yang dialami Spotify dan juga bisnis teknologi lainnya. Saat pandemi Covid-19, bisnis teknologi mengalami masa kejayaan lantaran pembatasan sosial memaksa orang beraktivitas jarak jauh. Namun saat pandemi mereda, permintaan berkurang karena orang kembali bertatap muka. Naiknya inflasi dan suku bunga mengakibatkan konsumen lebih berhati-hati dalam belanja. Kondisi diperparah dengan perkembangan geopolitik yang memanas dan belum jelas kapan akan berakhir.

Di samping kedua faktor di atas, kegagalan mempertahankan pelanggan turut berkontribusi menggerus keuntungan. Padahal, memperoleh pelanggan baru lebih mahal ongkosnya dibandingkan mempertahankan pelanggan lama. Hasil penelitian Bain & Company dan Harvard Business School menunjukkan bahwa tingkat retensi pelanggan sebesar 5 persen akan menaikkan keuntungan sebesar 25 hingga 95 persen. Selain itu, biaya mendapatkan pelanggan baru ternyata telah meningkat sekitar 50 persen selama beberapa tahun terakhir. Faktor-faktor lainnya adalah tingginya biaya pemasaran dan margin keuntungan yang rendah sehingga tidak berpengaruh signifikan terhadap keuntungan meski pelanggan membeludak.

Baca :   Berjaya Tanpa PHK: Belajar dari Silver Queen

#spotify           #danielek                    #streamingmusik        #swedia           #profitmargin

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait