Superstar

Tantangan Nyata Dibalik Kegagalan Pemimpin Menangani Superstar

Memiliki tim yang diisi superstar menjadi dambaan banyak pemimpin. Mereka membayangkan kinerja tim bakal meroket. Sayangnya, kenyataan tak seindah impian.  Alih-alih meroket, yang  ada kinerja tim malah terpuruk. Bukan hanya itu, anggota tim saling bersikut-sikutan.  Apa yang terjadi? Marilah kita selisik penyebabnya. 

Karakteristik Karyawan Superstar

Bersemangat, ambisius, percaya diri, dan memiliki  pengetahuan dan keterampilan di atas rata-rata. Itulah karakteristik superstar. Di satu sisi, karakteristik macam ini penting agar tim berkinerja maksimal. Namun di sisi lain, kondisi ini berpotensi menimbulkan persaingan sengit, bahkan hingga berdarah-darah.  Kerja sama akan terganggu jika setiap anggota tim meraasa dirinyalah yang terbaik. Untuk mengantisipasi hal ini, seorang pemimpin harus pandai melakukan mediasi, punya ekspektasi yang tidak ambigu, dan menjaga persaingan agar tetap sehat. 

Namun, jangan sampai pemimpin menjadi penghindar konflik. Konflik yang tidak terselesaikan berakibat pada lingkungan kerja yang tidak kondusif. Pemimpin harus menerima konflik sebagai bagian alami dari kerja sama tim dan mengatasinya secara langsung. Mereka harus mendorong komunikasi terbuka dan menciptakan ruang aman bagi anggota tim untuk mengungkapkan pendapat dan menyelesaikan perselisihan. Dengan memodelkan penyelesaian konflik yang konstruktif, pemimpin dapat mengubah potensi perselisihan menjadi peluang untuk pertumbuhan dan inovasi.

Kesalahan Pemimpin Dalam Menangani Superstar

Konflik antar superstar kerap terjadi lantaran pemimpin tidak memiliki visi. Kalaupun ada, ia tak mampu memanfaatkannya sebagai alat untuk mempersatukan tim. Akibatnya, tim lebih berfokus pada tujuan individu, yang tidak jarang saling bertentangan, bahkan tidak sesuai dengan visi dan misi perusahaan. 

Baca :   Dead Horse Syndrome: Mengenali Waktu Tepat untuk Berubah dalam Kepemimpinan

Superstar senang dengan tugas dan pekerjaan yang menantang. Tantangan membuat mereka berkembang. Namun, banyak pemimpin yang tidak paham hal ini. Mereka memberikan tugas-tugas yang repetitif dan membosankan sehingga tim mengalami demotivasi.  Ujung-ujungnya superstar hengkang. Untuk mengatasi masalah ini, pemimpin harus senantiasa menetapkan target yang lebih tinggi,  Selain itu, karyawan harus diberi kesempatan yang lebih banyak untuk berkembang. 

Banyak pemimpin yang lupa atau belum paham bahwa seorang superstar belum tentu bisa berkolaborasi. Dalam hal keterampilan dan pengetahuan individu, mereka memang jago. Namun, belum tentu bisa menjadi pemain tim yang baik. Tugas pemimpin adalah mengembangkan budaya yang berorientasi pada tim. Jika tidak, superstar ini bisa saja mengutamakan prestassi individu ketimbang kejayaan tim. 

Seorang superstar cenderung tidak suka diatur-atur, apalagi sampai detail. Baginya, kreativitas adalah segalanya. Ketimbang mengurusi hal remeh-temeh, pemimpin segogianya lebih berfokus pada arahan strategis. Selebihnya, superstar harus diberi keleluasaan untuk menjalankan pekerjaan dengan cara mereka (tentu sampai batas-batas tertentu karena tetap harus ada rambu-rambu). Pemimpin harus menyingkirkan hambatan, meyediakan sumber daya, dan menciptakan kondisi yang kondusif untuk berkembang. 

Baca :   Etika Bisnis vs Kepentingan Ekonomi: Dilema di Balik Kebijakan FCPA Trump

Namun, jangan kebablasan dalam mendelegasikan tugas dan wewenang karena bisa mengakibatkan lemahnya koordinasi, akuntabilitas, dan arahan. Para superstar, meskipun mandiri, tetap membutuhkan bimbingan dan struktur agar kinerja mereka optimal. Hanya saja kadar bimbingan ini tidak sebanyak nonsuperstar. 

Bagaimana Seharusnya Pemimpin Mengelola Superstar

Idealnya, seorang pemimpin tidak pilih kasih. Namun, hal ini kerap sulit dihindari. Ada satu anggota tim yang menerima penghargaan lebih dari anggota lainnya. Bagi superstar, mereka mereka kerap merasa tidak dihargai (meski pemimpin tidak bermaksud bersikap pilih kasih). Oleh karenanya, berupaya bersikap adil amatlah penting. Pemimpin harus menjamin setiap anggota tim merasa dihargai atas kontribusi mereka. 

Sehebat-hebatnya superstar, ia tetap perlu mengembangkan dirinya. Jangan menganggap superstar telah mencapai puncak prestasi dan kompetensinya. Ini anggapan keliru, tetapi banyak pemimpin nmenganutnya. Artinya, superstar tetap perlu mendapatkan pelatihan dan pengembangan. Jika tidak memperolehnya di tempat sekarang, ia dengaan mudah mencarinya di tempat lain. Ini tentu tidak menguntungkan bagi tim. 

Superstar kerap bekerja dalam lingkungan yang kompetiitif. Mereka cepat paham tren-tren terbaru. Menyikapi hal ini, pemimpin harus pandai menyesuaikam diri. Sayangnya, banyak yang tidak bisa melakukannya. Mereka bertahan pada strategi dan kebijakan lama. Budaya organisasi pun tidak lagi cocok dengan perubahan zaman. Yang lebih parah, mereka antikritik, tak mau menerima umpan balik. Jika sudah demikian, pemimpin tidak lagi kredibel. Oleh karenanya, penting  bagi pemimpin untuk luwes dan tidak segan belajar dari anggota tim. Pun terbuka terhadap strategi baru yang sesuai dengan perkembangan. 

Baca :   Menyelami Nilai-Nilai Kepemimpinan Suku Minangkabau

Agar mampu mengendalikan para superstar, pemimpin harus memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Mereka harus memiliki empati, kesadaran diri, dan keterampilan interpersonal di atas rata-rata. Jika demikian, pemimpin akan lebih mudah mengelola para superstar meski secara teknis mereka kalah. Setiap orang dapat bersinar sesuai proporsinya masing-masing dan tanpa ketegangan. Pemimpin harus paham hal-hal yang memotivasi para superstar, yang berbeda-beda untuk setiap orang. Pemimpin yang tak peduli dengan kecerdasan emosional tidak akan dihirmati dan dipercaya. 

#superstar #pemimpin #persaingan #konflik #visi #demotivasi #kreativitas

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Terkait