Jaringan restoran cepat saji Subway sedang menjajaki kemungkinan penjualan kepemilikan setelah hampir enam dekade berada di tangan keluarga. Meski tumbuh pesat beberapa tahun terakhir ini, restoran yang terkenal dengan menu sandwich-nya ini harus berjuang menghadapi kenaikan harga dan persaingan yang makin sengit. Demikian dilansir dari BBC. Penjualan Subway dapat bernilai hingga 10 Miliar Dollar AS. JP Morgan, raksasa institusi keuangan asal AS, menjadi penasihat Subway terkait penjualan ini. Subway sendiri mengatakan belum berencana mengumumkan lebih jauh detail penjualan ini hingga selesai. Pun, tak menjelaskan berapa lama proses ini akan berlangsung.
Awal Februari 2023, Subway mengumumkan rekor penjualan selama dua tahun berturut-turut, yang naik 9,2 persen pada 2022 dibandingkan 2021. Lebih lanjut, Subway mengatakan pihaknya akan meneruskan perjalanan transformasinya yang sudah berlangsung bertahun-tahun. Termasuk menu baru dan modernisasi restoran-restorannya.
Subway didirikan pada 1965 dengan nama Pete’s Super Submarines di Bridgeport, Connecticut, oleh Fred DeLuca, yang saat itu baru berusia 17 tahun, dan teman keluarganya, Peter Buck. Perusahaan ini sempat beberapa kali berganti nama sebelum akhirnya memilih Subway pada 1972 dan bertahan hingga saat ini. DeLuca memimpin Subway hingga meninggalnya pada 2015. Posisinya digantikan oleh adik perempuannya, Suzanne Greco. Greco menjabat hingga pensiun pada 2018. Ia kemudian menduduki posisi sebagai senior advisor Subway.
Hanya dalam dua tahun sejak didirikan, Subway berhasil membuka 16 gerai sandwich di Connecticut. Selanjutnya, Subway mulai mewaralabakan mereknya. Saat ini Subway memiliki sekitar 37 ribu gerai di lebih dari 100 negara. Gerai-gerai Subway dimiliki dan dioperasikan oleh terwaralaba (franchisee), termasuk di dalamnya ribuan usaha kecil dan wirausaha.
Namun beberapa bulan terakhir, banyak perusahaan di dunia yang harus menghadapi kenaikan harga-harga, mulai dari harga makanan hingga harga bahan bakar. Ini memaksa banyak perusahaan untuk menaikkan harga jual produknya. Contohnya McDonald’s, pesaing Subway, yang pada Juli tahun lalu menaikkan harga jual cheeseburger-nya di Inggris, pertama kalinya dalam 14 tahun terakhir.
Kita tunggu kabar selanjutnya dari Subway. Yang jelas, penjualan bisnis yang selama ini kepemilikan dan pengelolaannya berada di tangan keluarga ke pihak lain, seperti yang sedang dijajaki oleh Subway, bukanlah hal baru. Sekitar satu dekade lalu, Marcopolo, salah satu produsen terbesar bus di dunia asal Brasil, membeli Volgren, produsen bus asal Austria yang dimiliki dan dikelola oleh keluarga Grenda.
Penjualan bisnis keluarga juga tak selalu berkonotasi negatif, dalam arti bisnis dijual karena ada konflik keluarga. Berbagai faktor bisa dikemukakan dibalik penjualan tersebut. Mulai dari faktor finansial dan bisnis semisal penawaran menarik, peluang bisnis lain yang lebih menguntungkan namun membutuhkan dana besar sehingga bisnis lama perlu dijual, bisnis dan industri yang tak lagi kompetitif, hingga tak ada lagi penerus yang mau dan mampu melanjutkan bisnis, dan sebagainya.
Meski demikian, harus diakui memutuskan untuk menjual (atau mempertahankan) bisnis keluarga memang kerap bukan perkara mudah. Faktor emosional jelas ikut berperan. Kemajuan bisnis keluarga merupakan hasil kerja keras dan pengabdian keluarga selama bertahun-tahun, bahkan dari generasi ke generasi. Peran dan kontribusi keluarga pada masa lalu telah membentuk ekspektasi tentang kontinuitas, tradisi, kontribusi bagi komunitas, dividen, bahkan sumber lapangan kerja bagi keluarga. Bisnis keluarga juga kerap menjadi simbol pemersatu keluarga.
Oleh karena itu, dibutuhkan diskusi terbuka untuk membahas alternatif-alternatif yang memungkinkan. Misalnya menyerahkan sepenuhnya pengelolaan bisnis kepada profesional nonkeluarga seraya tetap mempertahankan kepemilikan di tangan keluarga. Dalam membahas alternatif-alternatif ini, pastilah terdapat perbedaan pandangan. Perbedaan pandangan ini harus dikelola agar tak menimbulkan perasaan dan konsekuensi negatif.
Dampak penjualan bisnis keluarga tidak hanya menimpa keluarga, tetapi juga komunitas, pelanggan, karyawan, investor, dan stakeholder lainnya. Dampak lainnya adalah kehilangan kendali terhadap kualitas dan reputasi produk.
Bagaimanapun, yang paling membanggakan tetaplah mempertahankan kepemilikan bisnis keluarga sembari terus-menerus menghadirkan inovasi, meningkatkan kompetensi dan motivasi, dan memelihara kerukunan antaranggota keluarga. Hal ini akan membangun reputasi keluarga dan bisnis sekaligus. ©The Jakarta Consulting Group