Mengurai Kusut Air India

Selama beberapa dekade terakhir, jangan harap mendengar atau membaca kabar positif tentang Air India. Buruknya manajemen, utang jumbo, kacaunya jadwal penerbangan,  dan kusutnya birokrasi seolah identik dengan maskapai yang didirikan pada 1932 itu.

            Namun, segala hal buruk tentang Air India diharapkan mulai menjadi cerita masa lalu. Langkah ini dimulai oleh Campbell Wilson, yang Juli lalu ditunjuk sebagai CEO. Pria kelahiran Selandia Baru ini lama menghabiskan kariernya di Singapore Airlines, sebelum memimpin maskapai berbiaya endah Scout pada 2011-2016 dan 2020-2022.

            Langkah pertama yang dilakukan Wilson adalah meremajakan armada yang menua dengan membeli 500 pesawat dari Airbus dan Boeing. Tentunya, Air India butuh lebih dari sekadar mengganti armada tua. Satu hal yang menguntungkan Wilson adalah status Air India yang kini dimiliki swasta. Sebelumnya, saat masih dimiliki pemerintah India, Air India kerap dipolitisasi.

            Air India didirikan Tata Group pada 1932, sebelum diambil alih pemerintah pada 1953. Dekade-dekade berikutnya, Air India dikenal berbiaya mahal dan tidak efisien. Salah satu kesalahan paling fatal adalah saat merger antara Air India dengan Indian Airlines, maskapai yang juga milik pemerintah, pada 2007. Akibatnya, jumlah karyawan membengkak dua kali lipat.  Kondisi diperparah dengan hadirnya maskapai-maskapai penerbangan biaya rendah. Kas perusahaan mengalami berdarah-darah. Kini, Air India kembali ke pangkuan Tata Group.

Baca :   Berjaya Tanpa PHK: Belajar dari Silver Queen

            Pembenahan Air India dilakukan seiring dengan restrukturisasi bisnis penerbangan Tata Group. Di samping kepemilikan 100 persen Air India, Tata Group juga memiliki saham di Air Indian Express dan Air Asia India. Juga sejumlah 51 persen saham di Vistara, perusahaan patungan dengan Singapore Airlines.

            Campbell berambisi membangun maskapai kelas dunia di bawah naungan Air India Group, baik untuk layanan penuh maupun berbiaya rendah. Pada September tahun lalu, diluncurkan program transformasi lima tahun yang dinamai Vihaan.AI, berfokus pada peningkatan jumlah jejaring dan pesawat;  mengembangkan proposisi pelanggan yang benar-benar baru; meningkatkan keandalan layanan dan ketepatan waktu; dan mengambil kepemimpinan dalam hal teknologi, keberlanjutan, dan inovasi; dan berinvestasi pada talenta-talenta terbaik. 

            India merupakan salah satu pasar penerbangan yang paling cepat pertumbuhannya di dunia, yang dipicu oleh pesatnya pertumbuhan masyarakat kelas menengah. Pasar domestik pulih dengan cepat setelah pandemi Covid-19 mereda. Pada 2022, jumlah penumpang domestik mencapai 123 juta oang, naik 47 persen dibanding tahun sebelumnya.

Baca :   Kecerdasan Kolektif demi Organisasi yang Transformatif

            Apakah Air India bakal mampu menjadi maskapai kelas dunia, sejajar dengan misalnya Singapore Ailines, Lufthansa, Qatar Airways, dan sebagainya? Waktulah yang akan menjawabnya. Yang jelas, transformasi bukanlah pekerjaan mudah, apatah lagi untuk perusahaan sebesar Air India, yang struktur, sistem dan budayanya sudah mendarah daging.

            Transformasi harus dijalankan berlandaskan visi yang jelas: mau di bawa ke mana perusahaan ke depannya. Dalam kasus Air India, Wilson memiliki visi menjadikan perusahaan yang dipimpinnya menjadi salah satu maskapai terbaik di dunia. Semuah visi harus jelas serta dipahami oleh semua karyawan.

            Proposisi nilai perusahaan harus dirumuskan ulang. Proposisi inilai ini haruslah unik dan memdukung sukses jangka panjang, bukan hanya bagi peusahaan melainkan juga bagi masyarakat.

            Sumber daya manusia (SDM) menjadi aset terpenting dalam transformasi. Paling penting diperhatikan adalah kesesuaian antara kapabilitas dan potensi pengembangan SDM dengan kebutuhan transformasi, baik saat transformasi maupun pasca transformasi. Kompensasi tentu saja penting. Pembengkakan jumlah karyawan, seperti terjadi di Air India di masa lalu, jelas kontraproduktif.  Tak kalah penting diingat, banyak karyawan yang menginginkan fleksibilitas, keterampilan baru agar tetap relevan, serta peluang untuk berkontribusi lebih dari sekadar keuntungan finansial.

Baca :   Berjaya Tanpa PHK: Belajar dari Silver Queen

            Transformasi setali tiga uang dengan perubahan. Perubahan, apa pun dan di manapun, menimbulkan ketidaknyamanan dan resistensi. Bahkan, tak jarang ada pihak-pihak yang menghalangi dan menyabotase perubahan. Oleh karenanya, manajemen perubahan yang efektif menjadi kunci untuk meminimalkan resistensi.

            Guna mengukur kesuksesan transformasi, dibutuhkan indikator kinerja yang jelas sebagai bahan evaluasi untuk langkah-langkah selanjutnya di masa depan. Termasuk meningkatkan hal-hal yang dipandang belum berjalan optimal. ©The Jakarta Consulting Group

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait