Sisi Gelap Bisnis Keluarga

Sisi Gelap Bisnis Keluarga

Apabila suatu bisnis bukannya menguntungkan, malah melainkan menghadirkan beragam sengketa yang berujung kematian, maka apa yang bisa dilakukan?

If being a business owner was easy, everyone would do it. Dibutuhkan keuletan, ketangguhan, ketabahan tersendiri, yang merupakan suatu mental set yang tidak dimiliki oleh semua orang. Membangun bisnis itu tidaklah mudah, apalagi mempertahankannya. Terutama bisnis keluarga yang lebih rumit karena ada banyak hal yang terkandung di dalamnya seperti emosi, kesetiaan maupun cara pandang masing-masing anggota keluarga yang menjadi penentu pilihan-pilihan yang mendukung pertumbuhan.

Faktanya, menurut Patricia Susanto, CEO The Jakarta Consulting Group dalam sebuah webinar bertajuk “Bisnis Keluarga yang Berdarah-darah” beberapa waktu lalu, tidak semua bisnis keluarga itu mampu berjalan mulus. Patricia mengungkapkan bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan bisnis keluarga memiliki sisi yang tidak seindahnya produk atau layanan, yaitu sisi gelap, berdarah-darah, seperti film thriller yang bisa membuat jantung berdegup cepat.

Perseteruan yang Mengacaukan

Beberapa hal di antaranya adalah perseteruan antar anggota keluarga yang terjadi karena adanya perselingkuhan, pengusiran, ambisi yang tidak terpenuhi, dan lingkungan yang menekan. “Brand fashion Gucci adalah salah satu contohnya. Kisah keluarganya tidak seindah tokonya. Ada kisah kematian gara-gara perselingkuhan, anggota keluarga masuk penjara, saling tikam dari belakang. Hal ini bisa dilihat dari film berdasarkan kisah nyata kehidupan bisnis Gucci. Perseteruan antar anggota keluarga terlihat dari keinginan anak-anak owner brand ini yang tiba-tiba ingin membuat brand yang berbeda-beda. Orang yang diberi kesempatan memiliki wewenang untuk mengusir anggota keluarga lainnya, sehingga ambisi yang diusir itu tidak terpenuhi,” jelas lulusan Griffith University dengan gelar Master of Human Resources.

Baca :   Bisnis Keluarga : Lepas dari Bayang-bayang Orangtua

Jelas, perseteruan antar anggota keluarga berdampak pada suasana keluarga yang tidak kondusif dan sangat menindas bagi pihak yang tidak mendapatkan keadilan. Hal ini menjadi salah satu pemicu perpecahan keluarga yang dapat memengaruhi bisnis. “Setiap anggota keluarga harus diberikan kesempatan yang sama, jangan sampai salah satunya dianakemaskan,” kata putri kedua dari dua bersaudara.

Selain itu, kecemburuan tidak hanya dirasakan oleh yang diselingkuhi, tetapi juga kepada anak-anak, apalagi ketika kepala keluarga kurang bisa berbagi waktu antara pekerjaan dan rumah. Perasaan diabaikan menimbulkan rasa persaingan antara anak-anak dengan perusahaan. “Parahnya, rasa kasih sayang itu diungkapkan dengan uang. Contohnya saja kalau ada anak baru saja melahirkan cucu, oleh kakeknya diberikan uang. Ketika lulus kuliah, anak diberi uang oleh ayahnya. Parenting by money itu membuat anak menjadi orang yang penuh perhitungan,” ungkap Patricia.

Contohnya saja perusahaan jasa angkutan U-Haul yang terkenal di Amerika. Si pemilik kerap memberikan saham kepada anak-anaknya, hingga suatu ketika, sahamnya hanya sedikit. Hal ini membuat orang tua tidak memiliki kendali terhadap perusahaannya. Akhirnya, si pemilik diminta keluar dari jajaran kepemimpinan perusahaan karena sebagian besar saham sudah dimiliki oleh anak-anak.  “Kami kerap diberi pertanyaan, apalagi kini generasi kedua sudah mulai mengambil alih perusahaan dan akan melakukan transisi ke generasi ketiga. Kapan kita bisa transfer saham ke anak-anak? Boleh saja sesegera mungkin, tapi orang tua tidak lepas kendali. Baiknya, jangan semua saham diberikan ke anak. Ini bisa menyebabkan keserakahan dalam diri anak,” jelas Patricia serius.

Baca :   Tapera (Tabungan Perumahan Rakyat) : Wajib atau Sukarela?

Suksesi Tidak Dipersiapkan

Penyebab lain yang dapat menimbulkan kondisi perusahaan dengan kisah berdarah-darah di baliknya adalah ketika suksesi dilakukan tanpa perencanaan dan atas dasar keturunan semata tanpa mempertimbangkan kompetensi. “Contohnya adalah perusahaan Nyonya Meneer yang kini sudah dinyatakan pailit. Sebenarnya konflik terjadi antara anak pertama dengan anak kedua. Begitu Nyonya Meneer wafat, perusahaan dipegang oleh putra pertamanya, Hans Ramana. Sayangnya tidak lama kemudian, Hans meninggal dunia sehingga putranya, Charles yang sebelumnya lama tinggal di luar negeri, tiba-tiba memegang bisnisnya. Tentu saja, ini menuai pro dan kontra. Saudara-saudara ayahnya sangat keberatan dengan keputusan yang terkesan dibuat sepihak,” ungkap Patricia.

Selain itu, perbedaan gaya hidup dan cara pandang antara Charles dengan para saudara sang ayah pun berbeda. Dia cenderung kebarat-baratan sementara mereka menganut nilai tradisional. Hal ini menuai konflik terus-menerus.

Lalu, apa yang bisa dipelajari dari ketiga kisah bisnis keluarga yang berdarah-darah tersebut? Mengapa hal itu terjadi? Tampak gaya mengasuh dan mendidik anak sangat berpengaruh terhadap karakter anak-anak, sang generasi penerus bisnis keluarga. “Ada yang konservatif, ada yang mendidik secara keras, tetapi intinya, setiap anak berhak mendapat kesempatan yang sama, dan harus jujur,” papar Patricia. Di samping itu, perhatian terhadap anak-anak juga merupakan hal yang sangat penting karena kehadiran orang tua dapat menumbuhkan keterikatan batin.

Baca :   Bisnis Keluarga : Rahasia di Balik Kegagalan Pemimpin Profesional

Faktor utama dalam mempertahankan bisnis keluarga adalah anak-anak harus memiliki power sekaligus control terhadap perusahaan. Namun, apabila ternyata di dalam keluarga tidak ada keharmonisan, yang perlu dilakukan adalah mempertimbangkan salah satu dari tiga hal, yaitumanaging togetherness (hidup rukun), managing income (pemasukan diatur), dan managing the future (bisnis dikembangkan). “Coba lepaskan ego. Biasanya kita sulit mengatakan kalau kita itu tidak rukun. Tapi kejujuran itu sangat penting kalau kita mau memperbaiki kondisi perusahaan. Kita harus menyadari untuk menerima situasi ini agar ke depannya ada berbagai strategi perencanaan yang dibuat sesuai dengan situasi maupun kondisi tersebut,” saran Patricia dengan nada yakin.©The Jakarta Consulting Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait