Queen Bee Syndrome : Mitos atau Fakta

Queen Bee Syndrome : Mitos atau Fakta

Berperan sebagai perempuan karier yang melalui perjalanan profesi yang penuh liku tentu membentuk karakter seseorang menjadi luar biasa. Tidak heran kalau sosok perempuan karier ini akhirnya menjadi anutan, bahkan mentor,  untuk bawahannya.

Pernah mendengar istilah queen bee syndrome? Ini adalah sindrom di mana seorang perempuan karier yang memiliki kekuasaan atau otoritas akan memandang bawahannya lebih rendah, terlebih jika bawahannya seorang perempuan juga.

Jabatan tinggi bukannya membuat mereka rendah hati, melainkan membuat mereka merasa memiliki privilege. Sifat yang dimiliki sebagian perempuan karier ini disebut dengan queen bee syndrome.

Kenyataan ini didukung teori yang dikembangkan tiga orang ilmuwan, menyebut perempuan dengan posisi senior bukan hanya tidak bisa mendukung rekan perempuan lain, tapi berdampak negatif pada karir si perempuan tersebut.

Menurut ulasan di laman BBCqueen bee syndrome pertama dibahas oleh psikolog University of Michigan pada tahun 1973.

Sindrom ini muncul secara tidak langsung oleh adanya diskriminasi gender yang banyak terjadi dalam dunia kerja.

Naomi Ellemers, profesor dari Universitas Utrecht di Belanda,  telah meneliti ketidaksetaraan gender di tempat kerja selama 20 tahun.

Menurut Ellemers label queen bee syndrome  tidak membantu karena istilah tersebut menunjukkan bahwa perempuan adalah masalahnya.

Sindrom ini merupakan cara beberapa perempuan untuk mengatasi diskriminasi gender yang mereka hadapi dalam kehidupan profesional.

Perempuan yang mengalami bias gender merasa dirinya berbeda dibandingkan kaum hawa lainnya sehingga muncullah sindrom ini.

Qeen bee Syndrome merupakan konsekuensi dari diskriminasi gender karena perempuan telah berhasil membuktikan kariernya untuk bertahan hidup di lingkungan yang mungkin didominasi laki-laki.

Baca :   Dampak PHK dan Transformasi

Cara yang biasanya dilakukan perempuan untuk menjauhkan diri dari perempuan lain adalah dengan berperilaku lebih maskulin, cenderung menyamai maskulinitas laki-laki. Sebab, kebanyakan perempuan yang baru memulai karier menggambarkan diri mereka kurang maskulin. Kemudian, mereka pun belajar dan beranggapan bahwa maskulinitas dan kesuksesan karier menjadi hal yang beriringan.

Mitos atau Fakta Tentang Queen Bee Syndrome

Keberadaan Queen Bee Syndrome telah dipercaya selama bertahun-tahun. Namun,  sebuah penelitian telah berhasil mematahkan sindrom ini,  seperti dilansir telegraph.co.uk.

Sebuah penelitian yang dilakukan Columbia Business School berhasil menemukan bahwa teori yang menyatakan bahwa perempuan yang naik ke puncak profesi adalah mereka yang berhasil menghentikan perempuan lain tidak memiliki dasar yang kuat. Dan mereka menyimpulkan bahwa teori itu hanyalah mitos.

Para akademisi yang telah memperlajari 1.500 perusahaan selama 20 tahun, menemukan bahwa seorang perempuan kepala eksekutif lebih mungkin menunjuk wanita juga untuk menduduki posisi senior. Tapi ketika seorang wanita telah diberikan peran senior yang bukan posisi teratas, kemungkinan perempuan lainnya mengikuti mereka ke tingkat eksekutif turun 50 persen.

Tim peneliti mengatakan: “Wanita menghadapi kuota implisit, dimana perusahaan berusaha untuk mempertahankan sejumlah kecil wanita di tim manajemen puncak mereka, biasanya hanya satu. Sementara perusahaan mendapatkan legitimasi dari memiliki perempuan di manajemen puncak, nilai legitimasi ini menurun dengan setiap wanita. “

Perdebatan Queen Bee Syndrome

Sayangnya, tidak semua orang yakin dengan temuan ini, khususnya mereka pekerja perempuan yang juga seorang senior. Queen bee syndrome disebut-sebut hanya mitos belaka, dan pemikiran itu sangatlah ketinggalan zaman.

Baca :   Empati saat Bertransformasi

Mengutip Times of India, Selasa (17/9/2019), sejak teori itu mencuat, banyak perdebatan yang terjadi baik yang setuju dan yang tidak setuju.

Pada penelitian lainnya, University of Arizona menyebutkan adanya ketidaksopanan yang cukup tinggi dirasakan perempuan, yang di dapat dari perempuan lain, dibanding mereka mendapatkannya dari laki-laki. Penelitian ini dilakukan sejak tahun lalu, dan menunjukkan perempuan lebih tidak beradab dengan perempuan lainnya di tempat kerja.

Temuan didapat dengan cara meminta para pekerja full time baik lelaki maupun perempuan untuk menjawab pertanyaan terkait rekan kerja mereka yang telah melakukan penghinaan atau merendahkan. Lalu ditemukan ada banyak ketidaksopanan yang dilakukan rekan kerja perempuan dibanding rekan laki-laki.

Tidak hanya itu, selama penelitian ditemukan perusahaan atau organisasi menghadapi risiko jauh lebih besar kehilangan karyawan perempuan yang menjadi korban karyawan perempuan yang menderita ‘queen bee syndrome’.

Para karyawan yang keluar ini mengaku sering diperlakukan tidak sopan, dan mengeluh tidak nyaman dengan pekerjaannya karena perlakuan buruk karyawan senior yang tidak lain seorang perempuan.

Bagaimana cara mengatasi Queen Bee Syndrome?

  1. Kathy Caprino, penulis buku terlaris dan pelatih karier, menyarankan agar Anda menghentikannya sejak awal. Cara ini lebih cocok jika rekan kerja wanita yang bermasalah dengan Anda adalah rekan kerja dan bukan atasan. Metode ini berguna jika, saat mengetahui tanda-tanda pertama queen bee, Anda mendiskusikannya dengan tidak menghakimi dan dengan bahasa yang positif. Misalnya: “Saya menghormati Anda dan menghargai masukan Anda, namun saya memperhatikan masalah ini di antara kita. Saya ingin menyelesaikannya karena saya ingin kita memiliki hubungan kerja yang baik. Apa yang bisa kita lakukan untuk mewujudkannya?” Pendekatan ini memungkinkan semua pihak untuk menciptakan strategi yang memadai untuk mengatasi masalah ini. Jika hal ini tampaknya tidak masuk akal atau tidak berhasil, mendekati departemen sumber daya manusia atau atasan mungkin merupakan langkah tepat berikutnya.
  2. Penelitian mengenai fenomena ini telah meningkatkan kesadaran yang signifikan untuk menyoroti masalah di dunia usaha. Hal ini kini sudah diketahui dengan baik, dan banyak perusahaan telah merancang kebijakan untuk mengatasi perilaku buruk ini di jajaran mereka. Membingkai ulang budaya organisasi secara lebih positif akan membantu karyawan mengatasi hambatan-hambatan ini dan menjamin keberlanjutan dan kemajuan. Pendekatan ini mencakup menyadarkan personel akan queen bee syndrome dan memberikan pelatihan untuk membantu masyarakat menghadapinya secara memadai. Paula Parfit, seorang eksekutif pengembangan bisnis, menemukan bahwa salah satu strategi yang paling sukses adalah program mentoring.
Baca :   Pendekatan Human-Centric dalam Merekrut Karyawan

Perempuan perlu memikirkan supaya perempuan lain sama ‘berdaya’-nya atas lingkungannya. Tak perlu menganggap remeh perempuan lain dan merasa lebih hebat. Figur perempuan cerdas, keren, dan humble masih bisa dihitung jari. Apa salahnya bila perempuan-perempuan lain mengikuti?

# Queen Bee Syndrome

#mitos Queen Bee Syndrome #fakta Queen Bee Syndrome

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait